BAB 9

868 111 5
                                    

"Ga!"

Gilga menoleh. "Apa?"

Avana bangkit dari tempat duduk. "Anterin gue pulang."

"Ha?" Gilga terkejut. Ia menatap tidak percaya kepada Avana yang berjalan mendahului. Dua kali Gilga menawarkan diri untuk mengantar Avana pulang, namun selalu ditolak. Gilga pun menyerah karena ia tidak ingin terkesan mengganggu. Dan hari ini, setelah sekitar tiga minggu sejak tawaran terakhir, gadis itu akhirnya yang memintanya sendiri. Gilga berlari menyusul Avana yang akan melewati pintu kelas. Saat melewati Gavin yang masih mengemasi barangnya, ia berkata, "Gue antar Avana pulang dulu."

"Oi!" seru Gavin yang terkejut.

"Mereka mau pulang bareng?" tanya Emma.

"One step closer. Baguslah!" jawab Gavin. Sebagai sahabat, ia tentu senang dengan kemajuan ini.

"Gue nggak mau tahu, lo harus antar gue pulang." Avana memang memaksa.

Gilga yang berjalan di sampingnya membalas, "Kenapa maksa, sih? Kan, gue juga nggak ada alasan buat nolak."

Sampai di tempat parkir, Avana melihat motor Gilga terparkir di bawah pohon yang rindang. Berjejer dengan motor anggota Flamma yang lain. Motor Gilga berwarna putih bersih dari stiker apapun dengan beberapa ornamen warna emas – sangat berbeda dengan anggota lain yang berwarna kebanyakan merah dan hitam. "Anak buah lo motornya kebanyakan jenis sport dan modifikasi yang keren. Kenapa lo malah pakai motor matic standar. Nggak ada serem-seremnya sama sekali sebagai milik seorang ketua geng."

"Emangnya kalau ketua geng motornya harus sport yang warna hitam terus ada stiker tengkoraknya gitu? Biar apa?" balas Gilga sambil mengeluarkan motornya dari barisan.

"Nggak akan ada yang nyangka kalau pemilik motor cantik ini adalah pemimpin geng yang sadis." Nada kata terakhir Avana terkesan menyindir. Ia lalu naik ke atas motor dengan bantuan Gilga.

"Gue sesadis itu, ya?" tanya Gilga dan tidak digubris oleh Avana – ia tidak tahu mengapa mengatakan hal itu sementara dirinya tidak pernah membuktikannya secara langsung. "Gue nggak ada helm buat lo. Kita lewat jalan kampung aja, ya?" ucap Gilga.

"Lagipula gue yakin lo masih belum punya SIM. Ya, kan?" balas Avana.

Gilga meringis lalu menyalakan mesin motor. "Ada acara apa habis ini?"

"Duluan, ya, Emma!" seru Avana saat Gilga menarik gas dan melihat Emma berjalan menuju gerbang. Sementara Gilga hanya melambaikan tangan. Beberapa anak memperhatikan mereka membuat Gilga mempercepat laju – ia ingat Avana tidak suka perhatian.

Begitu masuk di sebuah jalan kampung yang cukup lebar dan ramai, Avana yang tadinya tidak berpegangan pada apapun, tiba-tiba kedua tangannya memeluk tubuh Gilga dengan nyaman. "Habis nganter gue, ada acara lagi, nggak?"

Gilga tersenyum. Avana memeluknya tanpa ijin dan ia tidak keberatan. "Nggak ada yang penting. Cuman nongkrong sama anak-anak aja. Kenapa?"

"Tahu tempat mie pedes yang enak, nggak? Gue pingin makan yang pedes-pedes, nih."

Gilga berpikir. "Ada, gue pernah diajak anak-anak kesana. Gue nggak suka mie, tapi kalau menurut gue rasanya yang terbaik, sih."

"Oke, boleh. Kita kesana!" ucap Avana. Sangat terdengar seperti perintah.

"Siap!" Gilga langsung mengabulkannya.

"Jauh, nggak, sih?"

"Nggak sampai setengah jam, kalau nggak macet."

Sepanjang perjalanan mereka saling bercanda. Jalanan cukup padat merayap sehingga Gilga mempelambat kecepatan motor. Sebagai teman satu bangku, mereka lebih mudah mengenal diri satu sama lain dan menjadi akrab dengan lebih cepat. Dalam beberapa hal, mereka sangat kompak seperti dua orang yang sudah berteman sejak lama.

Pada awalnya banyak yang mengira Gilga dan Avana berpacaran, namun melihat sikap mereka yang saling tidak saling menjaga kesan baik, mereka pun mulai berpikir Gilga dan Avana memang teman biasa. Gilga sengaja tidak mendekati Avana dengan cara-cara yang biasa. Ia membiarkan gadis itu merasa nyaman menjadi apapun dihadapannya. Cowok itu selalu mengikuti pola Avana.

Ketika Avana mengeluh tentang materi yang sulit dan PR yang banyak, maka Gilga akan menjadi teman sekolah yang baik – ia ikut protes kepada guru, meskipun sebenarnya Gilga tidak peduli. Toh ia bisa mencontek saat ujian dan menyalin saat mengerjakan tugas.

Ketika Avana secara sengaja atau tidak melanggar peraturan sekolah, maka Gilga akan menjadi partner yang sempurna – Suatu hari bel berbunyi dan Gilga yang berjemur di depan warung Bang Salim belum melihat mobil ayah Avana sampai di gerbang. Ia pun tidak beranjak meski telah mendengar suara bel masuk berbunyi. Gilga menunggu Avana, lalu menyusul seolah ia datang lebih terlambat. Pernah juga, seorang guru sedang absen dan guru pengganti tidak kunjung datang, Avana usul untuk membolos saja ke kantin, Gilga pun setuju – itu hal yang biasa untuknya.

Ketika pelajaran atau permainan apapun yang mengharuskan berkompetisi, maka Gilga akan menjadi musuh yang terbaik bagi Avana. Cowok itu tidak akan bermurah hati untuk hal-hal yang remeh – Mereka pernah bermain ABC Lima Dasar, Gilga sangat jago dan tak terkalahkan, berbanding dengan Avana yang sangat payah. Tidak peduli apapun hukuman untuk Avana, Gilga selalu melakukannya dengan baik. Atau saat tugas kelompok satu bangku, Gilga akan melakukan segala cara agar ia mendapatkan peran yang paling mudah.

"Kenapa?" tanya Avana saat Gilga tiba-tiba menepikan motornya.

"Ada telepon," jawab Gilga sembari mengambil ponsel di saku celananya.

"Siapa?" Avana lalu mencoba menguping pembicaraan.

Adalah panggilan dan Gavin. "Apaan?"

"Dimana? Masih lama, nggak?"

"Nanti sore aja lo ke rumah."

Gavin tidak langsung menjawab. Ia berpikir Gilga sedang melakukan hal penting untuk hubungannya dengan Avana. "Oke kalau gitu. Lanjutin aja!"

Gilga menutup telepon lalu berkata dengan menyesal, "Gimana kalau besok aja kesananya?"

"Yaudah, nggak apa-apa." Avana tersenyum biasa saja, padahal dalam hati ia kecewa – tidak terlalu, ekspresi Gilga yang tadinya santai seketika menjadi sangat serius dan Avana mencoba memahami itu. Sebenarnya ia ingin memperjelas status hubungan mereka hari ini. Namun karena menurutnya itu mungkin Gilga memiliki urusan penting, tidak apa-apa untuk menundanya.

Gilga melewatkan kesempatan dan ia tidak mengetahuinya.

more than you know | gilga & avanaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon