BAB 18

514 85 4
                                    

"Pelan-pelan." Adalah kata yang selalu diucapkan Gilga saat Avana naik dan turun dari motornya. Setelah menginjak tanah, Avana berdiri di samping Gilga sambil mendongak agar Gilga lebih mudah melepas helmnya. Setelah itu Gilga turun dan menggandeng tangan Avana menyusuri jalan menuju kelas mereka.

"Gue nanti ekskul dulu. Lo mau nunggu di warung Bang Salim?" tanya Avana.

"Woi, hati-hati, bangsat!" teriak Gilga saat seorang anak laki-laki yang berlari dari arah gerbang dan menyenggol Avana hingga gadis itu terhuyung ke samping. Untung saja Gilga sigap menangkap tubuh Avana.

"Buru-buru. Sorry, Ga!" teriak siswa kelas 12 itu.

"Santai kali, Ga! Lagian gue nggak apa-apa, kok. Nggak lecet sama sekali." Avana meringis.

"Tetep aja dia nyenggol lo. Kalau nggak ada gue, pasti lo udah jatuh barusan."

"Nggak juga. Kalau nggak ada lo, gue bisa melangkah buat jaga keseimbangan!" balas Avana tidak mau kalah. Ia lalu menggelengkan kepala karena Gilga memegangi rambutnya, "Apaan, sih, Ga!"

"Diem, dong. Jangan gerak mulu!" jawab Gilga sembari mengambil beberapa daun berguguran yang mendarat di rambut Avana. "Gue jadi susah ngambilnya."

"Bilang, dong!"

"Awas!" Hampir saja bola basket mengenai kepala Avana. Sekali lagi dengan kesigapannya, Gilga memblok bola itu dengan punggungnya.

"Aduh, Ga!" Avana pun langsung panik. "Sakit, ya?"

Gilga melemaskan punggungnya dan menjawab, "Lumayan."

"Ke UKS, yuk?" ajak Avana. Suara bola basket terdengar sangat keras saat menghantam tubuh cowok itu.

"Yuk!" balas Gilga sembari berjalan mendahului dan melepas seragamnya dengan tanpa berdosa. Avana yang berada di belakangnya hanya melongo, sementara Gilga bertanya dengan tanpa dosa, "Merah, ya?"

"GILGAAAA!" Avana berteriak dengan oktaf tertinggi. Ia lalu berlari dan memukul kepala cowok itu. "PAKAI SERAGAMNYA, CEPETAN!"

Pada saat itu Gilga baru sadar. Ia segera berlari ke UKS dan berteriak, "AMPUN, SAYANG!"

Saat Avana sampai di UKS, Gilga sedang berusaha melihat punggungnya dengan kaca. Ia lalu menghampirinya dan mengomel, "SINTING YA, LO? GILA? NGGAK WARAS?"

"Iya-iya, sorry!" ucap Gilga mencoba meredakan amarah Avana. "Marahnya nanti aja. Punggung gue beneran sakit, nih. Serius. Sumpah. Suer."

Mengetahui Gilga tidak berbohong, Avana pun langsung mendekat dan memeriksa lebih detail. "Astaga, sampai merah gini. Minyak kayu putih bisa bikin mendingan nggak, ya?"

"Gue benci bau minyak kayu putih," balas Gilga sambil mengusap punggungnya. "Apa gue mandi aja, ya?"

"Anjay! Terserah lo aja, deh! Gue mau balik ke kelas!" Avana berjalan meninggalkan UKS.

"Lah, mau kemana, hei?" Gilga memakai kembali seragamnya dan mengejar Avana. "Bercanda, kali. Serius amat."

"Makanya lain kali nggak usah sok jagoan. Padahal tadi, kan, lo bisa tarik gue buat ngehindar – ngapain malah ngeblok bola, huh? Lari-lari nggak pakai baju lagi!" omel Avana sepanjang jalan. "Sok kegantengan!"

"Wah, double, nih, marahnya?" Gilga malah menggoda.

"Kalau mau celaka, cari cara lainlah. Jangan gara-gara gue!" Avana berkilah. Ia bersikap jual mahal.

Gilga malah tertawa. "Iya, gue salah. Maaf, Avana yang putih, mancung, cantik puol!"

"Puol apaan?" Avana meniru nada bicara Guilga saat mengatakannya dengan polos.

"Puol?" Gilga menaikkan sebelah alisnya. "Itu artinya banget. Gitu aja nggak tahu, sih? Bego amat."

Avana berpikir cukup lama untuk memahaminya. "Anjir! Lemot banget gue."

"Nggak apa-apa. Gue tetep cinta, kok!" balas Gilga sambil tersenyum lebar.

"Gombal banget, sih!" gumam Avana. Saat ia akan masuk ke kelas, Avana menyadari tali sepatunya lepas. Ia mengangkat tinggi kakinya. "Astaga."

"Hmm." Gilga menahan Avana yang akan merunduk lalu berjongkok dan mengikat tali sepatu Avana dengan teliti. "Gue pernah bilang, kan? Suruh aja gue, kalau kita lagi barengan. Gue ngelakuin ini bukan untuk menebus seringnya kesalahan-kesalahan gue sama lo. Atau gue yang nggak bisa ngelakuin hal besar buat lo. Tapi, hal-hal kecil kayak gini adalah bentuk rasa sayang gue ke lo. Sebanyak itu, sekecil itu, sesepele itu – tapi bagi gue ini berharga karena ini yang gue punya."

Avana tersipu. "Dasar bucin."

"ANDA BENAR!"

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now