BAB 20

548 84 10
                                    

"On the way mereka," Dani memberikan informasi keberadaan musuh.

"Keukeuh juga mereka pingin kenalan sama lo, Ga." Gavin menyahut dan Gilga menyeringai.

"Lo, kan, tahu tabiat Rendi. Sok jagoan dan bego!" balas Ravi. "Dipikir Albi seceroboh itu apa. Gue yakin dia udah tahu lo. Cuman pingin tes kemampuan aja."

"Yaudah, sih. Ladenin aja. Toh, juga nggak seberapa. Itung-itung olahraga. Udah lama gue nggak imunisasi anak orang," sahut Gavin.

Tempat perkelahian adalah di markas Flamma. Bukan tanpa sebab, selain markas mereka luas dan Flamma terkenal dengan sportifitasnya. Jika mereka menginginkan pertarungan satu lawan satu, Flamma tidak akan melanggar peraturan. Kecuali, jika lawan yang melanggar. Markas mereka sangat besar dan aman – bangunan kosong yang tertutup oleh seng dan rumput liar yang lumayan tinggi. Tak heran jika sering dijadikan arena pertarungan.

Gilga sontak menoleh sahabatnya itu. "Nggak ada."

"Apanya?" Gavin bingung.

"Nggak ada perang, cuman duel satu lawan satu. Gue sama Rendi." Gilga lalu melihat kepada semua anggotanya. "Paham, nggak?"

"Siap, bos!" Mereka menjawab hampir bersamaan.

"Mereka udah di depan!" seru Dani yang baru saja kembali setelah memantau keadaan.

"Oke."

Dari tempat berkumpul di lantai tiga, mereka bisa melihat sekitar dua puluh anak datang dengan membawa motor beramai-ramai. Rendi yang tidak berboncengan dengan siapapun memimpin paling depan. Tidak ada yang mencurigakan selain tas yang mereka bawa. Gilga yakin ada yang tersembunyi di sana.

Tak sampai lima menit kemudian, Rendi dan kawan-kawan, sampai di lantai tiga. Dengan cara berjalan dan wajah sok keren, Rendi maju menghadapi Gilga. "Jadi, lo yang namanya Gilga?"

"Nggak juga. Kadang-kadang ganti jadi bos besar, gigabyte, sinting, bucin. Macem-macem, terserah yang mau manggil aja." Gilga meringis.

Rendi tertawa. "Wah, sok asyik juga lo!"

"Setahu gue, gue emang orangnya asyik," jeda Gilga. "Jadi, lo mau ikut kita nongkrong atau mau ngajak duel, nih?"

Setelah itu mereka pun membuat kesepakatan. Bukan perdamaian, tapi aturan duel. Satu lawan satu – hanya ketua geng, Rendi melawan Gilga. Sepanjang pembuatan kesepakatan, semua orang berteriak setuju, kecuali Gilga – dia hanya diam memperhatikan dan tidak memngajukan apapun. Jumlah anak SMA Bakti yang datang tidak lebih banyak dari jumlah anggotanya yang hadir di sana. Jika keadaan tidak sesuai harapan, mereka akan memenangkan pertarungan apapun yang terjadi.

"Oke." Dani dan semua orang mulai menyingkir – meninggalkan Gilga dan Rendi yang saling berhadapan. Anak-anak SMA Bakti berkumpul di belakang Rendi, sementara anak-anak Flamma berdiri di belakang Gilga. "Kalian bisa mulai sekarang."

Suasana seketika menjadi tegang. Dari ekspresinya, Rendi terlihat sangat meremehkan Gilga. Ia beberapa kali menyeringai kepada Gilga yang menunjukkan wajah datar dan menggerak-gerakkan kaki mengikuti langkahnya. Rendi sama sekali tidak pernah mendengar nama Gilga sebelumnya. Ia bahkan bertanya kepada beberapa geng sekolah lain, namun tidak satupun yang tahu. Malah yang Rendi dapatkan adalah Gilga si murid teladan. Rendi tahu Albi tidak akan ceroboh dalam mencari penggantinya. Pikir Rendi, sehebat apapun Gilga, jika ia belum berpengalaman, maka sama saja ia tidak bisa melakukan apa-apa.

Lama menunggu, Rendi sudah tidak sabar dan mulai menyerang Gilga. Sengaja Gilga tidak menghindar dan kepalan tangan Rendi pun mendarat mulus di pipi kanannya. Gilga pun tidak membalas, ia hanya mengusap pipinya yang sedikit terasa nyeri. Rendi menyeringai senang. "Wah, buruk banget antisipasi lo."

"Uh-uh?" balas Gilga dengan santai.

Serangan kedua Rendi, berhasil dihindari oleh Gilga. Ia mengambil langkah ke samping lalu ke belakang. Hal itu membuat Rendi semakin percaya diri. Kembali beberapa kali Rendi melancarkan serangan, namun Gilga selalu menghindar dengan baik. Rendi pun menjadi kesal. "Anjing! Cemen banget, sih, lo! Lawan gue, babi! Jangan menghindar!"

"Gilga kenapa?" bisik Ravi kepada Gavin. "Ini strategi atau dia beneran takut sama Rendi, anjir?"

"Mana gue tahu!" Gavin mengangkat kedua bahunya. "Gue baru sekali lihat dia berantem. Ya, itu pas dia hajar Flamma, setahun yang lalu."

"Bangsat, yang bener aja!" umpat Dani yang mendengar hal itu. Ia dan anggota lainnya mulai merasa khawatir. Bagaimanapun juga, Gilga tidak memiliki pengalaman di bidang ini. Ada hal-hal yang belum ia pahami.

Pada saat itu Rendi akan kembali memukul Gilga, namun Gilga menggerakkan kakinya lebih cepat. Tendangan kaki Gilga tepat mendarat di perut Rendi dan membuat cowok itu kesakitan. Gilga lalu menendang lagi kedua lutut Rendi dan membuatnya berlutut dengan pasrah. Kemudian untuk ketiga kalinya, Gilga menendang bagian dada Rendi hingga cowok itu kesakitan dan telentang di tanah. Gilga melakukannya dengan sangat cepat dan membuat semua orang terdiam.

"Sejak kapan petarung jalan duel pakai peraturan, bangsat? Banci, goblok!" Gilga mengintimidasi dengan menginjakk dada Rendi dan tidak membiarkannya melakukan perlawanan. Ia lalu melihat kepada semua anggota Flamma, "Ini pertama dan terakhir kali gue duel satu lawan satu atas nama Flamma."

Nada bicara Gilga sangat tegas dan mata tajamnya mengisyaratkan kemarahan. Semua anggota Flamma terdiam takut, sementara Gavin melongo terkejut. Gilga lalu melanjutkan ucapannya. "Gue, Gilga Alastair Regardi, pemimpin tertinggi Flamma. Bukan anjing yang bisa kalian andalkan buat duel demi nama Flamma – Jaga. Sikap. Kalian!"'

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now