BAB 3

1.1K 176 43
                                    

"Pulang naik apa?" Gilga mengikuti langkah Avana menuju gerbang sekolah.

"Naik angkot. Lo?"

"Gue bawa motor. Mau gue anter?" tawar Gilga.

"Gilga!" seru seorang kakak kelas dari luar gerbang. Gilga menoleh. Anak laki-laki itu melanjutkan ucapannya. "Cepetan ke warung Bang Salim. Ditunggu anak-anak."

"Bentar!" balas Gilga.

"Warung Bang Salim?" Avana mengerutkan keningnya. Mereka sampai di depan sekolah dan berhenti untuk menunggu angkutan umum.

Gilga menunjuk ke sebelah kiri dan seberang jalan. "Lihat rumah itu? Yang pagarnya biru dan banyak motornya."

Avana mengikuti arah pandang Gilga dan melihatnya. "Oh, itu? Tempat apa, tuh?"

"Tempat nongkrong anak-anak. Mau ikut ke sana?"

Avana menjawab, "Gue capek. Mau pulang aja."

"Kalau nggak capek?"

"Nggak mau juga. Gue nggak mau mempermalukan diri sendiri, ya." Pasti ada banyak anak laki-laki di sana. Dan akan sangat canggung karena ia tidak mengenal mereka. "Lo pasti anak populer di SMP lo, ya? Bisa-bisanya kenal kakak kelas padahal baru sehari masuk sekolah ini."

"Nggak juga." Gilga melihat angkutan umum dari jauh. "Lo naik angkot jurusan apa?"

"Itu." Avana akan mengayunkan tangan untuk menghentikan angkutan umum berwarna merah, tapi Gilga meraihnya dan menggantinya dengan tangan cowok itu. Avana tersenyum. "Lo bener-bener seriusin omongan gue di aula, ya?"

"Soal perhatian?" Gilga tidak melanjutkan ucapannya kepada Avana. Ia memeriksa ke dalam angkutan umum, memberikan jalan dan membantu Avana masuk. "Pelan-pelan."

"Terima kasih, Ga." Avana tersenyum tipis. Ia memilih duduk di pojok kanan belakang.

"Hati-hati." Angkutan umum berjalan dan Gilga melambaikan tangan.

What the hell. Kenapa dia seperhatian itu? Apa masih merasa bersalah? Atau dia benar-benar cowok yang baik? Atau mungkin dia jatuh cinta sama gue? Pertanyaan itu berkecamuk di dalam hati Avana.

"Setan, lama amat! Kemana aja, sih, lo?" cibir Ivan dengan kesal.

"Albi belum datang, kan?" tanya Gilga sambil meraih helm dan bersiap menaiki motor matic berwarna hitam. "Gue ada urusan bentar."

"Woi, mau kemana, lo, gigabyte?" julukan Gilga yang dari teman-temannya. Ivan berteriak sambil berlari mengejar Gilga sampai gerbang.

Gilga mendengarnya, tapi mengacuhkannya. Ia melajukan motor secepat mungkin dan mencari angkutan umum dengan nomor plat B 7897 DA. Tak lama, ia menemukan kendaraan itu melanjutkan perjalanan setelah berhenti di sebuah gang. Gilga memelankan motornya dan mengikuti angkutan umum itu.

Butuh tiga menit, untuk gadis yang duduk di pojok belakang untuk menoleh dan menyadari keberadaan Gilga. Avana yang terkejut malah tersenyum lebar saat Gilga melambaikan tangan kepadanya. Gilga pun membalas senyuman itu dengan kedipan mata kirinya yang manis. Sampai di jalan utama yang ramai, Gilga tidak bisa lagi memperhatikan Avana. Ia fokus menyetir. Sebaliknya, Avana yang terus memperhatikan Gilga dari dalam angkutan umum.

"Ya Tuhan." Lima menit kemudian, Avana sampai di depan rumahnya. Ia tidak langsung masuk dan menunggu Gilga di depan pagar. Begitu Gilga berhenti di hadapannya, ia berkata, "Apa-apaan, sih, Gilga Alastair Regardi?"

Gilga melepas helmnya dan menjawab, "Nggak apa-apa. Gue cuman mau cari tahu dimana rumah lo."

"Kan, bisa tanya. Ngapain pakai ngikutin gue pulang segala?" Avana menggelengkan kepala. Gilga hanya tersenyum. "Karena udah di sini, mau mampir dulu?"

"Ummm...." Gilga mengerutkan kening berpikir. "Lain kali aja. Gue ada urusan lagi."

"Urusan apa? Buntutin cewek lain?" goda Avana. Mencari informasi.

"Jujur hari ini sebenarnya gue sibuk, sih. Jadi, nggak ada waktu untuk melakukan hal segabut itu."

"Gabut?" Avana tidak mengerti. Sibuk, tapi membuntutinya.

"Oke, masih banyak kewajiban yang harus gue lakuin." Gilga tersenyum dan memasang helmnya kembali. "Selamat istirahat. Sampai ketemu besok!"

Kewajiban? Membuntutinya adalah kewajiban?

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now