BAB 30

84 8 0
                                    

"Lagi ngapain?" tanya Gilga begitu Avana mengangkat teleponnya.

"Baru aja selesai ngerjain PR. Kenapa?" balas Avana dengan nada lumayan lesu. "Lo udah selesai berantemnya? Menang, nggak?"

"Mau ikut gue, nggak?" Gilga tidak menyadari suasana hati Avana yang sedang tidak bersemangat.

"Kemana?"

"Jenguk Gavin."

"Oke. Tunggu di depan – masuk juga boleh."

"Lo nggak apa-apa? Apanya yang luka?" tanya Avana begitu melihat Gilga yang menunggunya di atas motor. Hingga ia sampai di hadapan cowok itu dan memeriksanya sendiri.

"Kalau ada emangnya mau lo obatin?"

Avana naik ke atas motor lalu memakai helm dan menjawab, "Gue bawa ke rumah sakitlah. Gue, kan, nggak paham soal begituan. Siapa tahu ada luka dalam, kan, lebih cepat ditangani, kan, lebih baik."

"Cie, khawatir." Gilga menggoda jahil.

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit, Gilga beberapa kali membuka pembicaraan. Namun, Avana menanggapi dengan singkat. Gadis itu tidak terlihat kesal – lebih seperti sedang tidak ingin berbicara. Entah karena sedang enggan berbicara atau menurutnya memang tidak ada yang perlu dibicarakan. Sebenarnya ini aneh, Gilga yakin sesuatu terjadi, tapi ia masih menunggu waktu yang tepat untuk bertanya. Tidak, ia tidak akan bertanya – Gilga akan menunggu gadis itu berbicara dengan sendirinya. Untuk hal yang satu ini, Gilga tidak suka memaksa.

Di pertengahan jalan, Gilga mendapat telepon dari salah satu anak buahnya yang memberitahu bahwa Gavin sudah baik-baik saja dan sedang dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Ia lalu berhenti dan berputar balik arah. Avana belum sempat bertanya, namun Gilga langsung memberitahu. "Ternyata Gavin sudah pulang. Jadi, kita ke rumahnya aja. Nggak apa-apa?"

"Ah, oke." Avana tidak berpikir panjang. Sudah sejauh ini. Apakah di sana nanti akan ada banyak anggota Flamma, keluarga Gavin, atau apapun itu hal yang akan membuatnya canggung, sungkan bahkan tidak nyaman, Avana akan berusaha untuk mengatasinya. Gadis itu hanya tidak ingin pulang dan berada di rumah.

Lima belas menit kemudian, mereka sampai. Gilga menggandeng erat tangan Avana. Hanya ingin menegaskan bahwa apapun masalah yang dihadapi Avana saat ini, Gilga ada untuknya. Entah itu sekedar memeluknya, mendengarkan isi hatinya atau hanya untuk mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Gilga masuk ke dalam tanpa mengetuk pintu tanpa perlu menunggu. Rumah sahabatnya sudah seperti rumahnya sendiri. Ia bertemu dengan ibu Gavin yang baru saja keluar dari kamar Gavin. "Gavin tidur, Tan?"

"Eh, Gilga." Lena menyambut mereka dengan ramah. Ia pasti khawatir namun tidak menunjukkannya. Lena menoleh Avana dan tersenyum, "Avana, pacarnya Gilga?"

Avana cukup terkejut – ibu Gavin tahu. Ia sedikit salah tingkah dan akhirnya hanya bisa tersenyum malu-malu. Kemudian Lena kembali berbicara kepada Gilga. "Oh, iya. Kenapa Gavin dikeroyok gitu? Ada apa? Kamu nggak sama dia pas kejadian?"

"Nggak, Tan. Gilga lagi di rumah." Gilga tidak menyesal – ia sudah membalas dendam. "Tante yang jemput Gavin di rumah sakit?"

"Gavin dibawa ke rumah sakit?" Lena bingung. Sebab ia hanya tahu Gavin pulang sendiri dengan sedikit luka di tubuhnya dan juga wajah yang terlihat sangat lelah.

"Oh, enggak ya, Tan? Aku pikir dia dibawa ke rumah sakit. Soalnya temen-temen bilangnya parah." Gilga juga bingung. Namun untuk mengendalikan keadaan dia harus sedikit berbohong.

Lena tersenyum. Ucapan Gilga tidak mempengaruhinya. "Ah, enggak, kok. Cuman lebam sedikit di wajah sama tangan. Ya sudah, kamu langsung aja samperin sendiri. Dia lagi main game, kok."

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now