BAB 19

578 88 7
                                    

"AVANA!" teriak Gavin yang sedang bermain dengan Naka, anak Bang Salim di halaman warung.

"Gue nggak budek, woi!" balas Avana sambil memarkir motor Gilga dengan hati-hati. Ia lalu menyapa Naka, "Hai, ganteng!"

"Hai, kakak!" balas Naka dengan senyum menggemaskan.

"HAHAHA!" Gavin tertawa lebar. "Lo bisa naik motor? Sejak kapan?"

"Umm, seminggu yang lalu kayaknya – nggak tahu, lupa gue!"

"Gilga ekskul?"

"Yup. Gue males jalan makanya gue minta kunci motornya." Avana menengok ke dalam warung dan ruang tamu Bang Salim yang ada di sampingnya dan hanya ada beberapa anak. "Kok sepi? Pada kemana?"

Konsep warung Bang Salim adalah berbatasan langsung dengan rumahnya. Ada sebuah pintu cukup lebar yang menghubungkan warung dengan ruang tamu. Warung Bang Salim seperti markas terbuka Flamma. Siapapun boleh masuk, tanpa perlu ijin. Sayangnya, tidak semua orang berani masuk.

Sebelumnya adanya Flamma, Bang Salim selalu menutup pintu penghubung ke ruang tamu. Namun sejak semakin banyak yang berkumpul di sana, Bang Salim lalu mempersilakan mereka nongkrong di halaman dan juga ruang tamunya. Bang Salim tinggal bersama istri dan seorang putra yang duduk di bangku TK. Seiring berjalannya waktu, mereka semakin akrab dan menjadi hal biasa untuk anak-anak khususnya anggota Flamma tidur di ruang tamu di rumah Bang Salim. Seolah telah menjadi markas umum.

"Sebagian ke markas rahasia."

"Nah, lo ngapain disini?"

Sejak beberapa waktu yang lalu, perlahan tapi pasti semua orang tahu kedekatan Avana dan Gilga. Tidak hanya murid, namun guru-guru, pegawai sekolah dan bahkan penjual di kantin menganggap mereka berpacaran. Karena itu, teman-teman Gilga dan juga semua anggota Flamma mulai membuat hubungan baik dengan pacar dari bos besar mereka.

Sifat Avana yang santai membuat mereka akrab dengan waktu yang lumayan cepat. Mereka sering menggoda dan Avana menanggapinya dengan candaan. Tak jarang mereka juga membuat lelucon yang membuat Gilga cemburu. Gilga tidak pernah menyuruh, namun seringkali ketika para anggota Flamma membantu, menolong dan melindungi Avana.

"Males. Palingan di sana juga gabut rebahan. Mending disini, makan-makan sambil lihat mobil lewat, main sama Naka, ya?" ujar Gavin sambil menjewer pipi gembul Naka.

"Hadeh." Avana menggelengkan kepala lalu masuk ke warung. "Main game, bang? Masih lama, nggak? Avana laper, nih. Pengen mie goreng yang pedes."

"Masih," jawab Bang Salim.

Ravi pun menyahut, "Bikin aja sendiri. Masa nggak bisa?"

"Bisa, kak. Tapi, Avana mager." Avana merengek manja. Ia lalu menanyakan keberadaan istri Bang Salim. "Mbak Santi kemana, sih?"

"Nyuci," Bang Salim lagi-lagi menjawab singkat, padat dan jelas.

"Alasan aja, deh!" timpal Ravi yang sedang rebahan dengan nyaman di kursi kayu yang berada di depan warung. "Sini, gue bikinin."

"Lo, dong, yang kesini. Emangnya mau masak di situ, huh?"

"Lho, kok?" Gavin berkata dengan keras. Ia tengah terkejut.

"Sebentar, Tuan Putri." Ravi akan bangun, namun tiba-tiba seseorang menahannya.

"Nggak usah repot-repot. Biar gue aja." Gilga datang.

"Mantap." Ravi kembali rebahan sambil memuji, "Bener-bener, bucin yang bisa diandalkan."

"Eh?" Mendengar suara khas itu, Avana segera keluar. "Kok, udah pulang?"

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now