BAB 15

599 93 3
                                    

"Bentar lagi maghrib. Yuk, pulang!" ajak Gilga setelah melihat jam di tangannya.

"Jangan dulu!" sahut Avana sambil memegang tangan Gilga yang sudah berdiri di sampingnya. "Tanggung – sekalian habis maghrib aja."

Gilga diam sejenak – berpikir. "Nggak apa-apa emang? Lo ijin lama tadi?"

Avana mengangguk. "Makanya, santai aja."

"Oke." Gilga manggut-manggut lalu kembali duduk."

"Beneran nggak apa-apa?" Giliran Avana bertanya.

"Apanya?" balas Gilga polos – tidak mengerti maksud gadis itu.

"Lo masih pakai seragam sekolah gitu. Nggak dicariin orangtua lo?"

"Oh." Gilga bersandar di kursi. "Kan, gue anak cowok, jagoan lagi – dan hal terpenting dalam hidup gue adalah makanan. Nggak ada yang perlu mereka khawatirkan tentang gue."

"Ih." Avana melirik sinis. "Tapi, kan, tetep aja. Namanya orangtua pasti khawatir sama anaknya."

Gilga terkekeh. "Kalau mereka pingin cari tahu kabar gue, mereka bisa tahu sendiri tanpa gue kasih tahu. Chill, baby. Everything is okay!"

"Kok bisa?" Avana duduk manis dengan kedua tangan menyilang di atas meja. "Tell me about your family."

"Lo harus kenal gue dulu, baru keluarga gue."

"Kalau gitu kasih tahu gue lebih banyak tentang diri lo."

Kali ini Gilga yang meletakkan tangan menyilang di atas meja. "Gue kasih tahu beberapa, sisanya lo harus usaha sendiri."

"Tentu aja – lo, kan, orang yang gue suka, bukan narasumber penelitian."

Senyum Gilga melebar perlahan. Pada beberapa kesempatan, ia mengakui Avana membuat lelucon dengan baik. "Oke – Bokap gue pengusaha. Nyokap gue, waktu gue umur empat tahun, kecelakaan sama kakek gue dan mereka meninggal di tempat."

"Astaga, sorry." Avana menangkupkan tangan merasa bersalah. "Gue nggak maksud...."

"Santai aja, kali. Emang itu faktanya." Gilga terkekeh. "Ah, gue anak tunggal. Satu-satunya cucu cowok dari keluarga bokap, maupun nyokap."

"Seriusan?" Avana melebarkan mata.

Gilga mengangkat kepala sombong. "Makanya gue bingung. Otomatis gue jadi ahli waris keduanya. Tapi, kan, nggak mungkin gue mimpin dua perusahaan berbeda dengan RAM otak gue yang kapasitas 512mb ini. Nah, menurut lo gimana? Apa gue merger aja biar nggak ribet?"

"Brengsek lo, Ga!" Avana yang kesal melempar sedotan bekas dan mengenai tangan Gilga.

"Gue serius, Avana!" ucap Gilga dengan nada dan ekspresi sok serius yang menyebalkan.

"Terserah lo!" balas Avana dengan penuh penekanan. "Ah, udah, ah! Kita ganti topik."

"Yah, kenapa? Katanya pengen tahu gue lebih banyak?" Masih bersikap menyebalkan, seorang Gilga.

"Nggak mau, lo sombong." Avana mendengus. "Ummm, sekarang gue mau tahu tentang Flamma."

"Gue jadi narasumber sekarang?"

"Iya. Jadi jawab aja yang bener, jangan ngaco kalau nggak mau gue timpuk."

"Ih, serem." Gilga sok takut.

"Bodo amat." Avana acuh tak acuh. "Gimana bisa lo yang anak baru, kenal sama Albi dan dipilih jadi penggantinya. Emang lo sehebat apa?"

Gilga menggaruk tengkuknya berpikir. "Biasa aja, sih, sebenernya. Gue juga nggak tahu, kenapa bisa gitu."

Avana memberikan tatapan menyelidik kepada Gilga. "Nggak mungkin kalau nggak ada apa-apa. Pasti ada sesuatu yang spesial – gimana ceritanya lo kenal Albi? Lo mainnya jauh banget, ya?"

"Hehe." Gilga meringis. "Dia yang nyamperin gue. Gue, mah, anak baik, rajin menabung dan murid teladan."

"Jangan harap gue percaya!" timpal Avana.

Gilga terkekeh kecut. "Dulu, sekitar setahun yang lalu. Ada anak buah Albi, yang seangkatan sama dia, biasa.... sok jagoan di deket sekolah gue waktu SMP."

"Malak?" Avana mengerutkan kening kurang jelas.

"Semacam itu," jawab Gilga. "Itu sebabnya mereka jadi terkenal di kalangan murid di sekolah – banyak banget korbannya, gue sering lihat."

"Dan lo tolongin mereka?" Avana mulai antusias.

"Nggaklah!" sahut Gilga dengan penuh percaya diri.

"Anjir!" Avana tidak bisa menahan untuk mengumpat.

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now