BAB 1

2.4K 199 69
                                    

Di hari pertama orientasi sekolah, cukup banyak murid yang tidak membawa atau merusak barang yang telah ditentukan. Entah apa yang mereka lakukan, lebih banyak yang telurnya pecah daripada yang benar-benar tidak membawa dari rumah. Setiap murid yang melanggar harus maju ke depan. Setelah itu mereka harus membentuk dua baris segaris panjang lapangan, menghadap kepada teman-teman mereka yang telurnya aman dalam kardus di depan barisan setiap kelompok.

"Kok bisa nggak bawa telur?" tanya seorang anggota OSIS yang menjadi panitia.

"Jatuh pas mau dikumpulin, kak!" jawab cowok itu dengan tegas.

"Nama lo?" Panita bernama Dimas tersebut bersiap mencatat.

"Gilga Alastair Regardi."

"Ha?" Dimas mendongak menatap Gilga dengan terkejut. "Gilga?"

"Gilga Alastair Regardi." Gilga menyebutkan namanya sekali lagi dengan meningkatkan pelafalannya.

"Oh, oke." Dimas terlihat bingung. "Bentar."

"Gimanapun juga, gue salah. Jadi, catat aja." Gilga berusaha membantu Dimas menjalankan tugasnya dengan baik.

"Em...." Terlihat jelas Dimas sangat kebingungan.

"Chill." Gilga tersenyum penuh wibawa. "Lo harus profesional."

"Ah.... sorry," Dimas pun akhirnya terpaksa mencatat nama Gilga didaftar pelanggar. Meskipun Gilga mengatakan kepadanya untuk bersikap santai, tetap saja Dimas merasa tidak enak hati. Ia lalu menuju murid berikutnya. "Lo? Lupa juga?"

"Umm k-kesenggol temen waktu mau dikumpulkan, kak," jawab gadis itu dengan menyesal dan takut.

"Gue yang nyenggol dia," jelas Gilga. Mereka berada dalam satu kelompok dan hanya mereka yang terkena hukuman dari kelompok itu.

"Eh." Dimas dan gadis itu pun menoleh Gilga dengan tatapan bingung. Ia lalu kembali bertanya kepada gadis itu. "Nama lo?"

"Avana Ilesia Halim."

"Oke." Kali ini Dimas mencatat nama gadis itu dengan tanpa ragu. Saat ia akan beranjak kepada murid selanjutnya.

"Tunggu," jeda Gilga sedikit mengejutkan.

"Ya?" Dimas menoleh Gilga was-was meskipun ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun.

Gilga berpikir sebentar lalu berkata, "Hukuman buat cowok dan cewek yang nggak ada telur sama nggak?"

"Sama," jawab Dimas was-was.

"Apa?"

"Telur itu buat makan siang. Jadi, kalau jatuh atau nggak bawa, ya cuman dapat makan nasi aja."

"Gitu doang?"

Dimas mengangguk. "Setahu gue cuman itu."

"Oke, deh. Thanks!"

Setelah Dimas melewati sekitar tiga orang di sebelahnya. Avana berbisik kepada Gilga, "Jadi, nama lo Gilga Alastair Regardi?"

"Kata bokap gue, sih, gitu! Kenapa?" jawab Gilga sedikit tidak memperhatikan Avana. Ia lebih tertarik memperhatikan suasana sekitar.

Mereka bukannya belum memperkenalkan diri. Hanya saja, Gilga berdiri di barisan belakang dan Avana di tengah. Saat pembina kelompok melakukan absensi, Avana tidak terlalu berusaha mengenal teman-temannya. Jadi, ia hanya menghapal nama beberapa anak yang ada di barisan depan dan sampingnya saja. Dan juga, ia terlalu malas untuk menoleh ke belakang.

"Lo anak Kepala Yayasan?"

Gilga menggeleng. "Bukan."

"Anak Kepala Sekolah?"

Gilga menggeleng lagi. "Bukan."

"Anak guru?"

Gilga mendesis. "Bukan juga."

"Anak Kepala Dinas Pendidikan?"

"Bukan, anjir!" Gilga mulai kesal. Sontak ia mengalihkan pandangannya kepada Avana dan membuat gadis itu terkejut. "Ngapain tanya-tanya ortu gue? Suka sama anaknya?"

"Ih, ge-er!" Avana bergidik ngeri. "Terus kenapa kak Dimas kaget waktu tahu nama lo? Kelihatan banget, kan, ekspresinya kayak bingung, takut, gitu? Ya, gak, sih? Apa cuman perasaan gue aja?"

"Kenapa tadi nggak tanya langsung sama dia?"

"Menurut lo?" Avana sinis.

"Lo kepo."

"Anjir! Gue, kan, tanya baik-baik!" Nada bicara gadis itu menaik tak sengaja sambil bersedekap dan melirik ke arah lain kesal.

Gilga berdecak sambil melirik Avana heran. "Lo beneran pingin tahu kenapa? Sini gue kasih tahu. Menurut gue, gue lebih tinggi, lebih berotot dan lebih ganteng daripada dia."

Avana mendengus sambil melirik sinis kepada Gilga. "Nyesel gue tanya. Terserah lo, deh!"

Gilga terkekeh. "Lagian gitu doang, penting banget?"

"Ya.... gue cuman heran aja kenapa dia begitu. Kan, aneh begitu tahu nama lo dia langsung bingung, takut-takut, gimana gitu."

"Mana gue tahu. Gue, kan, ikan!" sahut Gilga dengan sangat cepat sembari meledek.

"Sinting." Avana mencibir sambil menyipitkan mata. Cahaya sinar matahari yang semakin naik mulai menyilaukan. "Seolah-olah lo itu orang berpengaruh, yang punya kekuasaan...."

"Ngaco, ngaco!" timpal Gilga. Ia lalu menyeret Avana agar bertukar tempat dengannya.

"Apaan, sih?" Avana tentu saja terkejut.

"Gue nggak nyaman berdiri di antara dua cewek." Gilga meringis.

"Sok kegantengan lo!" Dalam hati ia membenarkan. Gilga memang tampan. Mata hitam tajam, rahang tegas, hidung macung, bibir tipis, tubuh tinggi, otot terbentuk dan kulit coklat yang seksi. Wajah Gilga adalah tipe kesukaan Avana.

"Lo nggak mau ngucapin 'terima kasih' ke gue, gitu?"

"Buat?" Avana tidak mengerti.

Bukannya menjelaskan, Gilgamalah hanya tersenyum manis.

more than you know | gilga & avanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang