BAB 31

176 10 2
                                    

"Bohong sama nyokap?" Adalah yang pertama kali dipertanyakan oleh Gilga kepada Gavin saat masuk ke dalam kamar cowok itu. Bersama Avana tentu saja yang masih berada dalam genggamannya.

"Dasar bucin!" cibir Gavin begitu melihat Avana di belakang Gilga.

"Lo beneran di bawa ke rumah sakit, kan? Apa kata dokter?" Gilga langsung memberondong pertanyaan. Ia sangat khawatir terhadap keadaan Gavin meskipun ia telah melihat sendiri kondisi sahabatnya itu memang lebih baik dari yang ia perkirakan.

"Nggak usah lebay, deh! Cuman sesak napas aja biasa!" jawab Gavin santai sambil menyandarkan tubuhnya di tempat tidur.

"Yakin lo?" Gilgat tidak sepenuhnya percaya. "Lo beneran ke rumah sakit?"

"Iya, anjing. Kepo banget, sih, lo?" Gavin menaikkan nada bicaranya kesal. Dia sedikit sensitif tentang masalah kesehatannya. Ia tidak ingin dipandang sebagai orang yang lemah hanya karena penyakit asmanya.

"Ya, kan, gue cuman mau memastikan, njing. Lo anggota geng gue. Kalau ada apa-apa karena Flamma, gue merasa tanggung jawab, bego! Nggak jelas banget, sih, lo, anjing!"

Avana mulai tidak tahan terjebak dalam perdebatan di antara kedua sahabat ini. Ia menghela napas dalam lalu sedikit berteriak, "Stop! Kayak bocah banget, sih! Masalah gitu aja dibesar-besarin."

Gilga terlihat sangat khawatir dan menyahut, "Nggak gitu, Van! Masalahnya dia bohong ke nyokapnya kalau asmanya kambuh! Kalau sampai ada yang serius sama kesehatannya gimana?"

"Itu tadi!" Gavin tidak mau kalah. "Sekarang gue udah baik-baik aja. Nggak usah diperpanjang, sih!"

"Lo kenapa, sih? Aneh banget. Gue cuman tanya kenapa lo malah marah?" Gilga tidak mengerti apa yang terjadi dengan sahabatnya itu. Padahal ia hanya menanyakan kesehatan Gavin yang memang perlu dikhawatirkan setelah dipukuli dan membuat asmanya kambuh.

"Ya, lo kenapa lebay banget sama keadaan gue? Penyakit gue nggak separah itu. Tapi lo bersikap seolah-olah gue selemah itu." Gavin benar-benar kesal. Ketika penyakitnya kambuh, ia -memang menjadi selemah itu. Tapi bukan berarti bisa diperlakukan seperti orang tidak berdaya. Gavin masih memiliki keinginan untuk berusaha.

"Gue sayang sama lo, anjing. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa. Makanya sebelum terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, gue mau antisipasi dan ngelakuin yang terbaik buat lo, bego!"

Perdebatan terus terjadi. Avana memutar bola matanya dengan malas. Ia akhirnya duduk di sofa, bersedekap dan diam menonton keributan di hadapannya. Suasana hatinya tidak baik dan semakin memburuk sekarang. Lima menit lagi jika kedua sahabat itu belum juga mengakhiri perdebatannya, ia akan meninggalkan mereka berdua.

"Halah, babi! Mulai sekarang nggak usah sok peduli lagi sama gue! Udah sana minggat! Gue males lihat muka lo! Pergi lo!" usir Gavin sebelum menutup dirinya secara penuh dengan selimut.

"Terserah lo, jing!" Gilga benar-benar kesal dan ia tidak berusaha untuk memahami sahabatnya itu. Ia lalu meraih tangan Avana dan sedikit menyeretnya keluar dari kamar Gavin. Avana menurut saja. Gadis itu sedang tidak ingin melakukan apapun.

"Sumpah nyebelin banget si Gavin. Bisa-bisanya dia bilang gue lebay padahal gue beneran peduli sama dia!"

Gilga membawa Avana ke rumahnya. Sekarang mereka berada di taman belakang, tepatnya di tepi kolam renang. Avana menikmati makanan ringan yang dibawakan oleh asisten rumah tangga sambil menatap pemandangan langit yang penuh bintang. Di sampingnya, Gilga terus mendumal sambil bermain rubik – sesekali berdecak frustasi.

Avana tidak menanggapi. Sejak tadi, Avana hanya menjawab pertanyaan Gilga dengan singkat. Ia juga tidak melontarkan pertanyaan apapun pada Gilga. Meskipun suasana hatinya berangsur membaik. Namun, ia belum ingin kembali menjadi Avana yang ceria seperti biasanya.

"Salah ya kalau gue sepeduli itu sama sahabat gue? Menurut lo, gue beneran seolah menganggap dia selemah itu atau cuman dia aja yang baperan?"

Avana menghembuskan napas panjang. "Lo lebay."

Gilga sontak berhenti bermain dan menoleh Avana. "Kok bisa? Dari sisi mananya?"

"Lo nggak perlu tanya sedetail itu ke orang yang beneran sakit. Bukan salah dia kalau mereka menganggap seolah lo meremehkan dia. Lo pikir dia nggak bisa jaga dirinya sendiri? Lo pikir dia nyaman aja gitu hidup dengan bayang-bayang lo?"

Gilga terdiam dan berpikir. Merenungi perbuatannya dan perkataan Avana. Itu bisa saja terjadi. Ia hanya terlalu khawatir dan sangat ingin tahu keadaan terkini dari sahabatnya. "Gue cuman takut aja kehilangan sahabat yang udah kayak saudara buat gue. Gue pikir dia bakal ngerti itu. Apa gue harus minta maaf, ya?"

"Atas dasar apa lo mau minta maaf?" tanya Avana sebelum memberikan pendapatnya.

"Gue nggak bisa ninggalin dia lama-lama. Lagian dia juga nggak akan minta maaf ke gue. Di matanya, gue yang salah. Gue akan coba untuk menahan diri supaya nggak menunjukkan kepedulian gue secara berlebihan."

Sekali lagi, Avana menarik napas dalam-dalam. "Terserah lo, Ga!"

Avana pun menghabiskan minumannya dan pamit pulang. Ia menolak untuk diantar oleh Gilga. Sangat, sangat menolak. Ia lebih memilih pulang dengan ojek online. Meninggalkan Gilga yang dibuatnya bingung.

Yayımlanan bölümlerin sonuna geldiniz.

⏰ Son güncelleme: Dec 04, 2021 ⏰

Yeni bölümlerden haberdar olmak için bu hikayeyi Kütüphanenize ekleyin!

more than you know | gilga & avanaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin