BAB 5

1K 152 58
                                    

"Apa itu Flamma?"

Emma menjawab, "Flamma adalah organisasi rahasia yang bertugas menjaga keamanan semua murid SMA Cakrawala dari sekolah lain atau masyarakat umum. Dibentuk tiga tahun yang lalu oleh Albi Wardhana, alumni yang lulus tahun ini. Anggotanya adalah beberapa murid laki-laki dari kelas 10 sampai 12 segala jurusan. Setiap kelas memiliki perwakilan dan pemimpin. Dan setiap tingkat memiliki pemimpin distrik."

Selama masa orientasi, Avana mendapat teman baru bernama Emma. Mereka berada di satu kelompok yang sama. Kemarin, saat menyelesaikan misi kelompok, Avana dan Emma menjadi satu tim. Mereka banyak mengobrol dan menemukan bahwa mereka, memiliki banyak kesamaan. Salah satunya warna merah muda. Sejak itu mereka menjadi semakin dekat dan banyak menghabiskan waktu bersama.

"Semacam gangster gitu?" tanya Avana setelah menghabiskan bakso terakhirnya. Saat bel istirahat berbunyi, ia dan Emma langsung menuju kantin. Avana tahu Flamma karena hari ini, banyak murid baru yang membahasnya.

"Nggak juga," jawab Emma. "Tapi beberapa anggota yang songong kadang bertindak seolah mereka memang gangster."

"Serem, dong?" Avana bergidik ngeri.

"Nggak juga," bantah Emma. "Soalnya kalau ketahuan sama pemimpin atau anggota lain yang benar-benar baik, mereka bakal kena hukuman. Flamma, tuh, terkenal banget di antara organisasi rahasia antar sekolah."

"Terkenal gimana?" Avana bingung.

"Baiknya kebangetan, tapi kejamnya juga keterlaluan." Emma bercerita dengan penuh semangat. "Jadi, Flamma dihormati banget karena dua hal itu."

"Katanya organisasi rahasia, tapi banyak yang ngomongin. Gimana, sih?"

"Dasar bego!" cibir Emma. "Maksudnya itu rahasia umum, Avana."

"Oh.... kok, lo tahu banyak tentang Flamma?" Avana cukup heran.

"Kakak gue yang baru aja lulus adalah anggota Flamma. Lebih tepatnya dia jadi kapten angkatan kelas 12 tahun kemarin."

"Wah, sampai ada jabatannya juga. Mereka pasti benar-benar terorganisir." Avana membayangkannya. "Nah, kan, Albi, pemimpinnya udah lulus. Jadi gimana? Flamma bubar atau ada penggantinya."

"Gue dengar, sih, Albi udah milih penggantinya," jeda Emma. "Gue juga dikasih tahu kakak gue, kalau kemarin ada beberapa anggota yang bikin ulah di sekolah lain terus ketahuan sama pemimpin baru ini."

"Oh, ya? Terus gimana?" Avana semakin penasaran.

"Dihukum, dong. Mereka satu-persatu digampar bolak-balik."

"Wah, keren!" Avana menggeleng takjub. "Itu artinya dia pemimpin yang tegas."

Emma tersenyum. "Gue dengar pemimpin yang baru ini jauh lebih sadis dari Albi. Nggak banyak omong, langsung bertindak. Itu yang bikin dia terkesan misterius. Udah gitu, katanya dia juga ganteng."

"Oh, ya? Emangnya anak kelas berapa?"

"Seangkatan sama kita. Namanya unik, jadi gampang ingatnya."

"Oh, ya, siapa?" Avana benar-benar polos. Ia tidak tahu apa-apa.

"Avana!"

Avana menoleh sosok yang tengah berlari menghampirinya. Emma juga. Ia tersenyum dan berkata, "Ah, panjang umur. Ini dia bos besar Flamma sekarang."

"Kenapa ngelihat gue kayak gitu?" Gilga bingung. Ia bahkan memeriksa penampilannya. "Ada yang salah?"

Avana masih diam. Menatap Gilga dengan tatapan kosong. Kemudian ia tiba-tiba tertawa terbahak. "Ah, yang bener aja!"

"Apanya?" Gilga tidak mengerti.

Begitupun Emma yang mengernyitkan dahi heran. "Apaan, sih? Nggak jelas, Avana."

"Nggak. Nggak apa-apa." Avana berusaha meredakan tawanya. Ia lalu bertanya kepada Gilga. "Ngapain lo kesini. Bukannya lo lagi dihukum hormat bendera, ya?"

"Udah selesai. Makanya gue kesini. Laper." Gilga duduk di hadapan Avana dan memesan seporsi bakso.

"Lagian lo, sih, lemes banget jadi cowok!" Avana tersenyum manis. Ia terlihat bahagia sekali.

Sebelumnya mereka melakukan permainan rebut bendera. Jumlahnya lebih sedikit dari anggota kelompok keseluruhan. Selisih lima buah bendera. Setiap musik berbunyi, mereka harus berebut untuk mendapatkannya. Siapapun yang tidak berhasil, akan dihukum hormat bendera selama lima belas menit. Hukuman dilaksanakan pada lima belas menit pertama waktu istirahat. Gilga mendapatkan bendera itu, namun Avana berusaha merebutnya dengan mendorongnya tubuhnya. Gilga tidak tahu mengapa ia menjatuhkan dirinya saat itu meski Avana bahkan sebenarnya tidak bisa menggoyahkan kedua kakinya. Ia hanya tidak ingin, mungkin mengulur waktu.

Gilga terkekeh. "Nasib baik lo karena gue hilang keseimbangan tadi."

"Oh, ya?" goda Avana.

"Lo emang jahat, Avana!" sahut Emma dengan nada dramatis.

"Bayarin bakso gue, sebagai permintaan maaf." Kali ini Gilga serius. Bukan karena ia sedang berhemat. Gadis itu hanya harus menebus perbuatannya.

Avana berpangku dagu. Menatap Gilga yang bersiap akan melahap bakso di hadapannya. "Emma?"

"Apa?" jawab Emma yang juga sedang fokus menikmati keindahan wajah tampan Gilga.

"Dia terlalu manis untuk jadi seorang pemimpin geng yang sadis."

"Huh?" Gilga mengangkat kepada membalas tatapan Avana dengan tanpa ekspresi.

"Avana." Emma menoleh Avana dengan mata melebar cemas. Ia memperingati dengan lirih. Avana antara pemberani dan sembrono.

"Apa?" ujar Avana kepada Gilga dengan santainya.

"Gue?" tanya Gilga dengan datar. "Kenapa?"

"Lo, tipe cowok kesukaan gue, Gilga Alastair Regardi."

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now