BAB 26

513 87 7
                                    

"Woi, tunggu, dong!" Gilga berlari kecil menyusul Avana lalu merangkul gadis itu.

"Kafe atap cuman di sini doang, ya?" tanya Avana.

"Banyak - cuman yang lagi populer di sini, sih." Gilga menekan tombol untuk membuka lift.

"Browsing, cepetan!"

Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat ngopi di tepi jalan beralaskan tikar dan beratapkan terpal. Gilga sudah memberikan hasil pencariannya di internet mengenai kafe atap, namun di tengah jalan Avana malah tertarik dengan tempat ngopi tersebut. Sebenarnya Gilga tidak setuju karena akan ramai oleh suara kendaraan yang berlalu lalang. Sementara ia berniat untuk melakukan deep conversation tentang banyak hal – terutama apa yang membuat Avana sensitif hari ini. Avana memang tidak memaksa – namun ia terus menunjukkan betapa ia menginginkan hal itu. Gilga pun tidak memiliki pilihan lain. Ia menuruti gadis itu dengan patuh.

"Random banget lo. Asli, deh!" Gilga duduk bersila di hadapan Avana.

"Kan, gue bilang tadi, hari ini gue bosen," balas Avana dengan santainya sambil melihat apa saja yang tersedia dia tempat itu. Ia lalu merengek, "Ah, tapi gue nggak suka kopi."

"Lagian aneh-aneh aja." Gilga yang sudah kelaparan bersiap untuk memesan, namun tiba-tiba Avana mengambil alih.

"Bang, mie goreng nggak pedes satu sama air mineral , cepetan! Nggak pakai lama!" ujar Avana dengan cepat membuat si penjual menjadi panik.

"Oke, sebentar, neng!" balas abang penjual dengan segera meraih mie goreng untuk dimasak.

"Ngapain buru-buru, sih?" Gilga tidak mengerti. "Tumben juga nggak pedes? Kenapa juga cuman satu? Gue juga laper, anjir!"

"Bacot, deh, lo!" Avana membalas dengan santai sekali. "Itu buat lo, bego."

"Oh." Gilga masih proses memahami. "Terus, lo nggak makan juga?"

"Pokoknya lo kalau makan harus cepet, terus kita ke tempat lain!"

"HAH?"

Meski bertanya-tanya, Gilga melakukan menuruti permintaan Avana tanpa protes apapun. Setelah mie goreng siap, Gilga yang memang sedang lapar, memakan dengan lahap sambil terus berpikir tentang apa yang terjadi kepada Avana. Ia memandangi Avana yang sibuk dengan ponselnya, lalu meletakannya, lalu melihat ke sekitar – seperti itu berulang-ulang. Setahu Gilga selama ini, Avana adalah gadis yang tenang dan santai. Baru kali ini, gadis itu bersikap moody, gelisah dan sensitif.

"Beneran lagi PMS, ya?" tanya Gilga saat bersiap pergi dari tempat ngopi di tepi jalan tersebut.

"Apaan, sih!" Avana naik ke atas motor dan memukul bahu Gilga. "Udah cepetan jalan!"

"Kemana lagi?" Gilga benar-benar tidak tahu apapun.

"Puncak!"

"Anjir!" Gilga terkejut setengah pingsan. "Bener-bener anti mainstream lo!"

"Gue nyebelin, ya, hari ini?" Tiba-tiba Avana memelas.

Gilga pun sontak tidak jadi menarik gas. Ia menoleh ke belakang. "Apaan, sih? Nggak usah drama, deh."

Avana mengerucutkan bibir dan memasan wajah sedih. "Maaf. Gue nggak maksud. Gue...."

"Oke, oke. Nanti aja jelasinnya."

Avana menarik napas dalam. "Beneran ke puncak?"

"Lah, lo katanya mau kesana. Jadi, nggak?"

"Pengennya langsung sampai sana."

"Gue nggak bisa kalau teleportasi, kalau sewa helikopter masih bisa."

"Seriusan?" Avana memastikan.

Gilga berdesis. "Lo beneran mau ke puncak nggak, sih? Pengen banget apa cuman pengen aja."

"Pengen banget, tapi nggak banget yang banget, sih. Kalau bisa, pengen ke sana. Kalau nggak, juga nggak apa-apa, kok. Tapi, pengen banget ke sana. Umm, gitu, deh! Paham, kan?" Jawaban gadis itu berbelit-belit membuat Gilga semakin bingung.

"Yaudah, pegangan! Gue mau ngebut biar cepet sampai."

"Yakin?"

"Iya – udah jangan bikin gue bingung."

Avana menurut. Ia memeluk Gilga dengan erat – bersiap untuk pergi. "Yuk!"

"Gue beneran mau ngebut." Gilga memperingati lalu ia melajukan motornya sedikit lebih cepat dari biasanya.

Sepanjang perjalanan, Avana diam saja. Ia tidak ingin mengganggu konsentrasi Gilga. Selain itu, ini juga pertama kalinya menaiki motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Beberapa kali, ia bahkan memejamkan mata karena takut. Apalagi jika Gilga sedang menyelip mobil atau truk.

"Ga, nanti kalau pulang malem, terus dimarahin Mama, gimana?" Tiba-tiba Avana melontarkan pertanyaan tersebut di tengah perjalanan.

Gilga lalu menjawab dengan santai, "Urusan gue itu. Nanti gue yang maju. Tenang aja."

Sederhana, namun membuat Avana tersentuh. Ia menguatkan tangannya yang melingkar di tubuh Gilga sambil mencibir cowok itu, "Dasar bucin!"

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now