BAB 22

509 77 7
                                    

"Duh, macet banget!" gerutu Avana saat keluar dari gapura perumahan tempat tinggalnya.

"Ya, kan, lagi jamnya orang pulang kantor. Kayak nggak tahu aja," balas Gilga sambil fokus melihat kendaraan yang berlalu-lalang. Mereka tengah berhenti di sebuah perempatan, menunggu pergantian lampu hijau.

"Kenapa lewat jalan raya, sih? Biasanya, kan, lo tahu jalan-jalan alternatif yang seenggaknya, nggak semacet ini."

"Masalahnya nggak ada jalan alternatif ke tempat yang kita tuju."

"Kok bisa?" Avana bingung.

Tiga puluh menit kemudian mereka sampai di sebuah jalan menuju perumahan mewah. Sepanjang jalan Avana menebak-nebak. Ada banyak mall, kafe dan tempat-tempat menyenangkan lainnya di kawasan perumahan itu. Beberapa hari yang lalu Avana memberitahu Gilga bahwa ia ingin membeli beberapa baju yang ada di toko di salah satu mall yang ada di kawasan itu. Avana tidak meminta Gilga untuk mengantarnya, tapi terkadang cowok itu senang memberikan kejutan.

"Lah, kok lurus?" Avana bingung saat melewati tempat parkir mall yang ia maksud, Gilga malah hanya melewatinya.

"Harusnya belok?" balas Gilga dengan santai sambil terus fokus menyetir.

"Ya, kan, itu mall yang gue maksud. Kelewatan ini, mah."

"Hah?" Gilga tidak mengerti. "Emangnya lo mau ke mall?"

"Bukannya lo emang mau ngajak gue ke sana, ya?" Avana bingung sendiri.

"Enggak." Gilga menggeleng polos. "Lo bilang, gue masih buluk. Nanti lo malu, dong, kalau kita jalan sekarang."

"Oh, gitu." Avana diam sejenak. "Nah, terus kita kemana, dong?"

"Kemana, ya, kita?" Cowok itu malah bersenandung dan membelokkan motornya ke salah satu rumah mewah yang ada di sana. Dua orang satpam lalu membuka pintu dan Gilga membawa Avana masuk ke halaman. "Taraaaaaa, kita sampai."

"Rumah lo?" tebak Avana sambil turun dari motor.

"Bukan, punya bokap. Gue cuman numpang."

"Ih!" Avana memukul lengan Gilga. "Gila lo, ya! Kenapa nggak ngomong dulu, sih. Ini bokap lo pasti di rumah. Ah, kan, gue malu."

Gilga tertawa. "Halah, biasanya lo juga malu-maluin."

"Ah, lo masa nggak ngerti sih?" rengek Avana dengan manja. "Jahat banget, sih, lo, Gilga!"

"Ada gue. Jangan takut. Lagian apa, sih, yang lo takutin?" Gilga menggandeng tangan Avana. Ia berusaha mengakhiri perdebatan mereka kali ini. "Masuk, nggak? Atau lo mau nunggu di sini? Gue kalau mandi lama, lho!"

"Anjir!"

"Makanya ayo masuk. Lagian apa yang bikin lo malu? Lo cantik, lucu, baik. Lo nggak boleh insecure."

"Hmm, bisa-bisanya lo ngegombal disaat kayak gini."

"Everything gonna be alright. Trust me...."

"It works – iklan, dong!" sambar Avana dengan wajah polosnya.

Gilga tersenyum. "Nah, gitu, dong! Relax, relax. Tarik napas, buang, ulangi sekali lagi."

Avana mengikuti instruksi Gilga. Setelah lima kali akhirnya ia merasa lebih baik. "Oke, gue siap. Ayo masuk!"

Dengan memegang erat lengan Gilga, Avana masuk ke dalam rumah itu. Beberapa kali ia menahan napas – Avana terlalu gugup. Ia melirik ke sekeliling dan menyadari betapa besar dan mewahnya rumah itu. Belum ada tanda-tanda adanya manusia di sana dan Avana terus waspada. "Sepi banget, ya?"

Gilga tersenyum. "Bokap gue di ruang kerja kayaknya. Kalau nggak gitu, dia belum pulang."

Mereka menaiki tangga dan Avana semakin terkagum dengan lantai dua rumah itu. Desain yang sangat modern dan aesthetic. "Gede banget rumah lo! Ini kalau main petak umpet bisa seharian kali, ya?"

"Jangankan petak umpet, sepak bola di sini juga bisa."

"Sekalian aja main golf!" sahut Avana. Mereka berhenti di depan sebuah pintu – sepertinya kamar.

"Ini kamar gue," jelas Gilga sambil membuka pintu. Ia lalu menunjuk ruangan santai di depan kamarnya. "Tunggu di situ! Atau lo mau masuk?"

"Terima kasih." Avana langsung melepaskan tangannya dari lengan Gilga dan duduk manis di salah satu sofa.

"Oke!" Gilga lalu masuk ke dalam kamarnya.

Kamar Gilga memiliki dua pintu. Gilga tidak menutupnya dan Avana penasaran seperti apa kamar Gilga. Meskipun Avana sudah sering melihatnya saat mereka sedang video call, ia tetap saja ingin melihat secara langsung. Avana pun mengintip beberapa kali dengan hati-hati. Sayangnya, ia hanya bisa melihat sebuah koleksi action figure yang dipajang di samping pintu saja.

"Ehm."

Tiba-tiba sebuah suara datang dari arah belakang, Avana pun menoleh dan mendapati seorang pria paruh baya, mengenakan kemeja yang lengannya dilipat sepanjang siku dan berjalan ke arahnya sambil tersenyum. Avana pun berdiri sambil membalas senyumannya, "Selamat sore. Om pasti ayahnya Gilga, ya?"

"Kamu pasti Avana, ya?" tanya pria itu dengan yakin sambil duduk di hadapan Avana.

"Nilai sempurna buat Om." Avana kembali duduk.

"Saya Ghani, ayahnya Gilga. Dia cerita banyak tentang kamu – Wah, kamu pasti kesulitan pacaran sama Gilga. Sabar, ya? Dia memang orangnya nggak suka basa-basi dan kadang suka ceroboh."

Avana terkekeh. "Nggak juga, kok, Om. Dia malah baik banget. Makanya sampai dikatain bucin."

"Bucin?" Ghani menaikkan sebelah alisnya. "Budak cinta?"

"Iya, Om." Avana mengangguk. "Tapi itu emang benar, sih, Om. Gilga nggak cuman melindungi Avana, dia juga perhatian dan pengertian bahkan sampai hal-hal kecil yang aku sendiri nggak ngeh. Pokoknya, Gilga yang terbaik, deh, Om. Sampai aku kadang merasa nggak enak sendiri, soalnya dia terlalu baik buat aku."

"Om harap itu nggak akan kamu jadikan alasan buat mutusin dia," canda Ghani dengan santainya.

"Oh, nggak akan pernah!" Avana melebarkan mata. Dia antusias sekali. "Cuman cewek gila yang ngelakuin itu. Dan Avana adalah cewek yang seratus persen waras, Om."

Ghani tertawa. Gadis itu benar-benar lucu. Persis seperti yang diceritakan oleh anaknya. Sambil menunggu Gilga yang tak kunjung kembali. Dan juga, ia tertarik mengobrol dengan gadis itu. Ghani lalu membalas ucapan Avana, "Eh, tapi kata Gilga, kalian nggak jadian? Mana bisa putus?"

"Kok ngomongin gue, sih?" Tiba-tiba Gilga keluar dari kamarnya dengan wajah yang lebih segar dan penampilan yang lebih dewasa berkat baju santainya. Ia lalu menjatuhkan dirinya di samping Avana.

"Ih, kenapa itu muka jelek banget?" Ghani mengangkat bahu geli melihat lebam di wajah anaknya.

"Berantem. Kan, anak Om ini jagoan sekolah!"Avana bermaksud mengadu.

Setahun lalu, saat Gilga melawan Flamma, ia tidak terluka. Jadi, baru hari ini Ghani melihat Gilga terluka karena adu fisik. Ia tidak terkejut karena menganggap itu wajar untuk anak laki-laki apalagi masih remaja seperti Gilga. Namun, ia tidak tahu Gilga adalah seorang pemimpin geng. Gilga memiliki alasannya sendiri. "Bagus! Kalau ada yang macam-macam, habisin aja, bos! Rugi body, ikut bela diri kalau cemen."

"Beres!" Gilga mengacungkan jempol. "Udah sana, ah! Ganggu aja."

"Ih, ngusir!" Ghani pun berdiri. "Kalian mau pergi?"

Avana lantas menoleh Gilga. Cowok itu mennjawab, "Terserah Avana maunya gimana."

"Dasar bucin." Ghani lalu menoleh Avana yang masih tertegun melihat responnya yang malah mendukung. "Kalau mau, temenin Om makan malam, ya?"

"Ngajak apa nyuruh?" sahut Gilga. "Ambigu."

Avana tertawa kecil. "Terserah Gilga enaknya gimana."

"Ah." Ghani menghembuskan napas panjang.

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now