BAB 21

522 80 4
                                    

"Stop!" Avana berhenti berlari sambil terengah-engah. Ia sedang bermain kejar-kejaran di halaman dengan Naka dan kewalahan karena anak kecil itu ternyata memiliki banyak energi.

"Ayo, lagi!" ucap Naka dengan jahil.

"Udah.... kakak capek." Avana menolak dengan lembut. Saat ia akan kembali ke dalam warung, sebuah angkot berhenti kemudian Gilga turun. Cowok itu sendirian dengan sebuah luka lebam di wajahnya. Avana pun terperangah.

"Hai, Naka! Lagi main apa?" Gilga tersenyum dan menggendong Naka sambil berjalan masuk ke dalam warung.

"Kejar-kejaran. Kak Avana kalah." Naka juga tersenyum lebar.

"Payah, ya, dia?" Gilga terus bercanda dengan Naka.

Avana lalu menyusul sambil mengajukan banyak pertanyaan kepada Gilga. "Ih, luka! Sakit, nggak? Siapa yang berani-beraninya nonjok lo, huh? Terus kalian menang atau kalah? Anak-anak kemana? Kenapa lo naik angkot? Kan, tadi berangkat sama Gavin."

"Bawel amat, anjir!" Gilga menurunkan Naka lalu mengambil tas Avana dan berseru kepada Bang Salim yang sedang asyik berduaan bersama istrinya di ruang tamu. "Pulang dulu, bang!"

"Lah, nggak nunggu anak-anak, Ga?" Bang Salim menghampiri di pintu penghubung ruang tamu dan warung.

"Nganterin cewek gue dulu, bang. Udah sore." Gilga menuntun Avana menuju motor lalu berpamitan kepada Bang Salim. "Jalan dulu, bang!"

"Oke, hati-hati!" balas Bang Salim.

Avana yang sejak tadi hanya diam kebingungan akhirnya bersuara. "Ada apa, sih? Buru-buru banget."

"Nggak apa-apa, Van. Capek aja habis berantem." Gilga melajukan motornya dengan kecepatan seperti biasa. Untuk beberapa saat, Gilga berubah menjadi pendiam. Avana menyadarinya, namun ia maklum. Gadis itu percaya dengan apa yang baru saja Gilga katakan. Sejauh ini, Gilga tidak pernah berbohong.

"Nggak mampir dulu?" tanya Avana setelah sampai.

"Boleh?" Gilga balas bertanya.

"Nggak, sih. Lo lagi buluk!"

Gilga menghembuskan napas. "Yaudah, gue pulang dulu."

Avana tertawa. "Apaan, sih? Lebay banget."

"Nggak, nggak." Gilga menggelengkan kepala. "Gue nggak mau calon mertua lihat gue lagi buluk gini.

"Astaga!" gumam Avana sambil mengelus dada. "Masuk aja, sih. Lagian gue juga udah kasih tahu Mama kalau lo ketua geng sekolah yang jago berantem."

"HAH? Seriusan?" Gilga benar-benar terkejut. Ia tidak menyangka Avana akan merusak reputasinya secara blak-blakkan seperti itu.

"Iyalah. Ngapain gue bohong?"

"Ah." Gilga memegangi kepalanya. Dengan khawatir kemudian ia bertanya, "Terus gimana? Mama lo marah? Gue nggak boleh lagi deket sama lo?"

"Bacot lo, ah!" Avana bergidik ngeri. "Masuk, gih! Itu luka lo keburu infeksi kalau nggak dibersihin."

"Nggak." Gilga menolak. Ia benar-benar tidak ingin bertemu ibu Avana dengan wajah seperti itu. "Udahlah gue pulang aja."

"Jangan, dong! Gue pingin obtain luka lo!" Avana merengek.

"Gue nggak mau ketemu nyokap lo sekarang."

Avana berpikir cepat. "Yaudah, tunggu bentar."

"Ng-nggak...." Gilga akan melarang Avana, namun gadis itu sudah berlari masuk ke dalam rumahnya.

"Keren, ya, gue?" ucap Gilga saat Avana akhirnya menghampirinya.

"Gue pikir lo udah pergi." Avana tersenyum. "Maaf, ya? Gue mandi dulu barusan, gerah banget soalnya. Dan juga, gue dandan dikit."

"Dua puluh menit, gue gabut di sini, tanpa kepastian, nungguin lo. Nggak ada sedikitpun kepikiran buat pergi gitu aja karena gue takut lo kecewa pas keluar dan gue nggak ada."

Avana berdesis lalu naik ke atas motor Gilga. "Gilga Alastair Regardi, gue tahu lo bucin ke gue. Tapi please, nggak usah diperjelas dengan kasih tahu gue tentang itu."

"Kenapa emangnya?" tanya Gilga dengan polosnya.

"Gue salting, anjir! Ayo cepetan berangkat, deh!" jawab Avana dengan pipi memerah malu. Sayang sekali Gilga tidak bisa melihatnya.

Gilga tertawa kecil. Tentu saja ia senang Avana bisa menerima dengan baik perasaannya. Gilga tahu ia tidak pandai mengungkapkan kata-kata cinta. "Jadi, mau kemana, nih?"

"Kemana aja terserah, yang penting sama lo."

"Ah, siap!"

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now