BAB 10

898 111 7
                                    

"Sorry." Gilga melepas helm dan Avana turun dari motor.

"Emangnya ada apa, sih?" tanya gadis itu. "Perasaan tadi Gavin nggak ngomong apa-apa."

"Lo nguping?" Gilga mengelus rambutnya yang selalu tersisir rapi. "Tapi Gavin nggak mungkin hubungin gue kalau nggak penting."

"Tentang apa?" Flamma?" Avana tidak terlalu yakin.

"Semua hal." Gilga menganggukkan kepala. "Dia sahabat gue sejak kecil. Kita udah kayak saudara. Berbagi banyak hal. Dan gue tahu banget dia orangnya seperti apa."

"Oh, gitu." Avana kesal namun ia menutupinya dengan baik. Senyumnya seolah ia tidak masalah dengan itu. "Yaudah, sih. Hati-hati di jalan."

"Lo marah, ya?" Gilga merasa sangat tidak enak.

Avana tertawa kecil dan terpaksa berbohong. "Yah, ngapain gue marah gara-gara begitu doang – gue nggak sekekanak-kanakan itu, asal lo tahu."

"Besok kita kesana. Gue janji!" ucap Gilga sambil mengelus rambut Avana.

"Kapan-kapan aja, kalau lo beneran free. Seriusan." Kali ini Avana berkata sesuai dengna isi hatinya. "Lagian kita masih punya banyak waktu."

Gilga menatap Avana dengan tatapan misterius untuk waktu yang cukup lama. Avana yang tadinya biasa saja pun kemudian menjadi salah tingkah. "Apaan, sih! Gitu amat ngelihatinnya."

Gilga terkekeh. "Masih nggak nyangka aja, cewek secantik lo, tipe cowok kesukaannya yang kayak gue."

"Emangnya kenapa?" sahut Avana. "Bukannya gue bilang lo itu manis."

"Boleh jujur, nggak?" Tiba-tiba nada bicara dan raut wajah Gilga menjadi serius.

"Silahkan!" Mendadak ritme jantung Avana berdetak lebih cepat.

"Lo orang pertama yang bilang gue manis."

"Ha?" Avana terkejut. Ia diam untuk beberapa saat. "Masa?"

"Serius." Gilga meyakinkan. "Selama ini yang gue dengar orang-orang selalu bilang gue sadis, kalau nggak gitu – ganteng."

"Ah, anjir!" umpat Avana sambil menahan diri untuk tidak memukul kepala cowok itu.

Gilga tertawa puas melihat ekspresi kesal Avana. "Tapi itu emang kenyataan. Tanya aja sama Gavin kalau nggak percaya."

"Terserah, deh." Avana berlagak ngambek. "Udah sana, samperin Gavin."

"Lah, ngusir, nih?"

"Emangnya mau mampir dulu?" balas Avana sambil menunjuk jempol rumahnya.

"Emangnya boleh?"

"Asal lama. Minimal sejam."

"Itu namanya bertamu, bukan mampir." Kali ini Gilga mengacak poni Avana.

"Aduh!" Avana menepis tangan Gilga. "Suka banget, sih, ngacak-ngacak rambut orang!"

"Ini tandanya gemes." Gilga menjulurkan lidah mengejek. "Boleh tanya, nggak?"

"Wah, bener-bener pemimpin geng yang sopan – mau tanya aja pakai ijin segala." Nada bicara Avana terdengar menyindir.

"Gue bukan penjahat, Avana."

"Iya, iya. Bercanda, ih." Avana memanyunkan bibirnya. "Apa? Lo mau tahu tentang apa?"

"Kenapa?" jeda Gilga. "Gimana bisa gue adalah tipe cowok lo? Apa yang lo suka dari diri gue?"

"Ummm." Avana berpikir sambil memandangi Gilga dari atas sampai bawah. "Gue suka cowok yang tinggi dengan bentuk wajah lebar dan rahang yang tegas – yang kalau senyum ada lesung pipinya – yang tubuhnya berisi, nggak terlalu kekar tapi juga nggak kurus."

"Emang lo pernah lihat body gue?" Gilga memicingkan mata.

Avana bersedekap. "Makanya, kurang-kurangin hobi lo buka baju sembarangan. Nggak sadar apa, banyak cewek yang ngiler lihat roti sobek lo."

"Oh, iya, ya." Gilga menggaruk tengkuk dan meringis bodoh. "Tapi, kan, bagus – lo jadinya tahu kalau gue tipe cowok lo dengan paket lengkap."

Avana tertawa memaksa. "Bodo amat, ah. Terserah lo. Udah sana pergi – lama-lama lo kayak ojol lagi nego."

"Sejak kapan ojol ada nego?" Gilga bersikap polos sambil bersiap memakai helm. "Eh – nomer rumah lo berapa?"

Avana mengingatnya, namun ia menoleh ke belakang untuk memastikan. "26-G. Kenapa?"

"Nomer absen lo di kelas?" Gilga bertanya lagi.

"Lima. Kenapa, sih?" Avana penasaran dan kesal karena Gilga mengabaikannya.

"Kalau nomer HP lo berapa? Masa udah tahu kalau saling suka, tapi masih nggak pernah chat atau teleponan, sih!" ujar Gilga sambil memberikan ponselnya.

"Wah, bener-bener." Avana tersenyum tersipu lalu mengambil ponsel Gilga. "Norak tahu, nggak, modus lo."

"Biarin – oke, nanti malem gue telepon." Gilga menerima ponselnya kembali lalu menyalakan mesin motor.

"Gue angkat, kalau nggak sibuk." Avana jahil.

"Gue samperin kalau nggak diangkat." Nada Gilga terdengar mengancam. "Lo ada helm, kan?"

"Gue nggak pernah naik motor," jawab Avana. Kenapa?"

"Berangkat sekolah bareng besok?"

"Oke, besok anterin beli."

"Sekalian ke mie pedes juga?"

"Boleh." Avana mengangguk. "Udah sana pulang."

"Iya." Gilga melambaikan tangan dan bersiap untuk pergi. "Dah. Sampai nanti."

"Hati-hati."

"Avana!"

Saat Avana akan membuka gerbang rumahnya, tiba-tiba Gilga memanggil namanya. Avana berbalik dan melihat Gilga berhenti di depan rumah sebelah. "Iya?"

"Gue pengen punya hak untuk selalu ada buat lo." Gilga setengah berteriak.

Avana tertegun sepersekian detik lalu membalas dengan datar. "Oke.... lo dapat hak itu."

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now