BAB 4

1.1K 143 41
                                    

"Albi masih belum datang juga?" tanya Gilga saat kembali ke warung Bang Salim dan hanya tinggal beberapa anak yang berada disana.

"Distrik Sebelas, bikin masalah." Itu artinya anggota yang berasal dari kelas 11 A hingga F di segala jurusan. "Albi sama pemimpin distriknya udah ke markas, tapi kalau lo penasaran...."

"Gue nggak penasaran, tapi harus tanggung jawab." Mata Gilga seolah mengeluarkan cahaya laser yang siap membunuh siapapun yang menghalangi jalannya. Di hari pertamanya, masalah sudah menghampiri. Sungguh menyebalkan. Setelah menghabiskan setengah botol air mineral, Gilga bersiap akan pergi lagi. "Gue jalan."

"Oke, hati-hati!" balas Ivan sambil terus memperhatikan Gilga. Dari luar saja cowok itu sudah terlihat misterius. Dan juga gaya bicaranya, seolah diam-diam menghanyutkan.

Sekitar jarak tiga kilometer dari sekolah, sebelum perempatan lampu lalu lintas, ada sebuah bangunan yang masih berupa struktur beton yang terlantar sejak empat tahun yang lalu. Bangunan enam lantai tersebut ditutupi oleh seng gelombang. Ada jarak tiga ratus meter dari pagar utama yang berkarat ke bangunan. Jalanan itu sudah berupa paving block, hanya saja halaman kanan kirinya penuh dengan rumput liar. Jalan lain menuju bangunan itu adalah melalui sawah yang berada di belakang bangunan.

Saat Gilga sampai, tidak ada satupun anak yang berjaga di pagar utama. Gilga pun membuka dan menutup sendiri pagar itu. Dari jauh ia bisa melihat banyak motor terparkir di lantai utama. Setelah meletakkan motornya secara sembarangan, Gilga lalu berjalan dengan langkah tenang menuju lantai tiga. Samar-samar ia mendengar suara sentakan dan teriakan yang bersahutan.

Sampai di lantai tiga, ia bisa melihat sekitar lima anak laki-laki dengan menggunakan seragam dari sekolahnya yang baru, berjejer sambil menundukkan kepala menghadap beberapa anak yang salah satunya adalah Albi – seorang alumni dari sekolah yang sama yaitu SMA Cakrawala. Melihat Gilga datang, Albi bertanya, "Pacar lo?"

"Siapa?" balas Gilga sambil berjalan mendekat. Dan beberapa anak selain Albi

"Biasanya kalau nganterin cewek langsung cabut, tadi gue lihat ngobrol dulu," jawab Albi.

"Oh." Gilga lalu berdiri di hadapan sepuluh anak yang menunduk itu. Dengan penuh wibawa ia memberikan perintah. "Berlutut."

"Ha?" Mereka semua bingung dan tidak satu pun yang melakukan perintah Gilga. Tidak ada satu pun yang mengenalnya.

"Kalian nggak tahu dia pengganti gue? Pemimpin tertinggi Flamma!" sahut Albi menjelaskan keadaannya. "Makanya kalau ada pengumuman penting di grup chat dibaca, tolol!"

Seketika lima anak laki-laki itu berlutut dengan patuh secara bersamaan. Dari ekspresi mereka terlihat menyesal dan takut. Pandangan mereka hanya ke bawah. Gilga mengamati mereka satu persatu. "Gue yakin ini bukan yang pertama kalinya. Siapa pemimpin Distrik Sebelas?"

"Gue." Ia mengangkat tangan. Bukan salah satu dari yang berlutut, melainkan yang berdiri di samping Albi. "Ini yang pertama kalinya bulan ini, Ga."

Gilga menoleh. "Oke, jadi apa masalahnya? Gue mau penjelasan yang detail. Tujuan, rencana, misi, eksekusi, hasil – Sebelumnya, siapa nama lo?"

"Gue Dani dari 11 Bahasa C. Tujuan mereka cari untung sekaligus memperluas area kekuasaan. Rencana dibuat bersama. Misinya, nongkrong di taman dekat SMA Nusa Bangsa. Eksekusinya, malak murid di sana yang bukan anggota geng. Hasilnya, dapat uang sekitar empat ratus ribu." Dani menjelaskan dengan gemetar. Ia tidak tahu hukuman apa yang menanti karena tidak bisa menjaga anak buahnya dengan baik.

"Sebenarnya gue nggak masalah punya anggota miskin – yang nggak bisa gue toleransi adalah yang nggak tahu diri." Gilga menghela napas dalam dan berkacak pinggang. Ia lalu menoleh Dani. "Terus uangnya?"

"Diambil balik. Mereka nggak sengaja malak anggota geng karena kurang teliti dan ketahuan."

"Mereka hubungin lo, Al?"

Albi menjawab, "Mereka belum tahu gue udah mundur."

"Terus?"

"Kalau kejadian lagi, mereka ngajak perang."

Gilga mendekat kepada salah satu anak yang berlutut di ujung. Ia meniup telapak tangannya dua kali lalu menampar bolak-balik pipi semua anak yang berlutut satu-persatu dengan keras sambil berkata, "Nggak ada perang. Nggak ada perang. Nggak ada perang, bangsat!"

"Ampun, Ga! Ampun!" Mereka cukup kesakitan dan semakin berlutut sambil terus memohon. "Maaf, Ga. Kita akan lebih hati-hati."

"Flamma ada buat jaga diri dan sekolah. Bukan buat cari keuntungan pribadi. Ini peringatan pertama dan terakhir dari gue." Gilga mengacak rambutnya dengan kesal. "Ah, kenapa harus di hari pertama gue?"

Tidak ada yang berani menjawab. Semua diam. Kesan pertama mereka bertemu dengan pemimpin baru sungguh tidak mengenakkan. Albi, satu-satunya yang memiliki kedudukan sama dengan Gilga berkata dengan penuh ejekan, "Oke, jadi gimana? Apa hukuman yang mau lo kasih ke mereka?"

"Pulang aja, deh, lo semua! Pusing kepala gue," ucap Gilga sambil berjalan menuju tangga.

"Mau kemana lo, gigabyte?" teriak Albi. Bisa-bisanya ia malah kabur dari masalah. "Semua kapten distrik ada di sini, lo nggak mau kenalan dulu?"

"Nggak." Gilga melambaikan kedua tangan.

"Ah, brengsek!" gerutu Albi. Ia lalu berseru lagi, "Seenggaknya lo kasih tahu aturan Flamma yang baru sesuai kepemimpinan lo."

Gilga berhenti dan menoleh ke belakang, kepada semua orang yang melihat kepadanya. Ia diam sejenak, melihat mereka dengan tatapan yang yang sulit diartikan lalu berkata dengan tenang dan tegas, "Aturan Flamma? Gue – Gilga. Alastair. Regardi."

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now