BAB 12: Forgetness

97 10 1
                                    

Arini dan Brandon

Arini meregangkan tangan ke atas setelah mempelajari beberapa proposal kerja sama proyek pembangunan resort. Dia mengurut pundak yang terasa pegal. Hari ini banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Pagi hari ada tiga meeting, setelah istirahat makan siang disambut dengan beberapa dokumen proyek dan proposal yang harus dipelajari.

Tilikan mata cokelat lebarnya beralih ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 15.00. Sesaat kemudian Iin teringat dengan janji yang telah diucapkan kepada El dan Al untuk membuatkan masakan kesukaan mereka.

"Astaghfirullah, kayaknya nggak bisa pulang cepat," gumamnya pada diri sendiri.

Wanita berparas cantik itu segera meraih tas dan mengambil ponsel dari sana.

"Lho kok ponselnya nggak ada?" desis Iin panik.

Dia mencari di dalam laci, tetap tidak menemukan ponselnya. Di atas meja juga tidak ada.

"Apa gue nggak bawa dari pagi ya?" desahnya pelan.

Tangannya kemudian beranjak mengambil gagang telepon kantor di sisi kanan meja kerja. Baru saja ingin menekan tombol, Arini kembali termangu karena tidak ingat dengan nomor ponsel El dan Al. Sejak dulu, dia malas menghafal nomor telepon. Hanya nomor Brandon yang tersimpan di dalam memorinya.

"Bran," cetusnya langsung berdiri.

Dia harus ke ruangan Brandon yang ada di lantai dua belas. Satu-satunya cara untuk menghubungi El dan Al sekarang adalah dengan menggunakan ponsel Bran.

"Saya mau ke ruangan Bapak dulu. Kalau ada yang cari hubungi ke extension Pak Brandon aja ya," ucap Iin kepada sekretarisnya.

"Baik, Bu," sahut sang Sekretaris.

Wanita itu segera langkah menuju lift yang akan mengantarkannya ke ruangan Bran. Tak perlu menunggu lama, lift langsung terbuka. Iin menekan tombol angka dua belas. Beberapa saat kemudian, pintu lift kembali terbuka. Kakinya melangkah ringan ke ruangan Komisaris Utama.

"Bran ada di dalam, Pak Habib?" tanya Iin kepada pria yang telah mengabdikan diri selama delapan belas tahun menjadi sekretaris Bran.

"Ada, Bu. Hari ini tidak ada jadwal meeting," jawab Habib.

"Makasih ya, Pak."

Arini membuka pintu ruangan dan melihat Brandon sedang tersenyum lebar melihat ponsel. Matanya menyipit curiga mendapati suaminya seperti itu.

"Nah, ini Kakakmu datang," kata Bran sambil menggamit Iin agar mendekat ke arahnya.

Kening wanita itu berkerut bingung. "Apa sih?"

Brandon mengarahkan ponsel kepada Iin, sehingga wajah orang yang sedang melakukan video call dengannya terlihat. Tergambar jelas kelegaan di paras wanita itu. Ternyata dugaannya salah.

"Hai, Dek. Pa kabar?" Dalam hitungan detik ponsel Bran berpindah tangan.

Mereka berdua kini duduk berdampingan di sofa panjang berbahan kulit dengan kualitas premium.

"Kakak nggak pa-pa, 'kan? Tadi aku telepon ke ponsel Kakak nggak diangkat-angkat, jadinya VC ke ponsel Mas." Tampak raut khawatir di wajah Farzan.

Anak itu sekarang tumbuh menjadi pria yang tampan, mirip dengan Brandon dulu. Hanya saja masih kalah tinggi dari Kakaknya.

Arini tersenyum lebar. "Kakak baik-baik aja. Tadi lupa bawa handphone, baru aja nyadar."

"Tuh dengar sendiri, 'kan? Kalau kenapa-napa pasti Mas yang tahu duluan," komentar Bran.

JUST MARRIED (Trilogi Just, seri-3 / Final)Where stories live. Discover now