BAB 46: Perasaan yang Terdalam

140 10 17
                                    

Arini

Dua bulan kemudian

Selama dua bulan ini Brandon dan kedua anak-anaknya lebih banyak meluangkan waktu bersama dengan Arini. Banyak hal yang dilakukan mereka ketika waktu senggang, salah satunya bermain Scrabble dan mengisi buku TTS. Sudah banyak buku TTS yang telah diisi Iin. Untungnya kegiatan tersebut bisa memperlambat menurunnya kemampuan berbahasa wanita itu.

Rencana jalan-jalan ke Swiss terpaksa dibatalkan, karena kondisi kesehatan Arini. Bran khawatir jika istrinya pergi dan tersesat sendirian di negeri orang. Dia bisa saja mengendap-endap pergi tanpa sepetahuan Bran.

"Abang Farzan kok lama banget ya, Mi? Bukannya udah sampai Jakarta siang ini?" celetuk Al melihat tak sabar ke arah jam dinding.

Arini mengangkat bahu, lalu mengambil ponsel. Dia menghubungi adik kesayangannya.

"Halo, Kakak Cantik." Terdengar suara bariton Farzan dari ujung telepon.

Wanita itu tergelak mendengar pujian yang selalu dilontarkan adiknya. "Kamu udah di mana, Dek? Ada yang dari tadi ngedumel terus nih nunggu kamu."

Al langsung merebut telepon dari tangan ibunya. "Abang lama banget sih. Katanya siang udah nyampe. Aku nungguin dari tadi nggak datang-datang," cecar gadis itu cepat.

Farzan tergelak mendengar omelan keponakannya. "Bentar. Abang panggil Doraemon dulu pinjem pintu ajaib biar cepat sampai rumah."

Dalam hitungan detik, pintu rumah terbuka. Terdengar suara langkah pelan memasuki ruang tamu.

"Itu pasti Bang Farzan!" seru Al langsung berdiri meninggalkan Arini di ruang keluarga sendiri.

Wanita paruh baya itu melihat putrinya berlari sambil geleng-geleng kepala.

"Abang!!" pekiknya girang. Satu tahun tidak berjumpa membuat Al rindu dengan pamannya itu.

"Maaf lama, Dek. Baru aja nemu Doraemon di ujung gerbang masuk perumahan," canda Farzan terkekeh.

Pandangan Arini beralih ke samping dinding pembatas ruangan. Tak lama sosok yang dinantikan muncul di sana. Dia langsung berdiri membentangkan kedua tangan, menyambut sang Adik ke dalam pelukan.

Farzan segera meletakkan koper dan dua kantong berukuran sedang di atas lantai, lalu memeluk kakaknya. Raut lega tergambar jelas di paras tampannya ketika bertemu dengan Arini. Air mata yang ingin berlarian segera ditahan agar tidak keluar. Dia telah mendengar tentang kondisi wanita itu dari El tak lama setelah Brandon bercerita.

Setelah pelukan melonggar, Farzan memandang wajah Arini lekat. Senyum sendu tergambar jelas di parasnya sekarang.

"Jangan lihat Kakak kayak gitu, Dek." Arini menggelengkan kepala.

"How could it be?" lirih Farzan setelah duduk di sofa, tepat di samping Iin.

"Eh, sebentar. Bukan bermaksud nggak sopan. Aku udah dari tadi loh ini nungguin Abang datang," sela Alyssa dengan wajah mengerucut, kedua tangan membentuk siku di samping pinggang. "Pesenanku mana? Ukurannya pas, 'kan?"

Farzan memutar bola mata, lalu menunjuk salah satu kantong yang dibawanya tadi. "Tuh kantong warna cokelat. Pesenan kamu semua. Coba dulu di kamar."

Pria itu mengibaskan tangan menyuruh Al pergi.

"Dih. Jahat banget pake usir aku segala," cibir Al mengambil kantong yang dimaksudkan Farzan. Gadis itu kembali tersenyum girang melihat pamannya. "Makasih ya, Bang. Terbaik emang."

Dalam hitungan detik Al sudah berada di samping pria itu, lalu memberi kecupan di pipinya. "Aku naik ke atas dulu ya. Daaah!"

Sekarang tinggal Arini dan Farzan di ruang keluarga. Pandangan pemuda itu menyapu seluruh sisi rumah.

JUST MARRIED (Trilogi Just, seri-3 / Final)Where stories live. Discover now