Prolog

816 43 1
                                    

Denver, September 2016

Daun-daun yang gugur bersama angin menemani kegundahan seorang gadis yang duduk di bangku taman. Sebuah buku terbuka di pangkuannya, sementara pena yang sewarna dengan matanya mengetuk bibir dalam gerakan konstan. Tak ada yang istimewa pada diri gadis itu, hanya ekspresi wajahnya yang begitu serius berhasil menarik perhatian seorang pria di sudut lain taman.

"Ah!" Sang gadis tersentak, seolah mendapat jawaban atas pertanyaan di dalam bukunya.

Selama sesaat ia sibuk melarikan pena di atas kertas, hingga tiba-tiba gerakannya terhenti dan gadis itu melempar penanya dengan kesal. Mendesah frustrasi, akhirnya ia menutup buku dan matanya.

Angin yang bertiup, daun yang bergesekan, juga suara percakapan di sekitar menjadi latar. Membawa gadis itu semakin jatuh dalam ketenangan semu yang diciptakan benaknya. Entah berapa lama kemudian, gadis itu membuka mata dan seseorang berdiri di hadapannya. Seorang pria, dengan tangan yang mengulurkan pena hijau.

"Milikmu?"

Sang gadis mengerjap. Berusaha menyerap kehadiran pria di depannya dengan lebih jelas. Pandangan sang gadis jatuh pada matanya yang berwarna hitam kelam, tetapi tak ada kegelapan di baliknya. Hanya ada kehangatan yang sulitdideskripsikan.

"Ya. Terima kasih," ucap sang gadis seraya menerima penanya. Ia mengira pria itu akan segera pergi setelahnya, karena bagaimana mungkin pria setampan itu akan memilih duduk di sisinya? Namun, itulah kenyataannya. Pria itu duduk di sisinya.

Pria itu menghela napas sebelum berkata, "Aku tidak pernah mengerti mengapa musim gugur dikatakan indah. Namun, sekarang aku mengerti."

Sang gadis menatap pria di sisinya. Menemukan kedamaian yang ganjil dalam sosoknya. Lalu sebuah perasaan yang sudah lama tidak dirasakannya hadir. Membuat gadis itu tertegun.

Perlahan, ia mendongak menatap langit melalui celah daun yang rimbun. Untuk sekali saja, gadis itu memilih melupakan kenyataan. Ia ingin hidup. Ia membalas ucapan pria itu dengan sebuah kalimat yang tak pernah ia ucapkan sebelumnya.

"Aku ingin menggenggam angin."

Ketika waktu bergulir dan matahari tergelincir, dingin semakin menggigit. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang beranjak. Kalimat demi kalimat meluncur dari bibir mereka. Sebuah pengakuan. Tidak spesifik dan sering kali tidak berhubungan. Interaksi mereka bukanlah percakapan, tetapi pada akhirnya, kalimat-kalimat pengakuan itu justru mendekatkan dua hati yang asing. Merekatkan dua jiwa yang tidak utuh.

Sang gadis membuka mata dan sontak bangkit berdiri begitu melihat langit sudah berubah warna. Ia terlambat. Tergesa, ia mulai membereskan barang-barangnya.

"Kau memutuskan untuk mengejar naga di angkasa?"

Tawa berderai lolos dari bibir sang gadis. Tak percaya pria itu mengingat pengakuan tidak pentingnya. Lebih tidak percaya lagi bahwa ia masih mampu tertawa. Setelah tiga tahun hidup dengan realita buruk juga siksaan batin tanpa henti, gadis itu benar-benar tidak percaya bisa menemukan sesuatu yang sudah lama hilang.

Harapan.

Pria itu ikut berdiri. Diiringi seulas senyum ringan, tangannya terulur. "Aku Ivander."

Menyambut uluran tangan kokoh di hadapannya, sang gadis membalas, "Larevta."

Senyum Ivander meluas, bersama senyum Larevta yang perlahan tersungging manis.

Malam itu, dengan angin musim gugur yang menjadi saksi, mereka sepakat untuk kembali bertemu. Bersama harapan yang mulai tumbuh tanpa disadari.

***

Memories of Love (Unbroken #3)Where stories live. Discover now