Tanpa Harapan

171 24 0
                                    

Jakarta, Januari 2019

"Sial! Di mana anak itu?" umpat Genan seraya menurunkan ponselnya yang lagi-lagi tersambung dengan kotak pesan adiknya. Sudah dua hari dan tetap tidak ada kabar dari Ivander.

Larevta yang duduk di sofa menundukkan wajah. Gadis itu berusaha menyembunyikan kecemasannya yang semakin lama terasa mencekik. Membuatnya sulit bernapas dengan satu pertanyaan yang terus berulang. Di mana Ivander?

"Bagaimana dengan apartemennya? Apa dia ada di sana?" tanya Larevta pelan.

Genan menghela napas. "Ya. Dan itulah masalahnya. Ivander menolak siapa pun yang datang mengunjunginya. Dia bahkan tidak bersedia membuka pintu. Hanya berkata bahwa dia baik-baik saja."

"Bagaimana mungkin dia baik-baik saja?" bisik Larevta.

Genan menjatuhkan tubuhnya di samping Larevta. Kepalanya menyandar pada sandaran sofa sementara matanya tertutup.

"Dia tidak baik-baik saja. Aku tahu, Leaf."

Larevta menatap Genan yang terlihat begitu muram. Untuk kali pertama, Larevta melihat senyum terhapus dari wajah Genan. Setelah tragedi dalam keluarganya, kini Genan harus menghadapi adiknya yang tiba-tiba menutup diri. Jika ada satu hal yang tidak terelakkan dalam hidup Genan, hal itu adalah adiknya. Genan begitu peduli dan sangat melindungi Ivander. Meski sering saling memaki juga mengejek, siapa pun yang melihat akan tahu betapa besar rasa sayang tak tersuarakan di antara kakak-beradik itu.

Larevta menyentuh satu sisi wajah tunangannya, lalu bertanya, "Apa kau baik-baik saja?"

Genan menangkup tangan Larevta. "Aku baik-baik saja. Selama aku memilikimu, aku akan baik-baik saja."

Selama sesaat tak ada suara. Genan masih menutup matanya, sementara Larevta terus menatapnya dengan khawatir.

"Aku tidak pernah tahu ayahku mencintai Bibi Laura."

Mendengar itu Larevta tidak bisa melakukan apa pun selain diam.

Laura adalah ibu Avera yang menikah dengan James, adik dari ayah Genan. Selama sepuluh tahun terakhir, Laura tinggal sendiri di sebuah rumah sederhana yang jauh dari pusat kota, karena depresi setelah Jill datang dan mengaku sebagai anak James. Beberapa bulan lalu terjadi kebakaran yang merenggut nyawanya dan kebakaran itu disebabkan oleh Riana, ibu Genan.

Semua itu terbongkar ketika ayah Genan mendatangi James dan berniat membunuhnya. Namun, pada akhirnya, Riana meninggal dengan satu peluru menembus kepalanya dan ayah Genan kini berada di penjara. Seakan tragedi itu belum cukup buruk, Ivander harus menyaksikan segalanya. Ia bahkan menghubungi polisi untuk melaporkan ayahnya.

"Tidakkah cinta itu aneh, Leaf?"

Larevta tertegun.

Genan membuka matanya dan menatap gadis itu lekat. Menenggelamkan mata hijau Larevta dalam matanya yang segelap arang.

"Lihat apa yang terjadi dengan orangtuaku. Ibuku marah karena cintanya tak pernah berbalas dan ia membunuh ibu Avera. Ayahku hidup bersama dendam karena wanita yang dicintainya disakiti oleh adiknya. Pada akhirnya, cintalah yang menghancurkan mereka," ucap Genan dengan nada yang terdengar begitu jauh.

"Genan—"

"Sekarang aku mengerti alasan dari perceraian itu, juga peraturan Ayah yang melarang keras kami untuk bertemu dengan Ibu. Terlalu banyak luka. Ayah berusaha mengubur rahasianya. Satu hal yang tidak Ayah tahu, sebaik apa pun ia menyimpan kebenaran, pada akhirnya kebenaran akan menemukan jalan untuk keluar dan menunjukkan segalanya."

Larevta membeku. Kalimat itu terasa menamparnya dengan telak. Nanar, Larevta membalas tatapan Genan tanpa mampu bersuara. Di dalam, hatinya menjerit agar kebenaran yang kini disimpannya takkan pernah memiliki jalan untuk keluar.

Agar Larevta tidak menyakiti satu-satunya pria yang paling berarti baginya.

***

"Aku hanya pergi selama tiga hari. Kau akan baik-baik saja, bukan?" tanya Genan untuk kelima kalinya dalam satu jam terakhir.

Larevta merapikan jaket yang dikenakan Genan, lalu membalas, "Seharusnya aku yang berkata begitu. Apa kau akan baik-baik saja tanpaku? Haruskah aku ikut denganmu?"

Genan menggeleng. Hal terakhir yang diinginkannya adalah membuat Larevta berada dalam bahaya. Genan harus mendaki gunung dalam pekerjaannya kali ini dan mengambil foto yang bagus sekaligus menjaga Larevta adalah dua hal paling mustahil yang mungkin dilakukannya. Lagi pula, Genan ingin menggunakan kesempatan itu untuk menenangkan dirinya sendiri. Sudah tiga hari dan adiknya masih tidak bisa dihubungi. Jika mengurung diri adalah cara Ivander berdamai dengan hatinya, maka Genan lebih memilih kembali pada alam.

"Aku akan kembali sebelum kau merindukanku," bisik Genan seraya mengecup kening Larevta.

Mengangguk, gadis itu mengantar tunangannya hingga pintu. Setelah satu lambaian tangan, Genan mulai menjalankan mobilnya dan Larevta tetap berdiri sampai mobil tunangannya hilang dari pandangan.

Sesudah itu, Larevta memulai harinya seperti biasa. Ia menyalakan laptop dan memilah foto-foto yang harus diserahkannya pada redaksi. Ketika senja datang dan pekerjaannya selesai, Larevta pun mengecek ponselnya dan membalas pesan singkat dari Genan.

Menghela napas, gadis itu menatap kosong pada ponselnya. Di saat sendiri seperti ini, pikirannya semakin liar dan mulai memberikan gagasan-gagasan yang membuatnya panik. Hanya saja beberapa hari belakangan pikirannya berpusat pada Ivander yang tidak juga memberikan respons selain sebuah pesan singkat yang ditujukan pada Genan dan berisi satu kalimat: aku baik-baik saja.

Larevta cemas. Sungguh cemas. Bagaimana jika Ivander merasa kesulitan dan tidak ada seorang pun yang menemaninya? Atau ... bagaimana jika Ivander hancur dan sama sekali tidak mampu bangkit lagi?

Karena meskipun sejak awal keluarganya sudah tidak utuh, tragedi yang harus disaksikan Ivander pasti berada di luar batas kemampuannya. Bagaimana mungkin Ivander baik-baik saja setelah melihat ayahnya membunuh ibunya?

Pemikiran itu menyentak Larevta begitu keras. Tanpa berpikir dua kali, ia mencari nama Cal dan menghubunginya. Setelah tiga nada sambung, telepon diangkat.

"Cal? Ini aku, Larevta."

"Ada apa, Larevta?"

"Apa kau bisa memberitahuku alamat apartemen Ivander?" tanya Larevta seraya menyambar tasnya dan memasukkan dompet.

"Ivander?" sahut Cal bingung.

Larevta mendesah tidak sabar, membuat Cal segera menyebutkan alamat apartemen tempat Ivander mengurung diri selama hampir satu minggu.

"Namun, untuk apa kau ke apartemen Ivander? Apakah terjadi sesuatu?" tanya Cal.

"Terima kasih, Cal." Larevta berkata sebelum memutuskan sambungan.

Ia menghentikan taksi pertama yang dilihatnya, lalu mengulang alamat yang diberitahukan Cal. Sepanjang perjalanan, Larevta benar-benar berharap pikiran berlebihannya sama sekali tidak menjadi nyata. Satu jam kemudian, ia sudah berdiri di depan pintu apartemen Ivander. Dengan ragu ia menekan bel. Ketika sudah tiga kali dan tidak mendapat respons, Larevta mulai mengeluarkan suara.

"Ivander, kau ada di dalam? Ini aku, Larevta."

Tak ada jawaban.

"Ivander! Buka pintunya! Aku tidak akan pergi sebelum aku bertemu denganmu!"

Memories of Love (Unbroken #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang