Awal Baru

251 33 2
                                    

Satu minggu kemudian.

Genap setengah jam Ivander terlambat menjenguk Larevta hari ini. Gadis itu mencoba meredam kepanikannya, tetapi matanya tak lepas dari pintu di sudut kanan kamar.

Apakah Ivander sudah menyerah terhadap dirinya?

Menggeleng, Larevta memarahi dirinya sendiri yang begitu pesimis. Matanya segera beralih pada langit berwarna jingga di luar jendela. Tidak, Ivander tidak akan meninggalkannya. Ivander akan melindunginya. Ivander berjanji mereka akan memulai dari awal.

Sementara itu, di bagian rumah sakit yang lain, Ivander berdiri di ruang ICU dengan tubuh diam tak bergerak. Fokusnya tertuju pada sosok yang baru saja ditutup selimut putih. Sosok yang selama 33 tahun menjadi bagian tak terelakkan dalam hidupnya. Sosok yang pergi dan tidak akan pernah bisa dilihatnya lagi. Sosok terakhir yang menjadi pengikatnya.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Ivander mulai berbalik. Kakinya menyusuri lorong rumah sakit yang sunyi dengan langkah gamang. Ivander tidak tahu ke mana langkahnya pergi, hingga Patricia berdiri di hadapannya dengan napas berkejaran.

"Aku segera datang setelah mendapat pesanmu. Bagaimana keadaannya?"

Sebuah gelengan lemah diberikan Ivander.

Dengan air mata mengalir, Patricia memeluk Ivander. "Oh, Ivander, aku menyesal. Semoga ia mendapat tempat yang lebih baik di sana."

Ivander mengurai pelukan, lalu berkata, "Bisakah kau membantuku untuk mengurus segalanya?"

"Tentu. Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Apa yang akan kau katakan pada Larevta?" balas Patricia cemas.

"Kita tidak bisa memberitahunya," jawab Ivander tegas.

"Ivander—"

"Berjanjilah kau tidak akan memberitahunya. Aku tidak ingin ia semakin hancur. Bisakah kau bayangkan bagaimana perasaannya ketika tahu.... Tidak. Aku tidak bisa menyakitinya lebih dari ini," sela Ivander.

Patricia tidak bisa mengatakan apa pun selain mengangguk. Membiarkan Ivander melanjutkan langkah sementara dirinya sibuk membuat panggilan telepon.

Ivander berhenti sejenak di lorong, hanya berjarak beberapa meter dari pintu kamar Larevta. Ia tahu kondisinya yang berantakan akan mendatangkan pertanyaan dari Larevta, tetapi Ivander tidak memiliki tenaga tersisa. Dukanya terlalu pekat. Tak ada celah untuk mencegahnya mendekat.

Setelah menenangkan diri, barulah Ivander melangkah masuk ke kamar tunangannya. Gadis itu sedang berdiri di depan jendela, mendongak menatap langit senja. Terapinya berjalan lancar dan tidak akan membutuhkan waktu lama hingga Larevta benar-benar pulih sepenuhnya. Ivander bahkan bisa mengatur kepindahan mereka besok, karena dokter sudah mengizinkan Larevta pulang sejak kemarin. Satu-satunya yang dibutuhkan Ivander sekarang adalah persetujuan gadis itu.

"Maaf aku terlambat hari ini," ucap Ivander seraya berdiri di sisi Larevta.

Gadis itu berjinjit untuk mengecup pipi Ivander. Kepalanya menggeleng, sementara senyum masih menghiasi wajahnya yang terbingkai rambut cokelat berkilau. Kulitnya pucat, tetapi ia terlihat jauh lebih sehat.

Dengan mata yang kembali pada pemandangan di luar jendela, Larevta berkata, "Aku baru saja berpikir untuk mengabadikan langit itu, tidakkah warnanya bagus? Seperti mawar yang dibawakan Avera. Aku—"

"Ikutlah denganku," sela Ivander.

Larevta mengerjap, lalu melayangkan pandangan bertanya.

"Ikutlah denganku kembali ke Denver. Aku akan bekerja di sana dan kita bisa memulai dari awal. Aku tidak peduli apakah ingatanmu akan kembali atau tidak. Aku hanya ingin bersamamu," ucap Ivander sungguh-sungguh.

Terpana, Larevta tidak mampu mengatakan apa pun. Bukan karena ajakan Ivander yang tiba-tiba itu, melainkan ekspresi Ivander yang begitu mendesak dan penuh harapan. Seakan-akan jawaban Larevta akan menentukan hidupnya.

"Ivander, apa yang terjadi?" tanya Larevta.

Ivander membawa tangan kiri Larevta ke pipinya dan menjawab, "Aku membutuhkanmu, Hanya kau yang kumiliki. Jangan tinggalkan aku."

Larevta tahu ia harus segera memberikan jawaban. Ivander yang ada di hadapannya terlihat begitu menderita dan ia benci melihatnya. Perlahan, Larevta menarik tangan kirinya dan melingkarkannya ke bahu tegap Ivander. Meski ada satu pertanyaan penting yang harus Larevta tanyakan, saat ini gadis itu hanya bisa mengangguk.

"Ya, Ivander. Aku akan ikut denganmu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu," jawab Larevta lembut.

Ivander mengeratkan pelukannya dan membiarkan pedih hatinya terurai. Pada lekuk bahu Larevta yang mungil, Ivander melepaskan satu-satunya hal yang masih menjadi pengikatnya. Ia sudah merelakannya.

Dan, Ivander berharap, sungguh berharap, janji yang diucapkan Larevta itu tidak akan terlanggar. Bahkan jika ingatan dua tahun yang hilang itu kembali dan menghancurkan segala sesuatu yang sudah dibangunnya.

***

Memories of Love (Unbroken #3)Where stories live. Discover now