Kamera

348 37 0
                                    

Larevta melirik pintu kamar rawatnya dengan harap-harap cemas. Sudah dua hari sejak ia sadar dan Ivander selalu menemaninya di setiap jam besuk. Sekarang, lima belas menit sudah berlalu sejak jam besuk dimulai, tetapi Ivander belum muncul.

Pintu yang diliriknya terus-menerus akhirnya terbuka dan Ivander melangkah masuk. Larevta langsung menyapa dengan seulas senyum hangat, berharap hal kecil itu mampu meringankan luka Ivander karena ketidakmampuan Larevta untuk mengingatnya. Satu hal yang luput dari perhatian Larevta adalah kebekuan Ivander selama beberapa detik setiap dirinya tersenyum seperti itu.

"Hai. Bagaimana kabarmu?" tanya Ivander seraya mengulurkan setangkai mawar merah muda. Bunga kesukaan Larevta.

Gadis itu menggunting bagian bawah mawarnya, lalu memasukkannya ke dalam vas sejernih kristal di meja sisi ranjangnya, di mana sudah ada dua tangkai mawar lain di dalamnya. Kebiasaan kecil ini pun semakin meyakinkan Larevta bahwa apa yang mereka miliki nyata. Larevta hanya menyukai satu mawar merah muda. Seumur hidup, Larevta tidak pernah mengatakan pada siapa pun tentang bunga favoritnya, apalagi jumlah yang diinginkannya.

Meski begitu, Larevta belum terbiasa dengan sentuhan Ivander. Sejak pelukan mereka di hari pertama Larevta sadarkan diri, tubuh gadis itu selalu menjadi kaku ketika Ivander menyentuhnya. Maka dari itu, Ivander tidak pernah menyentuh Larevta lagi. Tak peduli betapa ingin kedua lengannya merengkuh, Ivander harus menahannya.

"Baik, kurasa. Hari ini aku mulai melatih kakiku. Sebentar lagi aku pasti bisa berlari. Bagaimana denganmu?" balas Larevta.

Ivander tersenyum, lalu menjawab, "Lebih baik setelah melihatmu."

Jawaban semacam itu sering disuarakan oleh Ivander dan entah mengapa, Larevta merasakan kejujuran. Bukankah jawaban itu hal yang lumrah dikatakan? Bisa jadi orang yang mengucapkannya pun hanya ingin menyenangkan hati orang yang mendengarnya. Namun, dengan Ivander, Larevta merasakan sesuatu yang berbeda.

"Apa yang kau bawa hari ini?" tanya Larevta bersemangat.

Ivander menunjukkan sebuah kamera digital sebagai jawaban. Kamera milik Larevta, yang tentu saja tidak diingatnya. Demi memulihkan ingatannya, Larevta meminta Ivander untuk membawakan barang-barang pribadinya setiap hari. Bisa saja, setelah melihat salah satu benda pribadinya itu Larevta akan mendapatkan kembali ingatannya. Tidak ada jaminan, tetapi tidak ada salahnya mencoba.

Larevta bergeser memberi ruang untuk Ivander, membuat pria itu tersenyum sebelum akhirnya duduk di pinggir ranjang. Ivander memperlihatkan satu per satu foto dalam kamera, sementara Larevta menyerapnya dengan ekspresi serius. Ia tidak menyangka foto-foto itu diambil oleh tangannya yang dulu hanya berkutat dengan angka-angka akuntansi. Meskipun foto itu menakjubkan, Larevta sama sekali tidak merasa familier.

Ibu jari Ivander berhenti menekan tombol di foto berlatarkan laut biru. Wajahnya begitu terpesona hingga tanpa mengalihkan pandangan, Ivander berkata, "Foto ini diambil saat pesta pernikahan Avera tahun lalu. Kau ingat? Hari itu kau mengenakan gaun berwarna merah muda. Seperti gaun musim panas. Sederhana, tetapi kau terlihat sangat cantik. Gadis tercantik yang pernah kulihat."

Larevta menatap Ivander dengan nanar. Ia tidak mengingatnya. Melihat ekspresi Ivander yang begitu menghanyutkan hanya karena satu foto itu, membuat Larevta semakin sesak. Tiba-tiba saja matanya terasa panas. Bagaimana mungkin pria tampan di sisinya itu miliknya? Ivander terlalu sempurna. Sementara Larevta bahkan tidak bisa mengingatnya sama sekali.

"Larevta, mengapa kau menangis? Apa ada yang sakit?" tanya Ivander cemas. Alis tebalnya berkerut, sementara mata hitamnya menatap Larevta lekat.

Memories of Love (Unbroken #3)Onde histórias criam vida. Descubra agora