Hidup Baru

184 26 1
                                    

Larevta menatap tangannya yang berada dalam genggaman tangan Ivander dengan senyum tak pupus dari wajahnya. Tangan yang kini terlingkari dengan cincin indah dan menerakan nama Ivander.

"Ke mana kita pergi?" tanya Larevta kemudian. Tubuhnya masih terbalut gaun pengantin sederhana, sementara Ivander sendiri sudah menanggalkan jasnya dan memperlihatkan dada bidangnya yang terbungkus kemeja putih.

Upacara pernikahan yang baru saja mereka lakukan benar-benar sederhana. Larevta dan Ivander sepakat untuk melakukannya hanya berdua saja. Setelah resmi menjadi suami-istri, mereka mengambil foto dan mengirimkannya pada Avera. Ide ini datang dari Larevta yang membuat Ivander tersenyum.

Belum sempat Ivander menjawab, ponselnya yang ada di dasbor berdering.

"Bisakah kau menjawabnya?" pinta Ivander.

Mengerutkan kening, Larevta bertanya, "Kenapa?"

"Karena sebelah tanganku memegang kemudi sementara tanganku yang lain tidak mau melepasmu," jawab Ivander tanpa ragu.

Larevta tertawa, lalu menggeser warna hijau di layar ponsel Ivander dan menekan tanda loudspeaker. Detik berikutnya teriakan mengisi keheningan dalam mobil.

"Ivander Daelan! Apa yang sudah kau lakukan? Kau menikah tanpa mengundangku? Apa kau ingin mati!"

Tertawa, Ivander membalas, "Halo juga, Avera. Aku merindukanmu."

Terdengar suara desahan panjang dari ujung sambungan. "Aku tidak percaya kau benar-benar menikah tanpa memberitahuku! Apa sulitnya menghubungiku dan mengatakan bahwa kau akan menikah hari ini? Aku akan melakukan apa pun untuk sampai di sana dan menyaksikannya! Astaga, sepupu macam apa kau ini, Ivander? Tega sekali kau melakukan ini padaku!" seru Avera. Nada kesal terdengar jelas dalam suaranya.

"Aku dan Larevta sepakat untuk melakukannya secara sederhana, berdua saja. Lagi pula aku tahu kau sibuk membantu Cal untuk proyek barunya," jawab Ivander tenang.

Namun, jawaban itu hanya membuat Avera semakin meledak. "Itu bukan alasan! Aku tidak percaya ini.... Kau benar-benar menikah tanpa memberitahuku? Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku bahkan tidak tahu harus membeli hadiah apa! Sangat bagus, Ivander. Benar-benar bagus!"

Ivander tertawa, sementara Larevta berkata, "Maafkan kami, Avera. Dan kau tidak perlu repot-repot membelikan hadiah. Kami sudah memiliki segala hal yang kami butuhkan. Bagiku yang terpenting hanya Ivander."

"Oh, Tuhan...." Avera bergumam. "Maafkan aku yang mengamuk seperti orang gila ini, Larevta. Selamat atas pernikahanmu. Aku akan mengunjungi kalian dalam waktu dekat. Aku ikut bahagia untuk kalian."

Larevta tersenyum. "Terima kasih, Avera. Kami akan menunggumu."

Terdengar seruan yang memanggil nama Avera. Lalu sepupu Ivander itu berkata, "Aku masih di Lombok sekarang, membantu Cal. Segala hal tentang syuting ini membuatku gila. Sekali lagi selamat atas pernikahan kalian. Aku benar-benar bahagia."

Ivander membalas, "Sampaikan salamku untuk Cal. Sampai jumpa, Avera."

"Tentu, Ivander. Hm ... selamat berbulan madu!" seru Avera ceria.

Sambungan terputus setelahnya. Bersamaan dengan mobil Ivander yang berhenti di depan sebuah rumah yang ada dalam hunian asri. Rumah bertingkat itu memiliki pagar sebatas pinggang dan halamannya ditumbuhi rerumputan hijau.

Ivander turun dari mobil, lalu membukakan pintu Larevta. Dengan tangan yang saling menggenggam, mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Isinya sudah lengkap dengan barang-barang rumah tangga. Desainnya yang sederhana memberikan kehangatan tersendiri bagi Larevta dan gadis itu menatap Ivander.

"Ini...."

Ivander mengangguk. "Rumah kita." Tangannya menarik Larevta untuk menjelajahi setiap sudut rumah. Hingga mereka sampai di kamar utama.

Ivander merengkuh wajah Larevta dan mencium bibirnya lembut.

"Aku mencintaimu," bisik Ivander.

Larevta merangkulkan lengannya ke bahu Ivander, membiarkan suaminya mengambil langkah selanjutnya. Tanpa kata, Ivander membimbing Larevta ke tempat tidur mereka dan membaringkan istrinya.

Setelah melepas gelungan rambut Larevta, Ivander bertanya, "Apa kau takut?"

Larevta menggeleng. Tangannya mulai membuka kancing-kancing kemeja Ivander. Setelah kemeja pria ituterbuka, Larevta menyusuri dadanya dengan telapak tangan yang bergerak lambat, seakan berusaha untuk menyerap momen itu.

"Aku mencintaimu," aku Larevta lirih. Tangannya menyusup ke dalam rambut tebal Ivander dan membawanya untuk satu ciuman panjang.

"Aku mencintaimu. Kau adalah milikku."

Begitu kalimat itu tersuarakan, tak ada lagi keraguan. Dan puncak itu mereka reguk bersama. Menyempurnakan ikatan pernikahan mereka.

***

"Aku ingin tahu tentang keluargamu," pinta Larevta saat Ivander menyusuri punggungnya dengan ujung jemari. Membuat pola-pola yang sebenarnya membentuk suatu kata dan membangun kalimat utuh.

"Apa yang ingin kau ketahui?" tanya Ivander seraya menatap mata hijau istrinya.

Larevta menggeser kepalanya lebih dekat, lalu menjawab, "Apa pun yang bisa kau ceritakan padaku."

Ivander tetap menyusuri punggung Larevta. Matanya memandang kosong sementara bibirnya berucap, "Orangtuaku bercerai tak lama setelah aku lahir. Lalu ayahku, yang mendapatkan hak asuh, membuat peraturan yang melarang keras aku untuk bertemu dengan ibuku. Aku tidak pernah bertemu dengannya hingga aku berusia enam belas tahun. Bertahun-tahun aku berhasil membohongi ayahku, tetapi pada akhirnya ia mulai menaruh curiga—meski tidak pernah mendapat bukti nyata aku melanggar peraturannya—dan ia mengirimku ke Denver."

"Lalu?" tanya Larevta pelan.

"Lalu aku bertemu denganmu," jawab Ivander.

Larevta mengerucutkan bibirnya, berpikir.

"Di mana ibumu saat ini?" tanya Larevta kemudian.

"Aku harap di tempat yang lebih baik."

Jawaban Ivander membawa Larevta beringsut lebih dekat padanya. Meletakkan kepalanya di bahu Ivander, Larevta menghela napas.

"Orangtuaku mengalami kecelakaan saat aku berusia tujuh belas tahun. Mereka tidak bisa diselamatkan dan pamanku mendapat hak asuh atas diriku," ucap Larevta lirih. "Karena itu aku menanyakan tentang pamanku padamu. Apa aku pernah menyebutkan sesuatu yang berkaitan dengan pamanku?"

Ivander menyibak rambut cokelat Larevta dan kembali pada kegiatannya membuat pola.

"Kau tidak pernah menceritakan apa pun padaku. Seperti yang pernah kukatakan saat itu," jawab Ivander. "Kau ingin bertemu dengan pamanmu? Haruskah kita mencarinya?"

Serta merta tubuh Larevta membeku. Namun, ia berhasil menutupinya dengan sebuah tawa lirih.

"Apa yang sebenarnya kita lakukan? Ini malam pertama kita dan pembicaraannya sudah seperti pasangan lanjut usia," gurau Larevta. Bibirnya kemudian menempel pada leher Ivander, berusaha mengalihkan perhatian.

Ivander segera membalas, "Jangan mengalihkan perhatianku. Aku tidak akan melakukannya lagi malam ini. Kau harus beristirahat. Kita masih memiliki ribuan malam untuk dinikmati bersama."

Tersenyum, Larevta mulai memejamkan mata. Saat itulah ia menyadari tangan Ivander yang masih terus membuat pola di punggungnya.

"Apa yang kau tulis di punggungku?" tanya Larevta.

"Hanya namamu." Ivander menjawab ringan.

Larevta tidak bertanya lagi dan tertidur dalam pelukan suaminya. Tanpa menaruh curiga bahwa jawaban Ivander hanya setengah benar. Karena pada kenyatannya, Ivander membentuk tiga kata yang sama dan berulang.

Larevta Daelan. Milikku.

***

Memories of Love (Unbroken #3)Where stories live. Discover now