Hantu Masa Lalu

188 24 1
                                    

"Hati-hati di jalan," pesan Larevta.

Pagi hari membawa kesejukan yang alami. Langit musim panas begitu cerah, seakan berusaha meningkahi keceriaan yang mewarnai hati Larevta dan Ivander.

"Jangan membuat dirimu terlalu lelah," balas Ivander. Tubuhnya menunduk hingga sejajar dengan perut Larevta, lalu ia mendaratkan satu kecupan. "Berbaik hatilah pada ibumu. Jangan membuatnya mual. Aku mencintaimu."

Larevta tidak bisa menahan matanya yang berkaca-kaca. Meski semalam Ivander sudah melakukan hal serupa—yang membuat air mata Larevta jatuh tak tertahankan—mendengarnya lagi membuat rasa bahagia di hati Larevta semakin membuncah.

Setelah mobil Ivander menghilang dari pandangan, Larevta melangkah masuk. Benda kecil di meja makan menarik perhatiannya. Ponsel Ivander. Suaminya itu seperti biasa selalu ceroboh ketika meletakkan benda kecil yang sangat penting itu. Larevta meraih ponsel Ivander bersamaan dengan pintu rumahnya yang terbuka. Mengira itusuaminya, tanpa ragu Larevta berjalan ke depan.

Namun, orang yang baru saja melangkah memasuki rumahnya bukan Ivander. Orang itu memakai jaket hitam bertudung dan begitu tudungnya terlepas, seraut wajah yang dipenuhi bekas sayatan menyambut Larevta. Senyum mengerikan tersungging di bibir tamu tak diundang tersebut. Sementara mata hijaunya menatap Larevta dengan ketajaman yang bengis.

Larevta mengambil satu langkah mundur. Otaknya memberikan satu nama atas wajah itu, tetapi banyaknya sayatan di sana membuat ia meragu. Siapa pria itu?

"Lama tidak bertemu, Larevta. Tidakkah kau ingin memberi pelukan untukku?" sapanya.

Begitu suara itu terdengar, Larevta membelalak. Tidak salah lagi. Pria itu....

Zach Graham.

Secepat kaki bisa membawanya, Larevta berlari menaiki tangga. Satu-satunya hal yang bisa dipikirkannya saat ini adalah bersembunyi. Baru saja Larevta melangkahkan kaki di lantai dua, sebuah tangan menangkap kakinya dan menariknya hingga ia jatuh. Sontak, ponsel di tangannya terlepas, meluncur tanpa hambatan menuju lantai satu.

"Lepaskan aku!" jerit Larevta.

Tawa Zach bergema. Satu tangannya yang lain menarik rambut Larevta, memaksa gadis itu untuk menatapnya.

"Setelah menunggu bertahun-tahun, kau pikir aku akan melepaskanmu?" tanya Zach. "Apa kau pikir aku tidak akan kembali mendatangimu setelah percobaan pembunuhanmu yang menyedihkan itu?"

Air mata kesakitan mulai mengaliri wajah Larevta. Kakinya berusaha menendang, tetapi Zach menjambakrambutnya lebih keras.

"Katakan padaku, bagaimana hidupmu setelah menjadi pelacur pria muda itu? Ah, siapa namanya.... Genan, bukan?"

Seluruh tubuh Larevta membeku.

"A-apa ... yang ... kau b-bicarakan?" tanya Larevta bingung.

"Jangan berpura-pura bodoh. Aku tidak tahu apa yang kau lakukan hingga kau bisa lepas darinya dan menjadi pelacur pria lain, tetapi aku tidak peduli." Zach mengayunkan tangannya dan mendaratkannya dengan telak di wajah Larevta, lalu melanjutkan, "Aku hanya akan membunuhmu dan menghadiahkan tubuh tak bernyawamu untuknya."

Setelah itu, Zach mendorong Larevta dengan kasar dan bangkit berdiri. Kakinya terayun menggantikan tangannya.

"Ini untuk kesialan yang kau bawa dalam keluargaku."

Zach menendang kaki Larevta.

"Ini untuk mencoba membunuhku."

Kali ini perutnya. Larevta menjerit sekuat tenaga. Kedua tangannya memeluk perut dengan protektif, tetapihantaman Zach sama sekali tidak terbendung. Kalimat makian terus mengalir bersamaan dengan ayunan kaki pria itu. Larevta mencoba melawan semampunya, tetapi ketika rasa sakit merayapi perutnya tanpa ampun, kepanikan mengambil alih.

"Jangan! Hentikan! Jangan!" teriak Larevta putus asa.

Rasa sakitnya menyebar hingga sesuatu yang hangat terasa di kakinya.

Darah.

Tawa Zach menggelegar. Ia sangat tahu apa yang sudah diperbuatnya. Kedua tangannya menarik Larevta hingga gadis itu berdiri, lalu ia berkata.

"Sekarang kau merasakan hal sama seperti yang kurasakan. Aku merenggut bagian terpenting darimu, sama seperti yang kau lakukan padaku. Selamat tinggal, Larevta."

Zach mendorong Larevta dan hanya memandangnya dengan tatapan dingin sementara tubuh Larevta berguling di tangga. Setiap benturan memberi rasa sakit yang sangat membutakan, hingga akhirnya kegelapan datang menjemput dan Larevta tidak melawannya.

Zach masih diam di tempatnya ketika pintu rumah terbuka dan langkah kaki terdengar. Tak lama seorang pria berambut hitam bersimpuh di samping Larevta dan berseru panik. Secepat kilat ia berdiri menuju telepon rumah dan melakukan panggilan dengan wajah kalut.

Tetap diam, Zach terus memperhatikan tanpa bergerak. Pria yang dilihatnya itu mengingatkannya pada banyak hal dari masa lalu. Ketika cinta begitu membutakan hingga ia tidak bisa membedakan apa pun. Cinta yang membuatnya menyesal karena telah begitu bodoh untuk percaya. Cinta yang memaksanya berhenti melindungi satu-satunya orang yang paling berarti baginya.

Pria berambut hitam itu menyadari sesuatu. Zach bisa melihatnya. Seharusnya Zach melarikan diri, tetapi Zach sudah lelah. Zach ingin menyerah. Karena ternyata, setelah melihat Larevta benar-benar tidak terselamatkan pun, Zach masih merasakan rasa sakit di dadanya. Tidak ada yang berubah. Kekosongan dalam hatinya membuat Zach tidak bisa merasakan apa pun. Karenanya, ketika pria itu menerjang dan menyarangkan pukulan demi pukulan, Zach hanya menerimanya.

"Mengapa kau melakukannya? Mengapa kau menyakiti istriku?!" teriaknya kalut. Satu tinju kembali bersarang di wajah mengerikan Zach. "Jawab aku, bajingan! Mengapa kau menyakitinya?!"

Zach tidak menjawab. Terus diterimanya setiap pukulan dalam diam. Hingga petugas medis datang, disusul pihak berwajib yang menarik pria itu secara paksa. Teriakannya memenuhi ruangan dengan raungan menyakitkan.

Zach tahu, karena ia pernah mengalaminya meski dengan alasan berbeda.

Setelah tangannya terborgol dan polisi membawanya, Zach menyuarakan jawabannya.

"Karena ia mengingatkanku pada segala hal yang kucintai, tetapi takkan pernah mampu kuraih lagi."

Zach melanjutkan langkahnya yang diseret oleh polisi, sadar akan tatapan yang menyimpan bara amarah meletup di belakangnya. Tatapan dari pria yang mencintai keponakannya.

Benar, Larevta adalah keponakannya. Anak dari kakak perempuannya.

Seandainya saja saat itu Zach tidak meninggalkan Macey—kakaknya—untuk kekasihnya yang bahkan diam-diam berselingkuh di belakangnya, tentu saat ini Zach masih memiliki sang kakak dalam hidupnya. Zach bisa menepati janji yang diucapkannya ketika mereka masih kanak-kanak: saling menjaga.

Memejamkan mata, Zach membiarkan polisi membawanya. Pria itu sudah tidak peduli ke mana pun tujuannya. Karena satu-satunya hal dalam hidup yang dipedulikannya sudah mati. Dan, Zach Graham tidak memiliki arti lagi.

***

Ivander menatap wajah pucat Larevta dengan rasa sakit yang pekat. Ivander tidak percaya ia sudah begitu bodoh hingga membuat istrinya menjadi seperti ini. Seharusnya Ivander melindungi Larevta. Seharusnya Ivander tahu alasan Larevta selalu menanyakan pamannya yang terkutuk itu.

Menghela napas, Ivander mengecup tangan istrinya.

"Kembalilah padaku, Larevta. Aku tidak akan bisa bertahan tanpamu. Kumohon, kembali padaku," bisik Ivander.

Dan, ucapannya itu bukan hanya sebuah kalimat permohonan belaka. Ada kejujuran tak terbantahkan di dalamnya. Karena jika Larevta tidak pernah membuka mata hijaunya lagi, maka Ivander pun akan menutup mata selamanya.

***

Memories of Love (Unbroken #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang