Denver

231 31 1
                                    

Larevta melarikan matanya menyusuri ruang tunggu bandara. Ketika merasakan tatapan Ivander, gadis itu menoleh.

"Mengapa kau menatapku seperti itu?" tanya Larevta.

Ivander tersenyum tipis. "Karena aku tidak percaya kau ada di sini, bersamaku."

Tangan Larevta terangkat, mencubit kedua pipi tunangannya.

"Apakah sudah cukup nyata untukmu?" tanya Larevta lagi.

Ivander mengangguk dan senyumnya melebar. Larevta balas tersenyum, lalu menurunkan tangannya.

Sejak melangkah keluar dari rumah sakit, Larevta merasakan keresahan Ivander. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran pria itu. Namun, Larevta tidak yakin bagaimana menanyakannya. ia sendiri sedang gelisah demi memikirkan seseorang.

Ragu, Larevta bertanya, "Apa kau tahu di mana pamanku berada?"

"Paman?" balas Ivander. Kebingungan mewarnai wajahnya dengan jelas sementara ia melanjutkan, "Kau tidak pernah menyebut pamanmu. Kau hanya pernah berkata bahwa kau hidup sendiri sejak kedua orangtuamu meninggal."

Larevta tertegun. Benarkah? Ia tidak memberitahu Ivander?

"Seperti apa pamanmu?" tanya Ivander kemudian.

"Aku tidak pernah mengatakan apa pun?" balas Larevta.

Ivander menggeleng. "Tidak. Kau benar-benar tertutup. Seperti yang kukatakan, kau hanya pernah menyebut orangtuamu. Satu kali, saat kita berada di salah satu acara makan malam keluargaku," jawabnya.

Larevta terdiam. Apa yang sebenarnya terjadi?

***

Denver, April 2019

"Kita tinggal terpisah?" tanya Larevta begitu mereka keluar dari lift dan berdiri di depan dua apartemen yang terpisahkan oleh lorong.

"Ya." Ivander menjawab tanpa ragu.

Ketika Larevta masih berdiri menatapnya dengan wajah tidak mengerti, Ivander mengulas senyum dan mengambil satu langkah lebih dekat.

"Atau kau lebih suka tinggal denganku? Tidur bersamaku?" goda Ivander.

Larevta membelalakkan matanya dan menggeleng panik, membuat tawa Ivander lepas. Begitu sadar Ivander hanya mengerjainya, Larevta mencubit pipi pria itu kuat-kuat.

"Aku mengerti! Astaga, tanganmu itu benar-benar mematikan," ucap Ivander seraya memegang pipinya yang memerah.

Larevta menyingkirkan tangan Ivander dan menanamkan satu kecupan di tempatnya mencubit tadi. "Lebih baik?" tanyanya manis.

"Selalu lebih baik," jawab Ivander. Ia membuka pintu apartemen Larevta dan meletakkan koper di ruang tamu. Setelah itu ia berkata, "Jika kau butuh sesuatu, aku ada di seberang. Istirahatlah."

Larevta mengangguk. Begitu pintu tertutup, ia segera menguncinya dan menyusuri apartemennya. Larevta memang tidak tahu seperti apa hidupnya selama dua tahun terakhir dan hanya memiliki Ivander, tetapi ia senang memiliki tempat sendiri.

Apartemennya sangat bagus meski tidak berdesain mewah. Dindingnya dicat putih gading. Larevta memperhatikan ruang tamunya yang dilengkapi sofa besar dengan TV berlayar datar. Lalu dapurnya yang sudah lengkap dengan kulkas dua pintu, dan setelah dibuka ternyata tidak menyimpan makanan—hanya air mineral. Kaki Larevta melangkah menuju ujung lorong, di mana terdapat kamar tidur.

Begitu membuka pintu kamar, gadis itu melihat ranjang di tengah ruangan, sebuah meja rias, juga pintu geser menuju balkon yang tertutup tirai. Ada dua pintu di dalamnya, satu pintu menuju kamar mandi dan satu pintu walk-in closet. Selama sesaat Larevta hanya diam. Menatap kosong. Pakaiannya sangat sedikit hingga mustahil akan memenuhi lemari barunya itu.

Mendesah, ia menutup pintu dan menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Rasa lelah menyelimutinya hingga tak lama lelap pun membuainya.

Ketika terbangun, seberkas cahaya menyinari kamar Larevta. Melirik jam di nakas, ternyata gadis itu tertidur dengan pakaian lengkap hingga pagi menjelang.

"Selamat pagi."

Sapaan itu menyentak Larevta, membuatnya bergegas duduk dan menoleh ke asal suara. Ivander, berdiri di pintu kamar Larevta dengan penampilan yang membuat gadis mana pun gatal ingin menyentuhnya.

Menggelengkan kepalanya yang mulai melantur, Larevta bertanya, "Bagaimana kau bisa masuk?"

Ivander menunjukkan serangkaian kunci di tangannya. "Aku terpaksa menggunakannya karena kau tidak kunjung membukakan pintu. Kau juga memiliki kunci apartemenku," jelasnya.

"Oh." Hanya itu yang bisa keluar dari bibir Larevta. Tubuhnya masih tidak beranjak dari tempat tidur.

"Apa yang ingin kau lakukan hari ini?" tanya Ivander seraya duduk di samping Larevta.

"Apa yang bisa kulakukan?" tanya Larevta.

"Kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan," jawab Ivander. Kemudian tangannya mengulurkan sebuah buku tipis pada Larevta.

Larevta menerimanya dan membukanya. Buku tabungan miliknya. Dengan nama juga nomor rekening seperti yang diingatnya. Namun, jumlah yang tertera di dalamnya mengejutkan Larevta.

"Ini benar-benar milikku?" tanya Larevta tak percaya.

Pasalnya, terakhir Larevta melihat buku tersebut—menurut ingatannya dua tahun lalu—jumlahnya tidak sebesar itu. Dengan uang yang kini ada di rekeningnya, Larevta bisa membeli segala barang yang diinginkannya untuk memenuhi lemari barunya.

"Tentu saja. Kau bekerja keras untuk mendapatkannya," jawab Ivander.

Larevta menatap Ivander. "Aku bekerja? Apa yang kukerjakan?"

"Kau menjadi fotografer di salah satu majalah saat kita tinggal di Jakarta."

Pandangan Larevta jatuh pada tas kameranya. Ia sudah menduga, dengan kamera sejenis itu—bukan hanya kamera digitalnya—ia pasti memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan fotografi. Tetap saja, ketidakyakinan membuatnya terus bertanya-tanya.

"Jadi, apa yang ingin kau lakukan hari ini?" tanya Ivander lagi.

Larevta menggeleng. Ia benar-benar tidak tahu.

"Bagaimana kalau kita berkencan?" usul Ivander.

Larevta tidak sempat menjawab karena Ivander sudah menariknya menuju kamar mandi.

"Aku akan menjemputmu dalam tiga puluh menit. Bersiaplah. Kita akan sarapan di jalan. Pakai pakaian yang membuatmu nyaman," ucap Ivander sebelum menutup pintu dan keluar dari apartemen Larevta.

Memories of Love (Unbroken #3)Where stories live. Discover now