Meninggalkan

199 27 0
                                    

"Di mana Genan?" Larevta mengulang dengan nada hampa yang sama. "Apa yang terjadi setelah kecelakaan itu?"

Ivander menatap Larevta nanar.

"Di mana Genan? Jawab aku!" jerit Larevta.

Tak juga ada jawaban. Ivander mengunci mulutnya rapat-rapat. Seakan ia kehilangan kemampuan untuk bicara.

"Mengapa kau melakukannya? Mengapa kau harus berbohong padaku ... gadis bodoh yang bahkan tidak bisa mengingat tunangannya yang sebenarnya?" Larevta mengepalkan tangan. Getar menjalari tubuhnya.

Ivander memejamkan mata, sementara Larevta melanjutkan, "Jawab aku, Ivander. Mengapa kau menipuku? Berbuat baik dan memesonaku hingga aku terjerat dalam ikatan pernikahan ini ... untuk apa kau melakukannya?"

Hening.

"Di mana Genan?" ulang Larevta. Nadanya semakin menuntut. "Jawab aku, Ivander! Di mana Genan?"

Tetap tak ada jawaban dari bibir Ivander. Tak peduli berapa kali Larevta meneriakkan pertanyaannya, pria itu tetap tidak menjawab.

Putus asa, Larevta pun bangkit berdiri. Saat itulah sebuah kalimat meluncur dari mulut Ivander. Kalimat yang menyimpan banyak sesal, juga tangis yang mengkristal. Kalimat yang begitu tulus terdengar, tetapi tidak mengubah apa-apa.

"Maafkan aku. Maafkan aku, Larevta...."

Tanpa membalas apalagi membalikkan tubuh untuk menatap Ivander, Larevta melanjutkan langkahnya. Tak memedulikan Ivander yang masih berlutut tak berdaya di belakangnya.

***

Larevta tidak tahu berapa lama ia duduk di lantai kamarnya berteman keheningan. Tubuhnya menyandar pada tempat tidur dengan mata nyalang menatap dinding kamar yang berwarna putih sempurna.

Satu hal yang Larevta tahu, ia benci warna putih. Ia muak melihatnya.

Bangkit berdiri, Larevta mengambil kopernya dan mulai memasukkan pakaiannya. Saat itulah Ivander masuk ke kamar.

"Apa yang sedang kau lakukan, Larevta?" tanya Ivander.

Bagai menulikan pendengaran, Larevta memasuki kamar mandi dan mengambil barang-barang pribadinya. Namun, Ivander menahan tangannya, memaksa Larevta berhenti.

"Lepaskan aku!" seru Larevta.

Cekalan Ivander langsung terlepas. "Apa yang kau lakukan, Larevta?" ulang pria itu.

"Aku akan mencari Genan," jawab Larevta dingin. Setelah itu, Larevta melanjutkan langkahnya.

"Kau harus beristirahat, Larevta. Kau tidak bisa pergi dengan kondisi seperti ini. Aku tidak bisa membiarkanmu menyakiti dirimu sendiri lebih dari ini."

Dengan satu gerakan Larevta membanting seluruh botol yang ada di tangannya. Sabun, sampo, segala cairan kini mengotori lantai kamar mereka.

"Berhenti bicara seolah kau peduli padaku!"

Ivander membalas, "Aku peduli padamu, Larevta! Aku mencintaimu!"

"Kau berbohong padaku!" jerit Larevta.

Memejamkan mata, Ivander menghela napasnya perlahan. Jarak mereka tak sampai tiga meter, tetapi ada jurang di antara mereka yang terasa sangat jauh. Menciptakan sayatan yang lebih dalam.

"Maafkan aku, Larevta. Aku menyesal harus berbohong padamu, tidakkah kau tahu setiap kali menyuarakan kebohongan itu aku pun tersiksa? Namun, aku tidak memiliki pilihan lain. Yang terpenting bagiku hanyalah kau. Aku hanya berusaha melindungimu," ucap Ivander.

Larevta menyambar lampu di meja samping tempat tidur dan suara bantingan kembali mengisi ruangan. "Omong kosong! Kau hanya peduli pada dirimu sendiri! Kau membohongiku, Ivander! Semua yang kita miliki hanya kebohongan!"

Ivander diam. Membiarkan Larevta mengeluarkan apa pun yang terpendam dalam hatinya. Namun, gadis itu justru menurunkan suaranya. Tak ada lagi jeritan.

"Untuk apa kau melakukan semua ini? Kau tahu aku miliknya," bisik Larevta lirih.

Kalimat itu lebih menyakitkan dari makian bernada marah. Menyentak Ivander dari pusaran badai tempatnya terjebak.

Ivander menggelengkan kepala. "Kau milikku!"

Tawa datar Larevta terlepas. Mengisi setiap ruang dengan rasa dingin yang membawa gigil hebat.

"Kau melepasku bahkan sebelum kau memilikiku, Ivander." Larevta berkata dengan kejam.

"Maafkan aku—"

Namun, Larevta sudah sampai pada batasnya. "Di mana Genan?"

Pertanyaan itu kembali mengunci mulut Ivander. Tak juga terjawab.

"Jawab aku, Ivander! Di mana Genan?!" tuntut Larevta.

Menarik napas, Ivander mempersiapkan dirinya untuk sebuah pengakuan yang ia harap tak kan pernah ia suarakan. Namun, jika ada satu hal yang ia tahu selama 33 tahun hidupnya, hal itu adalah keberuntungan tidak pernah memihaknya. Maka Ivander pun menyuarakan pengakuan penuh lukanya.

"Genan meninggal karena kecelakaan itu."

Sontak tubuh Larevta meluruh. Sesak dalam dadanya tak lagi dapat tertanggung dan isakan perihnya terlepas, mengoyak seluruh hatinya tanpa ampun.

Ivander mengepalkan tangan. Menahan mati-matian kehendak nuraninya yang ingin membawa Larevta ke dalam pelukannya. Karena Ivander tahu, setelah segala hal yang dilakukannya, ia tidak pantas menawarkan kenyamanan atau penghiburan untuk Larevta. Ivander tidak pantas menyentuhnya.

"Genan...." isak Larevta pedih.

Maafkan aku.... Maafkan aku.... Aku menyesal, Genan. Maafkan aku....

Larevta masih terus mengeluarkan segala sakitnya dalam bentuk air mata. Bulir-bulir yang menciptakan jalur berkilau di wajah pucatnya. Tiba-tiba Larevta bangkit berdiri dan menutup kopernya.

"Larevta!"

Ivander berusaha menahan tangan istrinya, tetapi teriakan Larevta mengurungkannya.

"Jangan sentuh aku! Aku membencimu! Kau pembohong! Aku ... aku membencimu!"

Setelah itu Larevta menarik kopernya. Panik, Ivander merebut koper Larevta dan memaksa gadis itu menatapnya.

"Kau tidak bisa melakukannya, Larevta! Kau tidak bisa meninggalkanku!" seru Ivander.

Larevta berusaha lebih keras menarik kopernya.

"Kau berjanji kau tidak akan pernah meninggalkanku!"

Ucapan itu menghentikan segenap daya Larevta.

"Larevta ... aku mohon. Tinggallah. Aku tidak akan bisa. Tanpamu, aku tidak akan bisa. Hanya kau satu-satunya yang membuatku bertahan. Aku tidak akan sanggup menanggungnya tanpa kau di sisiku. Aku mohon.... Jangan tinggalkan aku. Aku mohon, Larevta. Kau ... kau bisa melakukan apa pun padaku. Apa pun. Jangan meninggalkanku. Jangan meninggalkanku, Larevta. Aku membutuhkanmu," pinta Ivander kalut.

Segala kalimat terasa begitu sulit untuk diucapkan, tetapi kepanikan dan ketakutan yang besar berhasil membuat Ivander bersuara.

"Maafkan aku, Larevta.... Jika aku memiliki pilihan lain, aku tidak akan melakukannya. Aku.... Maafkan aku. Kau tidak tahu betapa menyesalnya aku. Maafkan aku...."

Larevta menghapus air matanya dengan kasar. Matanya tetap menatap Ivander dengan amarah menyala. Pada titik itu, permohonan macam apa pun yang Ivander lakukan tidak akan ada gunanya untuk Larevta. Hatinya tidak lagi mampu. Hatinya meraung pilu.

"Ucapkan permintaan maaf itu pada kakakmu, Ivander. Kau dan aku tahu, ia yang paling berhak mendapatkannya," sahut Larevta dingin. Menatap Ivander tepat di manik mata, gadis itu berkata, "Selamat tinggal, Ivander."

***

Memories of Love (Unbroken #3)Where stories live. Discover now