Bayangan

210 32 0
                                    

Ivander membuka mata. Ada aroma yang menggelitik penciumannya. Masih dengan wajah mengantuk dan bertelanjang dada, pria itu turun dari tempat tidur. Begitu masuk ke dapur, Larevta yang tampak cantik dengan gaun sederhana bermotif bunga sakura menyambutnya. Gadis itu sibuk memasak sesuatu di atas kompor hingga tidak menyadari Ivander sudah berada di belakangnya.

"Aku ingin membolos kerja dan terus bersamamu sepanjang hari," gumam Ivander seraya memeluk tunangannyadari belakang.

Larevta baru akan membuka mulut ketika merasakan sentuhan berbeda di bahunya yang terbuka. Sentuhan kulit. Ivander tidak memakai baju.

"Ivander, di mana bajumu?" desis Larevta sambil berusaha melepaskan pelukan pria itu.

"Apa?" tanya Ivander bingung.

Begitu melihat wajah Larevta yang memerah, tanpa bisa ditahan Ivander menundukkan wajahnya dan menyambar bibir ranum itu. Kini ia sudah mengerti keengganan Larevta untuk disentuh di area wajah, karena itu biar bibirnya yang menjelajah.

Ivander melepaskan bibir Larevta, memberi kecupan di daun telinga gadis itu seraya berbisik, "Kau sangat cantik."

Larevta yang masih menutup mata berusaha menenangkan napasnya. Benar-benar memalukan! Hampir pingsan hanya karena dicium tunangannya sendiri?

Lalu Ivander menarik tubuhnya dan membuka lemari es. "Sampai kapan kau akan berdiri di sana? Bukankah kau sedang memasak?" tanya Ivander santai.

Larevta langsung membelalak dan kembali pada omeletnya yang kini tidak terselamatkan.

"Ini semua karenamu! Lihat, aku baru saja kehilangan omeletku!" keluh Larevta.

Ivander tertawa, kemudian berjalan kembali ke kamarnya untuk bersiap.

Saat mereka duduk bersama untuk sarapan, Larevta bertanya, "Apa kau selalu tertawa ketika bersamaku?"

Ivander menghentikan gerak tangannya.

"Aku ... entahlah. Aku merasa aneh," lanjut Larevta. "Apa aku tidak pernah melakukan rutinitas seperti ini sebelumnya?"

Ivander tersenyum. "Kau akan terbiasa. Bukankah Dokter Adi sudah bilang, kau hanya harus bersabar? Akan ada sesuatu yang terasa familier nantinya." Lalu pria itu melanjutkan, "Untuk rutinitas pagi ... ah, bagaimana aku mengatakannya? Kita memiliki satu rutinitas pagi yang tidak kita lakukan hari ini."

"Rutinitas apa?" tanya Larevta curiga.

Menaikkan kedua alisnya, Ivander tersenyum penuh arti. "Kau tahu, rutinitas yang melibatkan kita berdua, tanpa pakaian, dan...."

Larevta melempar serbetnya pada Ivander sementara tawa pria itu menghangatkan pagi mereka. Setelah tawa itu mereda, dengan takut-takut Larevta kembali bertanya.

"Benarkah? Kita sudah pernah melakukannya sejauh itu?"

Kali ini ekspresi Ivander serius. Kepalanya menggeleng, tetapi bibirnya tidak mengeluarkan penjelasan lebih lanjut.

Larevta pun tidak bertanya lagi. Setelah sarapan selesai, gadis itu mengantar Ivander hingga ke pintu apartemen.

"Hati-hati di jalan," ucap Larevta.

Ivander mengecup puncak kepala gadis itu, lalu melangkah mundur dan Larevta menutup pintu. Tak lama, pintu kembali diketuk dan Larevta membukanya.

"Jangan pergi terlalu jauh, kau mengerti?" kata Ivander.

Larevta mengangguk. Pintu tertutup. Namun, lima detik kemudian terbuka lagi.

"Jika terjadi sesuatu, kau harus segera menghubungiku," ucap Ivander. Ekspresinya benar-benar khawatir.

Larevta kembali mengangguk. Pintu tertutup dan sebelum Ivander sempat membukanya lagi, Larevta segera membukanya. Benar saja, pria itu masih berdiri di depan pintu dengan wajah cemas.

Mengambil satu langkah mendekat, Larevta mengulurkan tangan pada rahang tegas Ivander dan mencium bibirnya. Ciuman pertama yang dilakukan Larevta atas keinginannya.

Selama sesaat Larevta membeku. Terkejut pada sambutan hangat yang Ivander berikan. Ada rasa mendesak yang sebelumnya tidak Larevta rasakan. Sebelum ciuman mereka semakin dalam, gadis itu memundurkan tubuhnya.

"Jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja. Aku akan menunggumu pulang," bisik Larevta lembut.

Ivander mengangkat tangannya, tetapi berhenti ketika menyadari Larevta tidak suka disentuh pada bagian wajah. Maka Ivander hanya tersenyum dan mulai melangkah menjauh.

Setelah Ivander pergi, Larevta kembali ke apartemennya dan mengambil tas kamera. Hari ini ia ingin berjalan, entah ke mana, yang jelas Larevta tidak akan tinggal diam. Otaknya bisa meledak karena banyak hal yang memenuhi pikirannya.

Ia keluar dari apartemen dan mulai melangkah tak tentu arah. Berjalan ketika ingin berjalan, diam ketika harus diam, dan memotret saat ada objek menarik. Perhatian Larevta teralihkan pada orang-orang yang berkumpul di trotoar, tampaknya ada suatu pertunjukan musik menilik suara gitar yang terdengar di antara keramaian.

Menjelang waktu makan siang, Larevta masuk ke sebuah kedai kopi dan memesan iced latte serta blueberrymuffin. Sebelum makan, Larevta memotret makan siangnya dan mengirimkannya kepada Ivander. Namun, hingga Larevta selesai makan, masih tidak ada balasan.

"Mungkin dia sibuk," gumam Larevta seraya mengetik satu pesan singkat.

Jangan lupa makan.

Setelah ini aku akan pergi ke taman. Sampai jumpa.

Larevta keluar dari kedai kopi dan seseorang menabraknya. Orang itu pergi dengan cepat, tetapi selintas lihat, ia merasa ada sesuatu yang familier pada orang itu. Ada sebuah luka memanjang di wajah bagian kanannya. Meski tertutup tudung jaket, Larevta dapat melihatnya dengan jelas.

Menggelengkan kepala, ia kembali melanjutkan langkah. Taman sangat penuh oleh anak-anak kecil yang bermain. Keceriaan mereka menular hingga Larevta tidak bisa berhenti memotret dengan senyum bertengger manis di bibirnya.

Matahari bergeser dan keteduhan mulai datang. Anak-anak digandeng pulang oleh orangtuanya, sementara Larevta duduk di bangku favoritnya dan memandang dalam diam. Tiba-tiba saja ia merasa kesepian. Bukan hal baru, mengingat sejak orangtuanya meninggal, Larevta selalu sendiri. Namun, kini rasa sepinya lebih menggigit. Apakah karena tidak ada Ivander di sampingnya?

"Ivander...." bisik Larevta tanpa sadar.

Ada terlalu banyak rasa yang tak bisa diurainya ketika menyebut nama itu. Bagaikan angin yang tak pernah mampu digenggamnya. Nyata, tetapi asing. Larevta merasa apa pun yang dimilikinya untuk Ivander ini berbeda. Ia meyakini hatinya, tetapi seberapa besar pun Larevta berusaha, tetap saja ada sesuatu yang terasa berbeda.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Larevta tidak meragukan perasaannya, tetapi mengapa terasa sangat asing?

Dering ponsel menarik Larevta keluar dari lamunannya. Begitu melihat nama Ivander tercantum di layar, Larevta segera menjawab.

"Hai. Apa kau sudah pulang?" sapa Ivander.

"Belum. Aku masih di taman. Sebentar lagi aku akan pulang. Ada apa?" balas Larevta seraya bangkit berdiri dan menyampirkan tas kameranya.

Larevta mendongak, lalu melihat seseorang dengan jaket hitam berdiri di sudut lain taman dengan posisi tubuh menghadapnya. Larevta tidak bisa melihat dengan jelas karena lampu taman yang remang, tetapi ia yakin orang itu sedang menatapnya.

Tak lama, orang itu pergi dari bayang-bayang tempatnya berdiri. Dan, Larevta tersentak. Orang dengan tudung itu.... Memiliki bekas luka di rahang kanannya....

Orang itu mengikutinya.

Memories of Love (Unbroken #3)Where stories live. Discover now