Bayangan (2)

195 30 1
                                    

Orang itu mengikutinya.

Kesadaran itu begitu mengejutkan. Tubuh Larevta masih menolak untuk bergerak dan ia kesulitan untuk bernapas. Mengapa tiba-tiba ia merasa takut dan tak berdaya?

Larevta terduduk ketika kepalanya mulai memutarkan gambar-gambar tidak jelas dalam gerak cepat. Kepalanya sakit. Sangat sakit. Satu hal yang mampu Larevta tangkap dari gambar itu adalah warna merah. Tangannya berdarah.

Menggigit bibirnya, Larevta menahan setiap jerit. Entah berapa lama Larevta duduk dengan sebelah tangan mencengkeram kepala, sementara tangannya yang lain—yang masih memegang ponsel—terkatup di depan dada. Ketika rasa paniknya mulai mereda, ia teringat akan Ivander yang berada di ujung sambungan.

"Ivander...." bisik Larevta.

"Larevta, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?"

Larevta mengatur napasnya sebelum menjawab, "Aku baik-baik saja. Aku akan segera pulang. Sampai jumpa."

***

Ivander menatap ponselnya dengan kening berkerut. Larevta baru saja mematikan teleponnya. Dari suara gadis itu, Ivander tahu telah terjadi sesuatu. Larevta seperti terguncang. Apakah memorinya mulai kembali?

Pemikiran itu membuat Ivander langsung menyambar kunci mobil dan berlari di sepanjang koridor rumah sakit. Jarak antara apartemennya dengan rumah sakit tidak terlalu jauh, tetapi dengan kepanikannya yang merajalela, perjalanan lima belas menit itu terasa seperti seabad. Ivander mengemudi dengan ketegangan memuncak. Ketika akhirnya ia sampai di apartemen, Larevta belum pulang. Baik apartemennya maupun apartemen gadis itu masih terkunci.

Ivander kembali turun dan menunggu Larevta dengan tidak sabar di depan bangunan apartemen. Sepuluh menit kemudian, gadis yang ditunggunya keluar dari taksi dengan wajah pucat. Ivander segera menghampirinya dan memeluknya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Ivander pelan.

Larevta mengangguk. Tangannya memeluk Ivander lebih erat. Seluruh tubuhnya bergetar. Selama sesaat mereka hanya terdiam di trotoar dengan tangan saling memeluk, hingga akhirnya Larevta tak lagi gemetar dan bisa berbicara.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Larevta.

Ivander menghela napas. "Aku pulang lebih awal," jawabnya.

Larevta menyipitkan mata, jelas tidak percaya jawaban tunangannya. "Kau berlari pulang hanya karena aku terkena serangan panik?" tuduh gadis itu.

"Aku tidak berlari. Mobilku yang membawaku pulang," sahut Ivander.

"Ivander...."

Mengangkat tangannya, Ivander berkata, "Baiklah, aku mengaku. Namun, kau tidak bisa menyalahkanku. Seharusnya kau mendengar suaramu. Dan tadi ... kau tidak baik-baik saja, Larevta. Apa yang terjadi?"

Larevta menarik napas dalam-dalam, lalu menggelengkan kepala. Meninggalkan Ivander di belakangnya, gadis itumelangkah memasuki bangunan apartemen.

***

Bayangan itu memiliki nama. Dalam hitam yang menyelubunginya, sepasang mata cerah itu tak lepas dari gerak sang gadis.

Setelah tahun-tahun berlalu, akhirnya ada jawaban atas penantiannya.

Gadis itu kembali. Dari mana pun tempatnya berada selama ini.

Kali pertama ia melihatnya, rasa tak percaya mendominasi. Lalu instingnya bekerja, dan hidup kini berpihak padanya.

Hidup membawa gadis itu kembali.

Saat ini ia hanya bisa menjadi bayangan. Mengikuti setiap langkah, berada di dekatnya tanpa terlihat, dan selalu menunggu untuk waktu yang tepat.

Karena begitu waktunya tiba, bayangan itu akan menjadi nyata dan menyuarakan kebenaran. Bersama dendam yang dipendamnya.

***

Larevta membuka pintu kamar, masih dengan Ivander yang mengikuti langkahnya. Setelah meletakkan tas kameranya di meja samping tempat tidur, Larevta berbalik. Namun, Ivander memblokir jalannya dan memaksanya untuk menjawab.

"Apa yang terjadi, Larevta? Apa yang membuatmu sepanik itu?" desak Ivander.

"Tidak ada apa-apa, Ivander. Pulanglah. Aku ingin istirahat," jawab Larevta. Kepalanya masih terasa berputar, memunculkan pertanyaan demi pertanyaan yang seperti biasa tak ada jawabnya.

Gadis itu lelah. Ia ingin membungkam pikirannya sejenak.

"Larevta, kau harus mengatakannya padaku. Kau—"

Ucapan Ivander terhenti ketika melihat setetes air mata mengaliri wajah Larevta. Sambil mengutuk dirinya sendiri dalam hati, Ivander mengulurkan tangan dan membawa Larevta dalam pelukannya.

"Aku tidak akan memaksamu. Maafkan aku," bisik Ivander.

Malam itu, baik Ivander maupun Larevta sama-sama enggan melepaskan. Ivander berbaring di atas tempat tidur dan memeluk Larevta yang memunggunginya. Dengan mudah Larevta tenggelam dalam pelukannya. Lekuk tubuh mereka menyatu di tempat-tempat yang tepat. Membuat Ivander berpikir, jika ada satu orang yang benar-benar diciptakan untuknya, maka Larevta adalah orangnya.

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Ivander kemudian.

Larevta mengangguk.

"Kau bisa menceritakan apa pun padaku, Larevta. Apa yang membebani pikiranmu?" lanjut Ivander. Nadanya tidak mendesak, tetapi terselip perhatian yang sangat besar.

Larevta berbalik menghadap Ivander. "Bagaimana jika ternyata aku bukan orang baik, Ivander?"

Ivander membeku.

Gadis itu melanjutkan, "Pasti ada alasan di balik hilangnya sebagian ingatanku. Bagaimana jika hal yang ingin kulupakan adalah hal yang sangat buruk? Dan kini aku melupakannya, Ivander. Bagaimana jika ingatanku kembali dan aku tidak bisa menerima diriku sendiri?"

"Larevta—"

"Aku takut, Ivander. Aku takut saat ingatanku kembali, aku tidak sanggup menanggungnya."

Ivander membawa Larevta lebih dalam di antara rengkuhan lengannya. Malam itu, tak ada kalimat menenangkan yang keluar dari mulut Ivander. Ia hanya terus membelai rambut Larevta hingga kantuk mengambil alih pikirannya dan membuainya menuju alam mimpi.

Setelah waktu berlalu dan hanya ada bunyi napas Larevta yang teratur di kamar itu, Ivander membisikkan pengakuannya.

"Bukan kau yang seharusnya takut, Larevta. Tapi aku...."

***

Memories of Love (Unbroken #3)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن