Sang Tokoh Antagonis

186 27 1
                                    

Dua minggu berlalu dengan sunyi. Berusaha menjalani hidup masing-masing, meski hati menjerit perih. Baik Ivander maupun Larevta masih diam. Ivander terus menunggu Larevta untuk kembali padanya, sementara Larevta berusaha berdamai dengan dirinya sendiri.

Siang itu, Kyler masuk ke dapur di toko milik kakaknya dan menarik Larevta.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Larevta terkejut.

"Ayo, pergi," ajak Kyler dengan senyum cerahnya. Tanpa menunggu jawaban Larevta dan setelah melempar satu kedipan mata pada gadis yang berada di kasir, Kyler membawa Larevta naik.

Kyler mendorong Larevta ke dalam kamar, lalu berkata, "Pakailah gaun musim panasmu. Sebentar lagi musim gugur akan datang dan aku tidak mau kau menyia-nyiakannya."

Menyipitkan mata, Larevta menarik tangannya dari tangan Kyler. "Jika ini salah satu caramu untuk mempertemukanku dengan dia, aku tidak akan pernah memaafkanmu."

Menganggukkan kepala, Kyler memberikan senyum tak berdosa. Ia sama sekali tidak berniat menciptakan perang, karena pada kenyataannya, Kyler justru membawa Larevta ke Downtown Aquarium.

"Kau tidak akan mengajakku makan di sini, bukan?" tanya Larevta. Ide makan sambil melihat ikan berenang sama sekali bukan hal yang disukai Larevta.

Kyler tertawa. "Aku tidak membawamu untuk kencan." Ketika melihat ekspresi Larevta, Kyler cepat-cepat menambahkan, "Jangan tersinggung. Tapi aku tidak pernah berkencan dan seandainya aku berniat mengubahnya, sudah pasti aku tidak akan mengajak wanita yang sudah bersuami."

Larevta menggeleng. Meski begitu ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Berada di dekat Kyler sangat menyenangkan. Pria itu seakan tidak pernah kehabisan tenaga untuk bersikap ceria.

"Ayo," ajak Kyler.

Larevta mengikuti langkah Kyler dan sibuk mengagumi segala binatang laut yang ada di sekitarnya. Gadis itupernah ke tempat ini saat masih kecil, bersama kedua orangtuanya, tetapi Larevta tidak begitu mengingatnya. Menggelengkan kepala, Larevta menolak untuk bersedih karena Kyler sudah bersusah payah membawanya ke sini untuk bersenang-senang. Maka ia terus berjalan dan tertawa pada setiap lelucon yang Kyler lontarkan.

Pada satu titik, Kyler berhenti berjalan dan hanya menatap ikan-ikan yang berenang di hadapannya dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Larevta pun mengikutinya.

"Kau benar-benar tidak ingin mengetahui kabarnya?" tanya Kyler.

"Aku tidak ingin membicarakannya," jawab Larevta dingin.

Sunyi. Mereka berdua tetap memandang ke depan meski fokusnya tak di sana.

"Jika Genan adalah penyelamatmu, lalu bagaimana dengan Ivander? Kau menganggapnya sebagai tokoh antagonis?" tanya Kyler. Kemudian menambahkan, "Aku mendengar pertengkaran kalian siang itu dan setelahnya, Ivander menghabiskan persediaan minumanku. Semalam suntuk aku terjebak dengannya yang menceritakan kisah kalian sejak awal hingga akhir."

Larevta diam.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Larevta." Kyler kembali mengulang, "Jika Genan adalah penyelamatmu, lalu bagaimana dengan Ivander? Kau menganggapnya sebagai tokoh antagonis?"

"Dia meninggalkanku tanpa penjelasan. Lalu dia berbohong saat aku tidak bisa mengingat apa pun. Apa kau sudah mendapat jawabannya? Bukankah sudah jelas?" balas Larevta.

"Kau tahu film Spider-Man yang pertama difilmkan, bukan?" tanya Kyler.

Ragu, Larevta membalas, "Yang diperankan oleh Tobey Maguire?"

Kyler mengerjap. "Siapa pula itu?" Saat Larevta melempar tatapan mematikan, Kyler tertawa. "Jelas maksudku adalah film yang memiliki Kirsten Dunst itu. Ah ... bagaimana aku menjelaskannya? Wanita itu benar-benar seksi. Pinggulnya—"

"Berhenti. Bisa kita melewatkan imajinasi liarmu itu?" sela Larevta.

Kyler kembali tertawa, lalu melanjutkan, "Kau tahu pada film pertama itu, Spider-Man harus melawan Green Goblin, bukan?"

Larevta mengangguk.

"Nah, coba kau pikirkan. Saat itu Spider-Man memang hebat dengan kemampuan yang didapatnya setelah digigit. Namun, tanpa Green Goblin, apa yang bisa dilakukan Spider-Man? Apa dia bisa menjadi pahlawan yang dipuja seluruh penduduk kota? Aku berani bertaruh hal paling bagus yang mungkin bisa dilakukannya hanyalah menjadi pemain sirkus." Kyler berkata ringan.

Mengerutkan kening, Larevta bertanya, "Apa maksudmu?"

"Pikirkan baik-baik, Larevta. Spider-Man menjadi pahlawan bukan karena kemampuannya, tetapi karena adanya Green Goblin. Karena Green Goblin menyakiti orang-orang, Spider-Man muncul dan melawannya. Melakukan hal yang berkebalikan dengan Green Goblin agar dunia seimbang. Coba kau bayangkan, akan seperti apa ceritanya jika tidak ada Green Goblin?" jelas Kyler.

Larevta tertegun. Analogi Kyler membawanya pada kondisi yang dimilikinya bersama Ivander. Tanpa keraguan, Larevta tahu yang dimaksud Kyler adalah mereka. Kyler mencoba menjelaskan melalui sudut pandangnya yang unik dan aneh.

"Kau tahu, orang baik yang dinobatkan sebagai pahlawan tidak akan ada artinya tanpa hadirnya sang tokoh antagonis. Jadi, mana yang lebih penting? Si pahlawan atau sang tokoh antagonis?" tanya Kyler tenang.

Larevta tidak menjawab. Bukan karena ia tidak ingin, melaikan karena ia tidak bisa.

Kyler merangkul bahu Larevta dan membawanya kembali berjalan. Sambil tertawa, Kyler berkata, "Meski tentu saja aku lebih memilih Spider-Man. Setidaknya wajahnya jauh lebih baik dari seluruh pria yang ada di film itu. Aku hanya tidak suka melihat wanita seseksi Kirsten Dunst harus menyia-nyiakan bibirnya untuk pria buruk rupa."

Larevta mencoba tersenyum, tetapi siapa pun yang melihat tahu bahwa senyum itu palsu. Seluruh perkataan Kyler membuatnya berpikir ulang dengan cara yang berbeda. Membawanya pada kemungkinan yang selama ini tidak pernah disadarinya.

Hingga malam menjelang dan Larevta sudah berbaring di tempat tidurnya, pertanyaan Kyler masih terus tengiang dan berputar dalam benak Larevta.

Mana yang lebih penting? Si pahlawan atau sang tokoh antagonis?

***

Larevta menuruni tangga secepat kaki membawanya. Ia harus meminta maaf pada Emily karena tidak bisa membantu tokonya hari ini. Karena Larevta memiliki agenda sendiri.

Larevta akan menemui pamannya.

Seluruh ucapan Kyler menemani malam panjang Larevta dan membuatnya—untuk kali pertama setelah mendapat kembali memorinya—melakukan satu langkah baru untuk hidupnya.

Langkah Larevta terhenti ketika melihat seseorang berdiri di depan toko dengan mata mencari. Ia terus memperhatikan, hingga orang itu mengembuskan napas dan berbalik. Bertatapan dengan Larevta.

"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Larevta. Suaranya keluar lebih dingin dari yang dimaksudkannya.

"Kau terlambat hari ini," jawab Ivander.

Larevta mengerjap. Jawaban Ivander memberitahunya dengan pasti bahwa selama ini pria itu tidak menyerah. Pria itu tetap memperjuangkannya. Ivander melihat Larevta, setiap hari, meski hanya dari kejauhan. Sekadar memastikan baik-baik saja.

Rasa sesak di dada Larevta berkembang cepat. Tanpa mengatakan apa pun lagi, gadis itu membalikkan tubuh dan mulai berjalan menjauh.

Membuat Ivander kembali mengembuskan napas. Satu hal yang Ivander tidak tahu, diamnya Larevta bukan karena dukanya. Bukan pula karena rasa marahnya. Melainkan rasa kecewanya.

Larevta kecewa pada Ivander yang sudah membohonginya dan menyeretnya hingga sejauh ini. Hingga kegelapan menelannya secara sempurna dan tak ada jalan keluar. Di atas segalanya, Larevta kecewa pada dirinya sendiri. Karena bahkan setelah seluruh kebohongan yang Ivander lakukan, gadis itu tidak bisa menarik hatinya.

Ia masih mencintai Ivander.

***

Memories of Love (Unbroken #3)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant