Berhenti Bermimpi

193 23 2
                                    

Bali, Maret 2017

Genan mengalihkan mata dari model di hadapannya pada Larevta yang sedang mengabadikan entah apa di atas langit sana. Bukan itu yang yang menjadi alasan kecemasan Genan, melainkan posisi Larevta yang semakin jauh masuk ke dalam air. Gaun biru mudanya kini sudah basah hingga sebatas pinggang, tetapi gadis itu terlihat tidak peduli dan tetap sibuk dengan kameranya.

"Leaf! Jangan terlalu jauh!" seru Genan.

Larevta mengacungkan ibu jarinya sebagai balasan, sementara Genan menghela napas. Empat bulan hidup bersama Larevta membuat Genan paham arti dari balasan tidak bersuara itu: Larevta tidak peduli. Apa pun yang dikatakan padanya akan seperti angin lalu.

"Bisakah kita kembali bekerja, Genan?"

Pertanyaan itu menarik Genan kembali pada modelnya, Tya, yang kini berdiri dengan tangan bersedekap. Mereka berada di salah satu resort dengan akses pantai eksklusif, sehingga tidak mengherankan modelnya itu yang notabene temannya semasa kuliah, tampil dengan bikini berpotongan menantang.

Genan sendiri tidak pernah suka memotret manusia sebagai objek utamanya—ia lebih suka pemandangan alam—tetapi Tya berhasil mendapatkan pengecualian. Mereka berteman akrab dan sebentar lagi Tya akan menikah dengan salah satu sahabat Genan. Foto yang mereka ambil ini rencananya akan diberikan Tya sebagai hadiah ulang tahun calon suaminya itu.

Tersenyum meminta maaf, Genan mencoba fokus pada Tya. Namun, setelah beberapa foto, mata Genan kembali beralih pada Larevta.

"Leaf! Berhenti membuatku khawatir! Kau terlalu jauh!" Genan berseru gemas.

Larevta berbalik menatap Genan dan diam selama beberapa saat sebelum akhirnya mulai berjalan menuju bibir pantai.

Genan langsung mengembuskan napas lega. Pikiran bahwa Larevta mungkin terluka selalu menghantui Genan. Bahkan hal kecil seperti sayatan pisau pun dapat membuat pria itu panik.

Tya yang menyerah menghadapi Genan, akhirnya mengambil jubah dan menyudahi sesi foto mereka.

"Kau benar-benar mencintai gadis itu. Lihat, aku berdiri hampir tanpa busana di depanmu, tetapi kau tetap tidak bisa mengalihkan perhatian darinya," ucap Tya seraya mengenakan jubahnya.

Genan tertawa. "Biarpun kau memberiku selusin wanita cantik dan seksi saat ini, aku tetap tidak akan terpana. Apalagi tergoda untuk mengalihkan perhatianku dari Leaf."

"Seperti dugaanku, kau jatuh cinta padanya. Siapa sangka akan datang hari di mana Genandra Daelan jatuh cinta?"

Mengabaikan ejekan Tya, Genan berkata, "Maaf sudah mengacaukan sesi fotomu. Lagi pula kau tahu memotret manusia tidak pernah menjadi spesialisasiku. Tapi ada beberapa foto yang kupikir akan Andrew sukai. Aku akan mengirimkannya padamu."

"Lalu kapan kau akan mengatakannya pada gadis itu?" kejar Tya.

Genan tidak menjawab.

"Aku mengenalmu dengan sangat baik, Genan. Kau tidak pernah memperlakukan seorang gadis seperti kau memperlakukannya. Kau bahkan menatapnya dengan cara berbeda. Dan aku tidak mengerti untuk apa kalian bersikeras pada status teman. Apa gadis itu tidak menyukaimu? Ah, tidak. Ia terlihat bergantung padamu. Aku benar, bukan? Lalu mengapa kau tidak menjadikannya milikmu?" cecar Tya tanpa ampun.

Genan melarikan jemari pada rambutnya, lalu berkata, "Larevta berbeda. Ada sesuatu dalam dirinya yang membatasiku. Bahkan setelah empat bulan hidup bersama, pergi ke mana pun bersama, aku masih merasa ia tidak membuka sedikit pun celah untukku."

Larevta sudah berdiri di tepi pantai, kembali mengangkat kameranya pada langit. Tak menyadari dua pasang mata sedang menatapnya.

"Katakan padanya sebelum terlambat, Genan." Tya berpesan sebelum akhirnya melangkah pergi.

Genan menatap punggung Tya yang semakin menjauh, lalu menghampiri Larevta yang masih sibuk dengan dunianya. Di tengah sorot mentari, Larevta terlihat sangat cantik. Mata hijaunya bersinar cerah dan rambut cokelatnya berkibar dengan kilau memesona. Genan mengangkat kameranya dan mulai mengabadikan momen itu. Momen ketika Larevta menurunkan pertahanannya dan bebas.

Ia memang tidak suka memotret manusia sebagai objeknya, tetapi Larevta adalah pengecualian yang takkan pernah bisa diingkarinya. Genan sudah sampai di titik terjujurnya dan Larevta merupakan satu-satunya nama yang kini terukir di hatinya, ada di setiap hela napasnya, juga hidup bersama detak jantungnya.

Ketika menyadari kehadiran Genan, Larevta menoleh. Sejumput rambut menutupi wajahnya dan satu tangan Genan terulur untuk menyelipkannya di belakang telinga gadis itu. Mereka diam, saling bertatapan.

Empat bulan adalah waktu yang sangat lama bagi Genan untuk mengenal seorang gadis. Genan bukan tipe pria berkomitmen, tetapi sekali lagi, Larevta adalah pengecualian baginya. Tanpa memedulikan tentang masa lalu ataupun asal-usul gadis misterius yang dicintainya itu, Genan mengungkapkan perasaannya.

"Aku mencintaimu, Leaf. Aku tidak tahu dari mana asalmu, tetapi aku mencintaimu. Aku tidak suka kopi yang begitu kau puja, tetapi aku mencintaimu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana perasaanmu, tetapi aku tetap mencintaimu. Maukah kau menjadi milikku?" ucap Genan lembut.

Keheningan kembali, diselingi dengan debur ombak.

Larevta menatap Genan nanar. Ia tahu, jauh di dalam lubuk hatinya, bahwa saat ini akan datang. Saat ketika Genan meminta Larevta untuk menjadi miliknya. Namun, Larevta tidak pernah menyangka saat itu akan datang bersamaan dengan pengakuan cinta. Sebuah deklarasi yang membuat Larevta merasa semakin tidak pantas untuk Genan.

Mengapa?

Karena Larevta tidak merasakan hal yang sama. Ia tidak bisa mencintai Genan. Ia tidak mengerti mengapa hatinya menolak kemungkinan itu dan Larevta tidak akan memaksa. Toh, hidup akan terus berjalan tanpa cinta, bukan? Larevta pasti bisa melakukannya.

Aku akan baik-baik saja. Entah dengan cinta ataupun tidak, aku pasti bisa. Menghabiskan sisa hidup dengan pria sebaik Genan, yang melindungiku juga mencintaiku, pasti bisa kulakukan.... batin Larevta.

Maka Larevta mengangguk. Memberikan satu jawaban mutlak atas penyerahan dirinya. Larevta sudah menyerah. Hidupnya akan terus berjalan seperti itu. Larevta tidak akan pernah memiliki kesempatan lain. Ia lelah bermimpi tinggi.

Genan membelalakkan matanya, tak percaya.

"Kau mengangguk?" tanya Genan.

Lagi, Larevta mengangguk. Genan berseru gembira pada hamparan air di hadapannya, lalu menghadap Larevta dan membuka kedua lengannya.

Melangkah mendekat, Larevta membiarkan Genan mendekapnya. Tanpa sekali pun membiarkan Genan tahu bahwa kebahagiaan itu hanya dimiliki oleh pria itu sendiri.

***

Memories of Love (Unbroken #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang