Hilang

514 43 1
                                    

Jakarta, Maret 2019

Putih. Semuanya putih.

Seseorang menyerukan namanya, tetapi Larevta tidak bisa merespons. Seluruh tubuhnya kaku dan lidahnya kelu. Kepalanya.... Ah, sakit. Sangat sakit.

Apa yang terjadi? pikir Larevta.

Suara itu. Larevta yakin suara itu yang tadi menyerukan namanya. Kini suara itu sibuk mengucapkan serangkaian kata bernada panik dan khawatir. Suara-suara lain mulai terdengar hingga akhirnya Larevta mampu membuka mata sepenuhnya.

Seorang pria paruh baya dengan seulas senyum menenangkan berdiri di sisi Larevta. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Dokter Adi. Ia menggumamkan pertanyaan-pertanyaan bersamaan dengan tangannya yang melakukan berbagai macam pemeriksaan.

"Kondisimu stabil. Meski tentu, kau masih membutuhkan banyak istirahat dan perawatan intensif selama beberapa waktu. Tapi kau dalam keadaan yang baik. Selamat datang kembali, Larevta." Dokter Adi berkata dengan suara yang bisa dikategorikan penuh syukur.

Kini kesadaran Larevta sudah terkumpul seutuhnya. Dengan ragu, Larevta bertanya, "Apa yang terjadi?

"Kau mengalami kecelakaan dan tidak sadarkan diri selama enam hari," jawab Dokter Adi.

Larevta mengerutkan kening. "Kecelakaan apa?"

Belum sempat pertanyaan itu terjawab, dua wanita masuk ke dalam kamar rawat Larevta dan menanyakan banyak hal. Ekspresi mereka begitu khawatir, tetapi ada kelegaan tulus yang memancar. Larevta semakin bingung. Berupaya untuk meredam kekacauan dalam benaknya, gadis itu mengalihkan pandangan ke seluruh ruangan.

Saat itulah Larevta melihatnya. Berdiri sendirian di sudut kamar, dengan tatapan tertuju pada Larevta. Wajahnya terlihat lelah, rambutnya tidak tertata, dan kemeja yang dikenakannya kusut. Terlepas dari penampilannya yang berbeda, ia masih sama. Ia pria yang sama.

Tanpa bisa mencegah dirinya, Larevta berseru, "Ivander!"

Keheningan merebak.

Perlahan, Ivander melangkah mendekat. Dengan ekspresi tak terbaca, ia berdiri di samping dua wanita yang tidak dikenal Larevta itu.

"Hai," sapa Ivander lirih.

Larevta membalas dengan senyum tipis. Merasakan tatapan bertanya dari orang-orang di sekelilingnya, akhirnya Larevta berkata, "Aku ... tidak mengerti. Apa mereka kenalanmu?"

Kebingungan menyelip di antara keheningan. Sementara Larevta menoleh pada dua wanita itu.

"Apa kita saling mengenal?"

Roman pucat menggeser ekspresi kebingungan di wajah setiap orang yang berada dalam ruangan. Sunyi seakan membekukan dan tidak ada satu pun yang mampu menjawab pertanyaan Larevta.

***

Ivander duduk di kursi ruang tunggu dengan bahu yang tak lagi tegap. Untuk sesaat, ia tidak ingin berpura-pura. Ia ingin beristirahat, karena ia sungguh lelah. Selama beberapa jam terakhir, hanya ada satu kalimat yang menginvasi benaknya. Membuatnya seakan lumpuh, tak mampu melakukan apa pun.

Gadis itu tidak mengingatnya.

Bagaimana Ivander bisa mengatakan kebenaran itu? Bagaimana Ivander mampu menyuarakan kenyataan yang akan menghancurkan itu?

"Ivander, kau baik-baik saja?"

Pertanyaan itu membawa Ivander kembali dari kemelut dalam pikirannya. Ivander menoleh dan menemukan Patricia, sepupunya, duduk di sampingnya dengan ekspresi prihatin.

Memories of Love (Unbroken #3)Where stories live. Discover now