Taman

202 29 1
                                    

"Ini yang kau sebut sebagai kencan?" protes Larevta ketika ia dan Ivander berjalan menyusuri lorong supermarket.

Ivander yang mendorong troli memasang wajah tidak berdosa dan mengangguk ringan.

Larevta mendahului langkah tunangannya, berusaha menyembunyikan senyumnya yang terkembang. Bersama Ivander sungguh mudah. Larevta merasa sangat nyaman dan untuk sesaat, ia mampu meredam segala pertanyaan dalam benaknya.

"Jus jeruk atau apel?" tanya Larevta.

"Apel," jawab Ivander.

Alih-alih memasukkan kotak jus apel, Larevta justru memasukkan jeruk.

"Aku lebih suka rasa jeruk," jelas Larevta seraya mengulum senyum.

Ivander menggelengkan kepala, kembali mengikuti langkah gadisnya yang terlihat semakin sehat. Rona pipinya bahkan terlihat jelas dan menggemaskan meski tanpa riasan.

"Cokelat atau vanila?" tanya Larevta ketika mereka sampai di rak susu.

"Cokelat," jawab Ivander.

Lagi-lagi, Larevta justru memasukkan vanila. Kali ini Ivander tidak membiarkannya pergi begitu saja. Dengan satu tangan, Ivander menarik tangan Larevta dan mencium bibirnya. Begitu Ivander melepasnya, Larevta memberikan satu pukulan ke bahu tegap pria itu.

"Ahem," deham seorang pria paruh baya yang melewati mereka.

Larevta menunduk malu, membuat Ivander tertawa.

"Kita bisa melanjutkannya nanti. Tempat tidurmu atau tempat tidurku?" bisik Ivander.

Mendesah, Larevta menarik pipi Ivander sekuat tenaga. Lalu kakinya kembali melangkah tanpa memedulikan Ivander di belakangnya.

Dalam perjalanan pulang, Larevta sibuk memperhatikan segala hal yang berada di luar jendela. Sampai pandangannya tertumbuk pada sebuah taman. Benar, taman yang mempertemukan mereka.

"Ivander, bisakah kita berhenti sebentar? Aku ingin duduk di taman," pinta Larevta.

Ivander langsung menepikan mobilnya. Tanpa kata, mereka menyeberangi jalan menuju taman yang cukup ramai. Meski senja akan segera menyapa, suara percakapan juga tawa masih mendominasi taman.

Saat mereka sampai di bangku tempat mereka pertama kali bertemu, seorang gadis baru saja berdiri. Larevta tersenyum gembira dan segera duduk. Ivander mengikuti jejak Larevta dan mereka duduk dalam keheningan di antara keramaian.

"Kapan kau mulai bekerja?" tanya Larevta tanpa memandang Ivander.

Ivander menghela napas dan menjawab, "Besok."

"Secepat itu?" Larevta terkejut. Ia pikir mereka masih memiliki beberapa waktu lebih lama untuk bersama. Gadis itu tahu, begitu Ivander mulai bekerja, waktu mereka akan berkurang sangat banyak.

"Kau sudah tahu apa yang ingin kau lakukan?" tanya Ivander. "Aku benar-benar tidak peduli jika kau lebih memilih diam di apartemen atau melakukan apa pun. Aku hanya ingin kau merasa nyaman."

Larevta mengembungkan kedua pipinya, berpikir.

"Aku rasa aku akan mencari pekerjaan...." gumamnya dengan tidak yakin.

"Larevta—"

"Jangan khawatir," sela Larevta ceria. "Aku pasti akan menemukan sesuatu yang aku sukai. Dan tidak menguras tenagaku, seperti yang kau minta. Jika sebelumnya saja aku bisa bertahan, mengapa sekarang tidak?"

Jika Ivander tidak mengerti dengan kalimat terakhir Larevta, ia tidak menunjukkannya. Hal terakhir yang diinginkan Ivander adalah membuat Larevta tertekan.

"Ivander," panggil Larevta. "Setelah pertemuan pertama kita ... apa yang terjadi?" tanyanya ragu.

Sebenarnya ada hal lain yang ingin Larevta tanyakan. Namun, ia tidak yakin bagaimana mengatakannya, karena seperti yang pernah Ivander katakan, Larevta sama sekali tidak pernah menyebut tentang keluarganya.

Ivander menatap gadis di sisinyas sementara mulutnya menjawab, "Kita selalu datang ke tempat ini pada jam yang sama dan berbagi pengakuan."

Larevta mengerjap. "Kau selalu datang, setiap hari, untuk menemuiku?" tanya gadis itu.

Mengangguk, Ivander menatap Larevta semakin lekat.

"Kau tidak meninggalkanku?" tanya Larevta lagi. Kini secercah kerapuhan terselip dalam suaranya.

Ivander menarik napas, perlahan menyentuh bibir Larevta. Pada bibir itu, ia menjawab, "Aku tidak meninggalkanmu."

Bibir mereka kembali terkunci dalam satu tarian panjang. Ada yang berbeda dalam ciuman itu, tetapi Larevta tidak tahu apa yang membuatnya berbeda. Satu hal lain yang juga tidak Larevta tahu, jawaban Ivander bukanlah sebuah pernyataan.

Melainkan harapan.

***

Memories of Love (Unbroken #3)Where stories live. Discover now