Kehamilan

218 25 1
                                    

Setelah ucapan bernada riang Kyler, tidak ada suara lain yang mengisi ruangan itu. Kalimat yang diucapkan Kyler membawa efek yang kuat. Sangat ... nyata. Mengisi kesadaran Larevta dan Ivander dengan rasa haru, bahagia, juga bangga menjadi satu. Jika selama dua bulan belakangan hidup mereka sangat membahagiakan, maka sekarang kata bahagia itu sudah menjelma menjadi sempurna.

Setelah selesai, Kyler menuliskan resep vitamin untuk Larevta dan mengingatkan agar gadis itu tidak meminum kopi.

"Perhatikan istrimu dengan baik, Daelan. Atau aku akan menggantikan tempatmu," ejek Kyler dengan seringai menghiasi wajah tampannya.

Ivander melempar tatapan mematikan, sedangkan Larevta tertawa.

"Katakan padaku, bagaimana kau bisa menjadi seorang dokter kandungan?" tanya Larevta.

Kyler mengangkat bahu. "Aku terlahir dengan otak yang tidak kalah jenius dari Ivander. Ketika pamanku memaksa agar aku mengambil spesialisasi, aku memilih pilihan yang cukup mendekati hal yang sangat kusukai di dunia ini. Kau tahu maksudku. Tidak seperti suamimu itu, dia lebih suka membelah manusia."

Larevta kembali tertawa.

Pintu ruangan Kyler diketuk. Seorang wanita berusia akhir empat puluhan dengan jas dokter melangkah masuk.

"Aku dengar Dokter Daelan membawa istrinya untuk memeriksa kandungan. Tentu saja aku tidak bisa melewatkannya." Senyumnya merekah sementara tangannya terulur pada Larevta. "Aku Megan Rawlins."

Larevta berdiri dan membalas uluran tangan wanita itu. "Larevta."

Tampaknya berita pernikahan Ivander membuat teman-teman sejawatnya sangat penasaran terhadap Larevta. Setelah perkenalan singkatnya dengan Megan Rawlins, dalam perjalanan menuju tempat parkir beberapa dokter yang mereka temui di jalan pun menyapa Larevta dengan ramah juga melempar senyum menggoda pada Ivander.

"Kau sangat terkenal di rumah sakit ini," ujar Larevta begitu mereka masuk ke mobil.

"Mereka hanya ingin bertemu denganmu. Siapa yang bisa menolak pesonamu?" balas Ivander lugas.

Larevta hanya tersenyum. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya dan Ivander tahu. Sisa perjalanan dilalui bersama sunyi.

Begitu sampai di rumah, Larevta langsung membuka lemari es dan terdiam di depannya. Ivander menyusul, lalu memeluknya. Meski tidak suka dengan aroma kopi, Ivander tidak ingin melepas istrinya yang kini memiliki bagian dari dirinya. Istrinya tengah mengandung anaknya.

"Sekarang aku mengerti mengapa aku melakukan hal konyol ini," gumam Larevta.

Ivander menyembunyikan wajahnya pada lekuk bahu Larevta, tersenyum.

"Apa kau bahagia?" tanya Larevta.

Tak mengerti, Ivander pun mengangkat kepala. Larevta membalikkan tubuh hingga menghadapnya.

"Dengan kehamilanku ini ... apa kau bahagia?" tanya Larevta lagi.

"Tentu saja, Larevta. Aku merasa bisa meledak saat ini juga. Mengetahui istriku sedang mengandung ... aku bahkan tidak bisa mengungkapkannya." Ivander menyentuhkan keningnya pada kening Larevta, lalu berbisik, "Tidakkah kau tahu, kau baru saja memberiku satu alasan tambahan untuk bertahan hidup?"

Larevta mengerjapkan matanya dengan sinar bingung. Apa maksud perkataan suaminya itu?

"Aku sangat bahagia, Larevta. Benar-benar bahagia. Kau membuatku sempurna." Ivander menambahkan tegas.

Menghela napas, Larevta membalas, "Aku ... hanya khawatir. Apakah ini terlalu cepat? Aku tidak meragukanmu. Namun, memiliki anak hanya setelah beberapa bulan menikah? Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu."

Kedua tangan Ivander menangkup wajah Larevta. Setelah yakin Larevta benar-benar menatapnya, ia berkata, "Aku bahagia, Larevta. Benar-benar bahagia."

Ketulusan yang mengiringi ucapan Ivander berhasil mengusir kegundahan apa pun yang menggelayuti perasaan Larevta. Senyumnya merekah cepat dan begitu menghangatkan hati Ivander.

"Aku akan memiliki bagian dari dirimu yang sangat berharga," bisik Larevta takjub.

Ivander tersenyum. "Kita akan memilikinya." Tangannya menarik Larevta hingga lekat padanya, sementara tangannya yang lain mendorong pintu lemari es hingga tertutup. Seketika kelegaan mendera hidung Ivander dan helaan napasnya terdengar.

Tertawa, Larevta berkata, "Jangan kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan."

"Meskipun kau tahu, kau tidak bisa melakukan apa pun. Aku sudah memelukmu dan aku tidak akan pernah melepasmu," sahut Ivander.

Ketika menit berubah menjadi jam, Larevta dan Ivander sudah sibuk dengan segala perencanaan untuk buah hati mereka. Dimulai dari warna kamar, nama, hingga model baju. Tawa dan senyum tak henti menghiasi wajah mereka.

Kini, Ivander duduk di sofa dengan kepala Larevta di pangkuannya. Rambut cokelat Larevta menyebar tak tentu arah, membuat tangan Ivander secara otomatis memainkannya.

"Aku masih berpikir sebaiknya kita memilih warna netral untuk kamarnya," gumam Larevta.

"Biru adalah warna yang netral."

Larevta mengerutkan kening. "Aku lebih suka putih gading."

"Siapa yang mengecat kamar bayi dengan warna putih gading?" tukas Ivander.

"Apa yang salah dengan putih gading?" protes Larevta.

Ivander menjentik sejumput rambut yang meriap di wajah istrinya. "Bagaimana dengan hijau?"

"Seperti mataku?" tanya Larevta.

Tersenyum, Ivander menyelipkan tangannya ke dalam rambut Larevta dan mengangkat kepalanya. Begitu bibir mereka bersentuhan, Larevta tersentak.

"Kau berusaha memanipulasiku!" serunya seraya bangkit untuk duduk.

Ivander tertawa lepas. Membuat Larevta mengangkat tangannya dan menyusuri bibir Ivander yang melebar dengan ujung jemarinya.

"Ada apa, Larevta?" tanya Ivander bingung ketika Larevta tidak juga membuka suara.

Larevta menggeleng, lalu mendekat dan bergelung di dalam dekapan suaminya.

"Aku mencintaimu," bisiknya lembut.

Mengecup puncak kepala Larevta, Ivander tidak mengatakan apa pun selain, "Selamanya."

***

Memories of Love (Unbroken #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang