Hancur

207 27 1
                                    

Larevta memasuki toko milik Emily dengan kepala menunduk. Beruntung baginya, Emily sedang berada di depan mesin kasir sehingga wanita itu langsung menghampirinya.

"Larevta, ada apa? Mengapa kau membawa koper?" tanya Emily bingung.

Jawaban Larevta adalah sebuah isakan lirih.

Setelah meminta seseorang menggantikan tugasnya, Emily membawa Larevta keluar. Mereka memutari bangunan toko dan menaiki tangga menuju tempat tinggal Emily yang berada tepat di atas toko. Mereka masuk, lalu Emily mendudukkan Larevta di sofa sementara ia pergi ke dapur dan mengambil segelas air.

"Minumlah, Larevta." Emily mengulurkan gelas yang diterima Larevta dengan tangan gemetar.

"Maafkan aku. Aku tidak tahu harus pergi ke mana," bisik Larevta.

Emily menyentuh tangan Larevta. "Tidak apa-apa. Kau bisa tinggal di sini selama yang kau mau. Kau ingin beristirahat?" tanya Emily. Begitu Larevta mengangguk, wanita itu menuntunnya menuju kamar tamu.

Suara pintu diketuk menyentak Larevta. Dengan satu gelengan kepala, Larevta berkata, "Jika itu Ivander, jangan biarkan ia masuk."

Emily melangkah menuju pintu dan benar, Ivander yang berdiri di baliknya.

"Maafkan aku, Ivander. Larevta tidak ingin bertemu denganmu."

Ivander membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Wajahnya menampilkan keresahan, juga kekalutan.

"Aku mohon, Emily. Aku harus bicara dengannya. Aku ... aku harus menjelaskan segalanya. Aku mohon, biarkan aku melihatnya," ucap Ivander memelas.

Emily menatap Ivander dengan bingung bercampur prihatin.

"Lebih baik kau menenangkan dirimu dulu, Ivander. Larevta ada di sini, bersamaku. Aku akan memastikan ia baik-baik saja. Berilah ia waktu sebentar. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi aku akan membantumu. Dan satu-satunya hal yang bisa kau lakukan sekarang adalah memberi Larevta waktu." Emily melanjutkan, "Pulanglah. Setelah tenang, kau bisa kembali ke sini."

Ivander menghela napas. Satu tangannya menjambak rambut dengan kesal. Namun, nadanya lebih tenang ketika ia berkata, "Aku mohon tolong aku, Emily. Jaga Larevta."

Begitu Emily mengangguk, Ivander membalikkan tubuh. Bahu tegapnya terkulai lemah.

Emily hanya mampu menatap kepergian Ivander dengan sedih. Apalagi mengingat kondisi Larevta yang sampai saat ini masih menangis dan enggan berbicara. Mengambil ponselnya, Emily menekan nomor adiknya dan menunggu hingga panggilannya diterima.

"Kyler, aku rasa Ivander membutuhkanmu," ucap Emily begitu sapaan adiknya terdengar. "Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Namun, apa pun itu, aku tahu ini menghancurkan keduanya. Tolonglah Ivander. Aku di sini akan berusaha semampuku untuk menolong Larevta."

Kyler bertanya, "Apa yang terjadi?"

"Bukankah sudah kukatakan aku tidak tahu? Lakukan saja apa yang harus kau lakukan."

"Baiklah, Ems. Aku akan menemui Ivander setelah pulang dari rumah sakit."

Sambungan terputus dan Emily menghela napas. Berharap bahwa kehancuran yang dipikirkannya tidak akan pernah menjadi nyata.

***

Ivander tidak bisa menahannya lagi.

Meraih kunci mobil, ia berjalan cepat menuju garasi. Ia harus bertemu dengan Larevta. Memastikan istrinya itu baik-baik saja. Kemarin Ivander memang pergi untuk memberi Larevta ruang. Namun, sekarang Ivander tidak akan menyerah hingga istrinya bersedia bertemu dengannya.

"Daelan! Ke mana kau akan pergi?" seru Kyler yang baru saja sampai di rumah Ivander.

Mengabaikan Kyler, Ivander masuk ke dalam mobil. Akhirnya Kyler pun melakukan hal serupa dan sibuk memaki sepanjang perjalanan karena sahabatnya hampir melanggar setiap peraturan lalu lintas yang ada.

Tak sampai setengah jam kemudian, mereka sudah sampai di toko Emily. Ivander turun dari mobil dan berjalan memutar, lalu menaiki tangga. Lagi-lagi Kyler menyumpah. Setelah kemarin ia diabaikan, hari ini ia harus menyaksikan drama.

Segala pikiran dalam benak Kyler menguap ketika ia melihat histeria Larevta. Karena apa pun yang terjadi antara Ivander dan Larevta bukan hanya pertengkaran rumah tangga biasa. Ada luka menganga dan mereka berada di tepi jurang, dapat terjatuh dan hancur kapan saja.

"Pergi! Aku tidak ingin melihatmu lagi!" teriak Larevta dari pintu. Tangannya berusaha sekuat tenaga untuk menutup pintu kembali.

"Hentikan, Larevta! Kita harus bicara!" sahut Ivander tak kalah keras.

Larevta menyentak pintu hingga terbuka sepenuhnya. "Aku tidak peduli pada apa pun yang kau katakan! Silakan bicara, tetapi jangan harap aku akan memercayaimu setelah semua kebohongan itu!"

Ivander mengambil satu langkah mendekat. "Apa yang harus kulakukan agar kau memaafkanku, Larevta? Katakan padaku. Apa yang harus kulakukan agar aku bisa menghentikan semua rasa sakit ini?"

Larevta menatap tanpa bicara. Amarahnya yang menyala telah padam. Tergantikan sesuatu yang lebih menghancurkan; kesedihan.

"Aku mohon, Larevta. Jangan tinggalkan aku. Kau berjanji akan selalu bersamaku! Kau berjanji tidak akan pernah meninggalkanku! Katakan padaku apa yang harus kulakukan dan aku akan melakukannya.... Aku akan melakukannya!"

Ketika Larevta tak juga bersuara, Ivander melanjutkan, "Kau lebih dari sekadar gadis yang kucintai. Aku meletakkan seluruh hidupku padamu. Semuanya akan tidak berarti tanpamu. Aku tidak bisa melakukannya, Larevta. Aku tidak bisa jika tanpamu. Aku mohon, kembalilah padaku. Aku akan melakukan apa pun. Aku mohon...."

"Sudah terlambat, Ivander," jawab Larevta. Kepalanya menggeleng lemah.

"Apa yang kau bicarakan? Tidak ada kata terlambat. Kita masih bisa memperbaikinya. Kau adalah istriku. Milikku," balas Ivander.

Larevta mengepalkan tangannya. "Kau tidak pernah memilikiku! Aku adalah milik Genan! Kau hanya menipuku dan menyeretku ke dalam permainanmu!"

"Demi Tuhan, Larevta! Berhenti mengatakan hal itu! Kau adalah istriku! Genan sudah pergi! Kau bukan miliknya lagi!"

Kyler tertegun. Matanya tak bisa berpaling dari dua orang yang sedang mengupas kulit demi kulit hingga menerakan luka yang panjang. Membebatnya dengan kata-kata kejam yang menyakitkan.

Larevta menatap Ivander nanar. "Apa kau bilang?"

"Larevta—"

"Pergi, Ivander! Sudah tidak ada yang tersisa di antara kita. Semuanya sia-sia! Kita adalah satu kata yang mustahil untukmu dan untukku. Sejak awal kau tahu itu. Aku tidak akan pernah meninggalkan Genan," sela Larevta.

Ivander menarik lengan Larevta, tetapi gadis itu menepisnya.

"Kau tahu, Ivander, mengapa aku tidak akan pernah mampu meninggalkan Genan?" tanya Larevta. Kehampaan dalam suaranya menusuk Ivander.

Jangan.... Aku mohon, jangan.... batin Ivander.

"Karena ia adalah penyelamatku. Genan menyelamatkan hidupku," lanjut Larevta. "Ketika kau pergi meninggalkanku bahkan tanpa penjelasan sedikit pun, pamanku menjualku. Saat itu Genan datang. Ia membeliku. Namun, ia melepasku. Dan aku pergi untuk membunuh pamanku. Kau tahu, bahkan setelah hal buruk yang kulakukan itu, Genan masih tetap menyelamatkanku. Ia bahkan memberiku cintanya. Tanpa memedulikan asal-usulku, ataupun rahasiaku. Genan mencintaiku." Larevta menutup pengakuannya dengan satu kalimat yang menghancurkan. "Aku adalah miliknya."

Pembicaraan itu menyesakkan. Pembicaraan itu berdarah!

"Aku membencimu, Ivander Daelan. Aku membencimu," bisik Larevta penuh luka. Setelah itu ia berlari memasuki kamar dan menguncinya.

Meninggalkan Ivander dengan hati yang tak lagi terselamatkan di belakangnya.

***

Memories of Love (Unbroken #3)Where stories live. Discover now