Atas Nama Cinta

189 31 0
                                    

Sinar matahari menyambut Ivander ketika ia membuka mata. Selama sesaat pria itu tidak melakukan apa pun. Hanya terus menatap langit-langit kamarnya seraya mencoba menghentikan rasa sakit di kepalanya.

Menelan aspirin, lalu meminum air putih, membuat Ivander berpikir rutinitas ini benar-benar dibencinya dan tidak akan diulanginya. Apalagi dengan memar-memar yang kini membentuk koloni di wajahnya.

Larevta....

Tiba-tiba saja segala hal yang terjadi semalam hadir dalam benak Ivander.

Larevta menemaninya, berada di sisinya. Dan mereka berdua menangis bersama. Melepaskan setiap amarah, kecewa, juga sesal yang ada.

Menghela napas, Ivander keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur. Matanya terbelalak ketika melihat dapurnya diisi oleh sahabatnya juga sepupunya yang sedang tertawa.

"Ivander! Duduk di sini. Aku sudah menyiapkan makanan untukmu," sapa Avera.

Melangkah mendekat, Ivander menghampiri Kyler terlebih dahulu dan mereka saling melepaskan tepukan pada bahu yang menandakan kata maaf.

"Makanan ini bukan kau yang memasak, bukan?" tanya Ivander curiga kepada sepupunya. Sudah rahasia umum bahwa Avera benar-benar payah dalam urusan dapur.

Avera memutar mata, lalu menjawab, "Kyler yang memasak."

"Tenang saja, sudah kumasukkan racun serangga di dalamnya," tambah Kyler.

Ivander mulai makan sementara dua orang di hadapannya berbincang. Tak lama kemudian, Kyler pamit pulang. Ivander yang sudah menyelesaikan sarapannya pun pergi ke halaman belakang untuk duduk.

"Kau baik-baik saja?" tanya Avera seraya duduk di sisi Ivander. Matanya menatap wajah letih sepupunya dengan khawatir.

"Hmm. Di mana Cal?" balas Ivander kemudian.

Avera tersenyum tipis. "Masih di Lombok. Dia benar-benar serius dan sangat sibuk."

Selama sesaat mereka hanya terdiam. Membiarkan udara musim panas menyentuh permukaan kulit yang terbuka. Tak akan lama hingga musim gugur datang dan daun-daun akan mulai menguning hingga luruh terbawa angin.

"Larevta ... pergi? Kau melepasnya?" tanya Avera pelan.

Ivander tidak menatap Avera ketika menjawab, "Aku tidak melepasnya. Aku hanya tidak tahu bagaimana cara untuk membawanya kembali. Dia membenciku, Avera. Dia menyalahkanku atas segala hal yang terjadi pada Genan."

"Semua itu bukan salahmu, Ivander. Apa yang terjadi pada Genan adalah kecelakaan tragis. Kau hanya berusaha melindungi Larevta. Aku tahu. Jangan ikut menyalahkan dirimu sendiri," balas Avera tegas.

Avera tahu betapa hancur Ivander karena harus kehilangan kakaknya. Satu-satunya yang masih dimilikinya, yang tersisa dari keluarganya. Ivander tidak memerlukan luka tambahan.

Mendesah, Avera berkata, "Cal mengatakan padaku bahwa kau sudah mencintai Larevta sejak dulu. Apa itu benar?"

Ivander memejamkan mata. Mengingat pertemuan pertamanya dengan gadis berwajah serius yang melempar pena hijaunya dengan gusar.

"Aku bertemu dengannya musim gugur tiga tahun lalu. Namun, aku meninggalkannya dan setelah itu ... kau tahu kelanjutannya," jawab Ivander.

"Mengapa kau meninggalkannya?" tanya Avera.

Ivander terdiam sejenak. Lalu alih-alih menjawab, ia justru menyuarakan hal yang sama sekali berbeda.

"Tolong maafkan ibuku...."

Avera terkejut mendengar kalimat itu.

"Aku ... berhubungan dengannya, di belakang ayahku. Genan bahkan tidak mengetahuinya. Mungkin bagimu dia adalah wanita yang jahat, tetapi dia adalah ibuku. Dan karena dia sudah pergi, aku mohon maafkan dia," lanjut Ivander lirih.

Avera menatap sepupunya yang belum juga membuka mata dengan air mata tergenang. Ia tidak pernah tahu bahwa Ivander berhubungan dengan Tante Riana. Avera kira Ivander mematuhi perintah ayahnya dan sama seperti Genan, tidak pernah menemui ibunya.

Namun, jika ternyata selama ini Ivander merawat ibunya diam-diam, maka apa yang terjadi pada bulan Januari lalu pastilah sangat menghancurkan Ivander. Menyaksikan ayahnya sendiri membunuh ibunya ... meski serupa dengan kasus yang dimiliki Avera, tetap saja menyakitkan. Avera tidak bisa membayangkan duka seperti apa yang sudah Ivander tanggung sendirian.

Ivander membuka mata dan terkejut ketika melihat Avera menangis. Seketika ia menambahkan, "Aku minta maaf, Avera. Aku tidak bermaksud mengungkitnya. Aku tahu kau membenci ibuku atas hal yang dilakukannya terhadap ibumu. Aku hanya.... Maafkan aku."

Avera terisak. Kepalanya menggeleng.

"Kau tidak perlu meminta maaf, Ivander. Aku tidak pernah menyalahkan ibumu sekali pun. Aku tahu dia melakukannya karena ayahku. Kau dan aku sama-sama tahu ibumu hanya korban, seperti ibuku."

Menghapus air matanya, Avera melanjutkan, "Dan aku ingin kau memaafkan ayahmu. Aku tahu permintaan ini sangat sulit dan aku sudah keterlaluan, tetapi aku menyayanginya—"

"Apa kau sendiri bisa memaafkan ayahmu?" sela Ivander dingin.

Kali ini Avera bungkam. Ingatannya terlempar pada sosok kejam ayahnya yang memiliki anak lain, lalu membawa ibunya ke dalam lubang depresi, dan menutup lubang itu hingga ibunya pergi hanya demi setumpuk uang. Mustahil Avera bisa memaafkannya.

"Maafkan aku...." bisik Avera. Menyadari permintaannya yang sangat egois.

Ivander mengalihkan pandangan dan ikut meminta maaf. Untuk hal yang sangat tidak ia mengerti, Avera memiliki ikatan lebih dalam dengan sang paman alias ayah Ivander dibanding ayah Avera sendiri. Ivander tahu ia tidak berhak menghakimi Avera, karena Ivander sendiri tidak bisa memaafkan ayahnya.

Keluarga mereka benar-benar tidak terselamatkan. Hanya membawa luka berkepanjangan yang tidak tertahankan.

"Aku menyesal untuk segala hal yang terjadi dalam keluarga kita. Orangtuaku dan orangtuamu tidak seharusnya menderita dan memiliki hidup seperti itu," ucap Avera dengan nada yang begitu jauh.

Ivander tersenyum getir. "Sama sepertiku, bukan? Mereka mencintai orang yang salah."

"Cinta tidak pernah salah, Ivander," sahut Avera tanpa ragu.

Menolehkan kepala, Ivander menatap sepupunya itu tidak mengerti.

"Cinta tidak pernah salah," ulang Avera. "Obsesi dan keegoisan yang bertudung dengan kata cintalah yang salah. Ketika kau mencintai seseorang, begitu besar hingga kau tak merasa mampu menanggungnya, tanyakan pada hatimu. Apakah itu cinta atau obsesi untuk memiliki semata?" Avera terdiam sejenak. "Karena orang yang benar-benar mencintai, tidak akan mengatasnamakan cinta untuk segala hal buruk yang dilakukannya."

Ivander terhenyak. Perkataan Avera terasa menghantamnya dengan telak.

"Apa yang kau lakukan bukan hal buruk, Ivander. Aku tahu kau berbohong, tetapi aku yakin kau melakukannya demi Larevta. Bukan demi dirimu sendiri. Karena jika kau tidak benar-benar mencintainya, dan hanya ingin memilikinya, kau sudah merebutnya dari Genan sejak dulu. Namun, kau justru memendam perasaanmu dan mengalah demi kebahagiaan kakakmu." Avera membiarkan setetes air matanya mengalir. "Jangan melepasnya, Ivander. Jangan berhenti untuk memperjuangkannya. Aku ... tidak bisa melihatmu seperti ini."

Ivander mengulurkan tangannya dan membawa Avera hingga bersandar pada bahunya.

"Mengapa kau menangis? Bukankah sudah kubilang aku tidak melepasnya? Aku terlalu mencintainya, Avera. Tentu saja aku akan memperjuangkannya."

Avera mengangguk.

Ivander menepuk pipi Avera dan berkata, "Terima kasih, Avera. Terima kasih karena sudah yakin padaku."

***

Memories of Love (Unbroken #3)Where stories live. Discover now