💌۳

392 89 44
                                    

Sejak pembahasan terakhir mengenai surat yang akan dibalas atau tidak, Khairin belum mendapat surat lagi. Ini sudah terhitung hari ke-empat. Ia juga tidak jadi mengikuti saran Inara. Mungkin benar yang dikatakan oleh Najma, orang yang memberi surat itu hanya sekadar iseng untuk menggoda dirinya. Dari situ Khairin mulai sedikit melupakan siapa pengirim surat itu. Namun, saat Khairin hendak pergi salat Asar ke masjid, Layla datang kepadanya. Tentu saja gadis itu membawa surat lagi untuk Khairin.

"Surat lagi. Dari orang yang sama?" Sebelum Layla benar-benar pergi, Khairin harus menginterogasinya.

Layla menjawab hanya dengan anggukan.

"Kamu gak mau ngasih aku petunjuk lagi, gitu?" tawar Khairin.

"Maaf, Khai. Aku udah janji sama orangnya."

"Ish! Berdosa banget kamu, Lay." Khairin mengerucutkan bibirnya, sebal. Susah sekali mendapatkan informasi lebih dari Layla. Padahal Khairin hanya meminta petunjuk, bukan meminta uang.

"Udah, ya. Aku pergi dulu. Bentar lagi salat jemaah dimulai."

Belum mendapat persetujuan dari Khairin, Layla pergi begitu saja dari hadapannya. Jika dilihat Layla sengaja menghindar supaya tidak ditanya semakin jauh. Menyebalkan, 'kan?

Udah tenang-tenang selama empat hari. Eh, datang lagi. Ngerepotin aja nih surat.

Khairin menggerutu dalam batinnya. Ia merasa aneh dengan surat ini. Seperti banyak kejanggalan di dalamnya. Mengaku orang terdekat, padahal Khairin tidak ada dekat dengan lawan jenis, apalagi di pesantren.

"Khairin, cepetan kesini!" Najma berteriak dekat pintu masuk masjid.

Khairin yang sempat cengo, langsung tersadar. Segera ia beranjak dari tempatnya, lalu mengambil wudu di tempat perempuan. Salat berjemaah itu berjalan selama kurang lebih 30 menit, sudah lengkap dengan zikir bersama. Untuk membaca Al-Qur'an bisa dilakukan di masjid atau bisa di asrama masing-masing. Namun, ada saatnya diwajibkan untuk membaca Al-Qur'an bersama di masjid, contohnya saat sehabis salat tahajud.

Salat Asar selesai, Khairin lebih memilih kembali ke asrama, juga dengan Inara dan Najma. Kemudian, Khairin ingat dengan surat yang diberi Layla tadi. Ia mengeluarkan suratnya yang ia simpan di saku.

"Tau, nggak? Tadi aku dapat surat lagi, lho," ucapnya sembari menunjukkan suratnya.

Inara dan Najma spontan berhenti berjalan, diikuti dengan Khairin. Gadis itu tidak tahu tujuan mereka berhenti apa. Namun, melihat raut wajah Inara, seperti penasaran dengan isi suratnya.

"Tapi ... aku belum buka, sih."

"Ayo buka!"

Jelas itu Inara yang memerintahnya. Tidak kira-kira kalau nyuruh, tidak lihat tempat dan waktu. 

"Gak di kamar aja?" tawar Khairin.

"Kelamaan, Khai." Inara menarik tangan kedua temannya untuk diajak minggir, supaya tidak menghalangi jalani santri lain.

"Iya, sih. Tapi, di sini rame, lho."

"Gak terlalu. Cuma beberapa orang aja yang belum balik asrama."

"Iya, sih."

Khairin mulai menyobek ujung amplop yang berisi surat itu. Inara saja penasaran, apalagi dirinya sendiri.

"Lebih baik jangan dibuka di sini, Khai!" Sergah Najma cepat. "Nanti kalo ada ustazah yang liat bisa dirampas dan kamu kena masalah."

Eh. Benar juga apa yang dikatakan oleh Najma. Khairin jadi dilema, menimbang-nimbang mau membukanya sekarang apa tidak.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Where stories live. Discover now