💌۱۱

149 37 6
                                    

Perasaan orang yang sedang jatuh cinta selalu mengutamakan segala hal di atas segalanya. Seperti lupa akan hal-hal lain di sekitar. Mungkin itu yang dirasakan oleh Khairin sekarang.

"Cie! Yang udah resmi hubungannya," ledek Inara. Senyumannya nampak begitu mengejek.

Khairin hanya tersenyum lebar. Sedari kemarin detak jantungnya masih susah dikontrol. Membaca surat kali ini sama dengan surat pernyataan cinta yang kemarin. Terselip satu puisi yang indah saat dibaca oleh Khairin. Puisi pilihan Aqlan tidak selebay puisi kebanyakan. Walau Khairin tahu, itu bukan ciptaan Aqlan sendiri, tetapi Khairin menghargai karena Aqlan mau memberinya puisi. Jika Khairin boleh menilai, sepertinya Aqlan termasuk lelaki penyuka puisi. Sejenis lelaki romantis, begitu.

"Aaaa, gimana, ya?" Khairin memejamkan mata merasakan detak jantungnya sendiri. Tangannya keringat dingin membayangkan hubungannya dengan Aqlan.

"Masih sore, oy. Jangan teriak-teriak!" seru Inara.

"Kalo malem boleh?" tanya Khairin sok polos.

"Mau dimarahin Ustazah?" Pertanyaan dibalas pertanyaan. Inara seperti tidak tahu saja bagaimana kondisi hati Khairin saat ini.

"Ish!" desis Khairin sebal. "Ya, gak mau. Apalagi kalo sampe dimarahin Ustazah Yasmin. Lebih baik aku jauh-jauh, deh."

Inara terbahak. Khairin memang sudah tidak mau mencari masalah dengan Yasmin. Sekarang ia juga tidak pernah kabur lagi dari pesantren. Masalah kabur dari pesantren seolah terlupakan, sejak ia mendapatkan surat dari Aqlan. Bisa jadi Aqlan yang sudah mengubah dirinya menjadi lebih betah di pesantren. Ah, Khairin tidak salah menerima Aqlan, 'kan?

Cara Aqlan mendekati dirinya yang terkadang buat terkesima. Di pesantren seperti ini mereka jarang bisa untuk bertemu. Khairin berharap setelah ini ia bisa lebih sering ketemu Aqlan, entah di mana itu.

"Inara, Khairin ... yuk sholat maghrib!" seru Yasmin dari luar kamar.

Khairin dan Inara bergegas menyiapkan diri untuk pergi ke masjid, sebelum ada peringatan yang kedua kali. Kalau ada peringatan ke-tiga kali dan tidak bersegera, bisa-bisa mereka kena hukuman. Khairin tidak mau dan tidak akan terjadi. Berhadapan dengan ustazah Yasmin adalah hal yang paling ia hindari. Cukup. Cukup waktu lalu saja.

Saat di perjalanan menuju masjid, senyuman Khairin tidak pernah luntur sama sekali. Sampai-sampai Inara merasa takut dengan Khairin. Takutnya dianggap gila oleh orang sekitar. Orang jatuh cinta emang susah. Dianggapnya biasa aja, tetapi ternyata seluar biasa itu. Tidakkah Khairin sadar akan hal itu?

"Udah atuh ih. Kamu senyum-senyum mulu dari tadi, Khai," protes Inara, bergidik ngeri.

"Masa, sih?" Tuhkan Khairin memang dalam mode tidak sadar. Sekarang Khairin bukan lagi kena pelet Inara, tetapi kena pelet Aqlan yang lebih manjur dari pada Inara.

"Serem dari tadi kamu mesem terus."

"Biasa aja, ih." Khairin menyangkalnya.

"Salat dulu. Baru mesem lagi."

"Iya, iya."

Mereka memasuki masjid, lalu pergi ke tempat wudu perempuan. Di sana Khairin bertemu Layla dan menyapanya. Raut wajah Layla terlihat bingung. Tidak biasanya juga Khairin rajin menyapa santri lain.

"Salatnya jangan sambil mikirin Aqlan, nanti gak khusyuk!" peringat Inara dari belakang.

"Iya, Nara."

Beberapa menit kemudian salat Magrib selesai. Tidak ada agenda lain setelah salat Magrib di masjid ini. Jadi, Khairin, Inara, dan Najma langsung kembali ke asrama.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Where stories live. Discover now