💌۲۷

131 32 6
                                    

Sejak pengakuan dari Najma, bahwa dialah yang melaporkan Khairin dan Aqlan ke ustazah Dina, sudah dua hari ini juga Najma didiami oleh Khairin. Tidak disapa sama sekali, bahkan seperti orang yang musuhan. Najma mengerti, mungkin Khairin membutuhkan waktu untuk mengerti dan memaafkannya.

Hari ini Najma berencana untuk mengajak ngobrol Khairin lagi. Ia berharap, suasana hati Khairin sudah lebih baik dari waktu itu. Melihat Khairin yang sedang santai membaca buku sendirian di meja, lantas Najma menghampiri. Semoga ini waktu yang tepat untuk memperbaiki hubungan yang sempat renggang karena masalah lalu.

"Hai!" sapa Najma, canggung. Bagaimana tidak canggung, jika dua hari tidak mengobrol sama sekali.

Namun, awalnya Khairin hanya menanggapi dengan senyuman sekilas. Setelah itu, ia kembali fokus dengan bukunya. Oke, mood Khairin tidak terlalu buruk, sehingga lebih mudah untuk Najma memulai semuanya kembali. Ia tahu, apa yang harus ia lakukan sekarang.

"Khai," panggil Najma pelan, nadanya terdengar sangat lembut di telinga Khairin. "Emh ... mungkin waktu itu kamu ngira aku tega sama kamu, udah ngelaporin ke ustazah Dina. Mungkin menurut kamu itu salah. Iya, aku ngerti, kok. Kamu merasa gak terima, itu wajar. Tapi, kamu juga pasti ngerti kenapa aku melakukan itu," terang Najma. Tangannya tidak bisa diam, memilin ujung kerudungnya sampai lecek.

Perkataan dari Najma mampu membuat Khairin berhenti dari aktivitas membaca bukunya sejenak. Matanya menatap langit-langit dinding.

"Aku minta maaf, ya. Aku begitu bukan bermaksud mau bikin kamu menderita atau apa pun yang kamu pikir negatif," lanjut Najma. "Aku gak tau kalo ada ancaman bakal sampe dikeluarin dari pesantren. Kalo emang itu sampe kejadian, kamu boleh banget benci sama aku. Bahkan, mungkin aku juga bisa mohon-mohon sama Ustazah untuk tidak ngeluarin kamu. Biar aku aja yang dapat hukuman lain, asal kamu gak dikeluarin, Khai."

Khairin masih terdiam, mencerna setiap kata-kata dari Najma.

"Tadinya aku gak mau ngasih tau ini ke kamu, Khai. Karena aku tau kamu bakal marah, makanya aku minta saran dari Ustazah Yasmin dulu. Beliau bilang, konsekuensinya besar. Iya, emang besar." Najma tersenyum kecut. "Kamu jadi marah sama aku, tapi aku gak bisa juga boong sama kamu. Aku gak maksa kamu buat maafin aku, kok. Tapi, aku bener-bener minta maaf sama kamu, Khai."

Sepersekian detik Najma menunggu respon dari Khairin, tetapi tidak ada. Gadis itu tetap diam, dari awal Najma ngoceh sampai akhir. Membuat Najma serba salah harus bagaimana lagi. Mungkin memang susah untuk memaafkan kesalahannya yang sudah keterlaluan ini.

Najma menghela napas pelan. Pasrah, Khairin memang belum siap untuk memaafkan dirinya. "Gapapa, kok. Aku tau kamu masih butuh waktu. Aku bakal nungguin kamu untuk mau maafin aku."

Setelah mengucapkan itu, Najma membalikkan badan, ingin pergi dari sana. Namun, tertahan oleh tangan Khairin yang tiba-tiba memegang lengan Najma.

"Gak ada yang nyuruh kamu pergi, Naj."

Begitu saja sudah membuat senyuman terukir indah di wajah Najma. Apakah ini pertanda bahwa Khairin akan mememaafkannya? Ah, tidak. Najma tidak boleh berharap lebih, takut kecewa akhirnya.

"Khairin," ucap Najma, tersenyum.

Khairin menghadapkan tubuhnya sejajar dengan Najma di depannya yang sedang duduk di ranjang.

"Kamu udah gak mar—?"

"Maaf, ya," potong Khairin.

Najma mengerutkan kening. "Kok, kamu yang minta maaf?" tanyanya bingung. "Yang salah kan, aku." Lalu, terkekeh kecil.

"Aku ... kayak anak kecil, ya. Kayak gitu aja marah sama kamu. Padahal, harusnya aku tau, kalo niat kamu ngelakuin itu bukan cuma untuk yang negatif, tapi justru karena kamu gak mau aku tersesat terlalu jauh. Akunya gak mau sadar-sadar." Khairin tertawa hambar. "Gak bersyukur banget aku ini, deh. Masih mending kamu mau jujur sama aku."

Mata Najma jadi berkaca-kaca mendengar seluruh ucapan Khairin. Ternyata gadis itu sedari tadi diam, sedang sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri.

"Kamu gak salah, Naj. Aku aja yang keterlaluan udah diemin kamu. Maaf, ya." Khairin memegang kedua tangan Najma, menatap kedua matanya dengan lembut. Ada harapan untuk Najma supaya mau memberinya maaf.

"Khairin," Najma tidak sanggup untuk berkata-kata lagi, lantas ia langsung menghambur dalam pelukan gadis itu. Terasa lebih hangat karena penuh haru.

"Aku emang gak tau diri, deh. Kamu udah banyak membantu aku untuk berubah, eh balasan aku ke kamu malah begitu." Khairin terkekeh sendiri menyinggung dirinya yang tidak tahu malu.

Berkali-kali Najma menyuruh Khairin untuk berhenti berkata-kata lain lagi, tetapi Khairin bandel tidak mau mendengar Najma. Tidak tahu saja sekarang air mata keduanya luruh terlalu banyak di pipi, sampai tumpah-tumpah.

"Kita masih sahabat, 'kan?" tanya Najma dengan suara parau, karena tangisan yang tak kunjung reda.

Wajah Khairin tersenyum sangat manis. "Tentu, dong. Mau bagaimana pun, selamanya kita akan menjadi sahabat."

Mereka kembali berpelukan, menyalurkan kasih sayangnya masing-masing. Di depan pintu kamar ada Inara yang menyaksikan adegan dua orang itu dari awal hingga akhir.

"Ciee!" seru Inara menggoda. "Alhamdulillah, udah ada yang baikan, nih."

"Inara!" Khairin terkejut akan kedatangannya yang tiba-tiba. "Sini, ikutan!"

Inara mendekat, lalu mereka saling berpelukan layaknya Teletubbies. Perasaan yang sempat cemas karena memikirkan dua sahabatnya ini sekarang sudah menjadi lega. Berharap persabatan yang mereka jalin tidak akan pernah hancur oleh apa pun.

💌💌💌

Satu persatu yang pernah hilang dalam hidunya, sudah diperbaiki oleh Khairin. Ia memang tidak lagi memikirkan hal yang tidak terlalu penting. Kesibukan tiap hari hanya tentang jadwal-jadwal yang ada di pesantren dan beberapa agenda yang sudah ia susun sendiri.

Saat ini ia sedang memegang mushaf, mengulangi hafalan yang akan ia setorkan untuk esok hari.

"Fokus banget ngafalinnya," celetuk Inara iseng, memecah suasana yang sempat menegang, karena saking fokusnya.

Khairin terkekeh sejenak. "Iya, dong. Kan, besok mau disetor."

"Sekarang, siang malam kerjaannya cuma mantengi buku, ya. Kalo gak gitu, ya ... mantengin Al-Qur'an."

"Emang mau mantengin apalagi?"

Inara mengetukkan jari di dahi. "Apa, ya? Hm."

Justru hal itu mengundang tawa dari bibir Khairin. Gadis itu tahu arah pemikiran inara kemana, pasti akan meledeknya. Memang Inara ini tidak akan ada capeknya untuk selalu menggoda, tetapi ia juga tidak pernah marah.

"Kenapa atuh kamu ketawa?"

"Ish!" Khairin mendorong pelan tubuh Inara. "Ngeselin kamu, ya."

Walau pun begitu keduanya tetap tertawa. Tidak jelas menertawakan apa, tetapi ada rasa bahagia yang tercetak di bibirnya. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, setelah Khairin teringat sesuatu yang belum tuntas. Iya, abi dan ummah belum memberinya kabar sama sekali. Ia jadi berpikiran, apakah mereka masih marah kepadanya?

"Khairin,"

Khairin tersentak dari lamunannya, karena dipanggil oleh ustazah Yasmin. "Naam, Ust. Ada apa?" tanyanya seraya berjalan mendekat.

"Ada telepon buat kamu."

💌💌💌

Yooo tiga hari lagi yaaw~

Jbr, 27 Juli 2021.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Where stories live. Discover now