💌۲۱

125 32 8
                                    

Kala mengingat nasihat dari teman-temannya semalam, Khairin kembali bersedih. Iya, bersedih. Bersedih mengapa ia begitu abai pada awalnya. Padahal, sudah tahu bahwa nasihat bentuk kasih sayang dari mereka. Apalagi, Najma yang sudah sering mengingatkan dari awal sekali. Semata-mata hanya ingin Khairin tidak terjerumus ke lubang maksiat.

Tanpa sadar bulir air mata berjatuhan di pipi. Najma yang ada di sampingnya, jadi terkejut.

"Eh, kenapa?" tanya Najma panik, tangannya bergerak menghapus air mata Khairin.

"Maafin aku, ya, Naj," pinta Khairin dengan tulus. "Seharusnya aku dengerin kamu waktu itu, tapi aku bandel ... jadinya sembarangan aja ngelakuin sesuatu." Walau menangis, tetapi ada kekehan yang terselip di bibirnya.

Najma tersenyum sekilas. "Iya, udah gapapa. udah kejadian juga, 'kan?" Ia mengelus bahu Khairin. "Namanya juga manusia, kalo belum melakukan kesalahan kayak kurang."

Bukannya sedih, justru tawaan yang saat ini menghiasi bibir mereka.

"Tapi ... yang penting jangan diulangi lagi aja," imbuh Najma, memberi peringatan kepada Khairin.

Khairin mengangguk kuat. Ia berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, bahkan ia akan lebih hati-hati lagi, ketika ingin melakukan sesuatu. Supaya tidak menimbulkan masalah di depannya.

Untungnya kasus yang kemarin tidak sampai membuat Khairin dikeluarkan dari pesantren. Hanya saja ia mendapat surat peringatan yang langsung diberikan kepada orang tua. Khairin bersyukur masih diberi kesempatan untuk memperbaiki apa yang salah. Setelah ini ia tidak mau lagi menyia-nyiakan waktunya.

Saat berdiam diri bersama Najma, Inara datang membawa beberapa camilan.

"Lama, ya. Tadi rame banget di kantin. Mana harus desak-desakan. Liat aja aku sampe keringetan," keluh Inara. Melihat tangannya yang penuh barang bawaan, lantas membuat Khairin dan Najma tertawa.

Khairin berdiri untuk membantu Inara, mengambil apa yang ia pesan. Akhir-akhir ini Khairin memang jarang keluar kamar. Ia masih butuh waktu sendiri sampai semuanya kembali seperti biasa. Lebih-lebih ... Khairin tidak ingin bertemu dengan seseorang yang ada hubungannya dengan Aqlan. Khairin berasa jahat, tetapi ini ia lakukan supaya hatinya kembali baik.

"Makasih, Nara."

Mereka bersama-sama memakan camilan yang sudah dibeli tadi. Di tengah asyiknya mengunyah, Inara justru berkata sesuatu yang membuat pikiran Khairin penuh.

"Setelah kasus kemarin, hubungan kamu sama Aqlan gimana?" tanya Inara pelan-pelan. Sebenarnya Inara tidak mau bertanya, tetapi ini perlu untuk dipertanyakan. Jika kasus yang kemarin selesai, berarti otomatis hubungan sudah selesai.

Namun, Khairin justru terdiam. Mendengar kata Aqlan, tiba-tiba mood makannya jadi buruk. Berbeda terbalik dengan dulu.

Khairin mengedikkan bahu, benar-benar tidak tahu. "Bukannya udah selesai?" tanya Khairin.

"Emh ... biasanya gak semudah itu, Khai."

"Maksudnya?" Jujur, Khairin bingung.

"Kalo Aqlan dulu awal datang dengan surat, berarti sekarang harus diakhiri dengan surat juga, dong."

Hah? Ini membuat Khairin berpikir keras.

"Maksudnya ... aku harus ngirim surat ke Aqlan?" tanya Khairin.

Inara menjawab dengan anggukan.

Khairin tidak langsung meng-iyakan, tetapi matanya beralih kepada Najma yang juga nampak berpikir dengan saran Inara.

"Yang dibilang Inara bener, kok," kata Najma akhirnya. "Tapi, inget, ya ... hanya untuk memutuskan hubungan, bukan yang lainnya."

"Oh. Iya, tenang aja." Khairin tersenyum kepada Najma. "Kalian mau bantu aku bikin suratnya, nggak?"

TERUNTUK KHAIRIN ✔Where stories live. Discover now