💌۲۳

110 32 9
                                    

Obrolan Aqlan dan Khairin hanya sampai di situ. Supaya tidak berlama-lama, Khairin langsung menarik lengan Inara dan Najma untuk mengajaknya pergi dari sana. Tidak memedulikan lagi bagaimana perasaan Aqlan. Bagi Khairin, semuanya sudah selesai. Iya, hubungan yang pernah ada itu sudah berakhir saat itu juga.

"Kamu keren, Khai." Inara mengucapkan jempol ketika sudah jauh dari pandangan Aqlan. Ia kagum terhadap Khairin yang sekarang tidak mudah terbawa perasaan. Sementara, Najma tersenyum kecil mendengarnya.

"Udah terlatih hatinya, nih," cetus Najma, mulutnya melengkung membentuk senyuman. "Makanya, rayuan maut dari Aqlan sudah gak mempan lagi buat Khairin. Pokoknya selama masih sekolah jangan mau diajak pacaran sama cowok mana pun."

"Eh! bukan cuma waktu pacaran aja, dong. Lulus juga gak boleh. Bolehnya langsung nikah, kalo ada yang berani datang ke rumah. Siapa tau Aqlan nanti bersedia untuk gitu?" Inara menggoda, terpampang senyum di wajahnya.

"Ish. Apaan, sih? Masih bocah juga." Wajah Khairin menjadi bersemu merah, malu-malu. "Lulus sekolah ... aku juga masih mau kuliah."

"Oh iya, deng." Inara tertawa terbahak-bahak. "Abis lulus kuliah berarti. Ya, 'kan?" Namun, Inara tetap saja tidak berhenti untuk menggoda, malah kesannya ingin menjodohkan Khairin dengan Aqlan di masa depan.

"Ya, gak mesti sama Aqlan juga, sih. Lelaki banyak, kan?" sanggah Khairin. "Lagipula Aqlan cuma masa lalu. Udahlah gak usah dibahas."

"Pinter," seloroh Najma, mengacungkan jempol kanan. "Tapi, jodoh emang gak ada yang tau, Khai. Bukan berarti juga abis ini kamu berharap Aqlan jadi jodoh kamu. Serahin aja sama Allah. Allah tau yang terbaik untuk hamba-Nya," tutur Najma.

"Nah! betul." Lagi, Inara juga mengacungkan jempol untuk Najma.

"Kamu juga. Jangan manas-manasin Khairin lagi!" peringat Najma, matanya menatap penuh ancaman. "Udah tau iman Khairin gampang goyah, mudah kebawa kemana-mana."

Inara terkekeh pelan. "Iya, iya. Janji, deh," ucapnya sambil membentuk tangannya menjadi huruf V.

Khairin tersenyum simpul menyaksikan kedua sahabatnya yang mulai ada perdebatan kecil lagi, tetapi masih bisa akur, tetapi sering debat. Ah, entahlah apa sebutannya. Yang terpenting Khairin mulai bisa bahagia kembali.

"Kamu udah gak ada perasaan sama Aqlan, kan, Khai?" tanya Inara hati-hati.

Tiba-tiba suasana menjadi hening. Pertanyaan itu sedikit mengganggu hati Khairin. Bukan, bukan karena Khairin masih punya perasaan lebih terhadap Aqlan, tetapi memang hubungan yang baru berakhir ini belum bisa dilupakan sepenuhnya oleh Khairin.

"Emh ...," Khairin menggeleng pelan. "Enggak, kok."

"Kayaknya awal-awal gini masih berat, ya, Khai. Secara hubungannya belum terlalu lama."

Kata-kata Inara dibenarkan oleh Khairin lewat batin. Kalau secara langsung, takutnya nanti kena amuk.

"Kumat, deh." Najma memutar bola matanya. "Udah. Inara jangan didengerin, Khai."

"Aish. Bukan gitu, Naj." Inara memanyunkan bibirnya lima senti. Eh, kepanjangan. Bibir Inara terlalu kecil untuk ukuran manyun lima senti. "Namanya juga perasaan mah kadang emang suka susah dilupain."

Namun, penjelasan Inara tidak dipedulikan oleh Najma. Inara dianggap angin yang hanya lewat dalam sekejap. "Mau sampai kapan berdiri di sini, nih?"

Pembicaraan justru dialihkan ke hal lain, tetapi ada baiknya. Keasyikan ngobrol di lantai bawah, sampai tidak sadar waktu menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Setengah jam lagi sudah waktunya untuk tidur. Mereka sekalian mengambil wudu supaya tidak bolak-balik dari lantai atas ke bawah.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Where stories live. Discover now