💌۹

185 45 11
                                    

Mengulangi hafalan sudah menjadi rutinitas bagi Khairin di malam hari. Namun, semalam karena sudah merasa lelah dengan aktivitas seharian, membuatnya harus menghafal pagi ini. Padahal nanti siang ia ada setoran hafalan. Sungguh bencana. Jangan sampai ia dihukum karena tidak hafal. Mengingat juga bahwa hafalan ini penting dalam hidupnya. Seperti yang pernah dibilang oleh abangnya juga, penghafal Al-Qur'an memiliki banyak keistimewaan.

Khairin duduk di kursi taman, memandangi orang yang sedang berlalu-lalang dan beraktivitas pagi ini. Ditemani dengan Dilfa, yang kebetulan tidak ada aktivitas apa pun.

"Kenapa kamu berat banget mau mondok? Coba kasih alasan yang logis ke Abang?!" tanya Dilfa, yang paham banget adiknya ini masih tidak mau disuruh masuk ke pesantren.

"Gak enak, Bang," jawab Khairin. "Di sana pasti aturannya ketat banget. Khai belum siap jauh dari keluarga juga." Seribu alasan yang Khairin lontarkan, supaya orang tuanya mengurungkan niatnya mengirimnya ke pesantren.

Dilfa menghela napas. "Terus, mau kapan siapnya, Khai?"

Khai terdiam, mengedikkan bahu. Tidak tahu juga mau jawab bagaimana.

"Kamu tau nggak keistimewaan orang-orang yang ada di pesantren?" Dilfa berusaha untuk membuat Khairin terpukau dengan pesantren.

Khairin menggeleng, seperti tidak minat juga tahu jawabannya.

"Di pesantren itu nggak semenyeramkan yang kamu bayangkan, Khai," terang Dilfa. "Kamu pasti bisa punya banyak teman, kok. Malah lebih enak nyari teman di pesantren, dari pada sekolah biasa."

"Ish, bukan masalah itu, Abang," protes Khairin sebelum melanjutkan, "Kalo tiba-tiba Khai merasa gak betah gimana? Boleh kabur?" Seperti sedang tawar menawar.

"Hush! Gak boleh gitu, dong." gertak Dilfa pelan.

"Nah! Makanya itu, lebih baik Khai gak ke pesantren aja, 'kan?"

"Gak gitu juga, Khai. Waktu itu kamu juga udah setuju mau pesantren, lho," todong Dilfa.

Benar. Khairin pernah setuju untuk dikirim ke pesantren, tetapi Khairin masih gadis labil yang selalu berubah-ubah suasana hatinya. Itu pun dilakukan karena suatu alasan tertentu. Mana bisa Khairin menolak, jika terpaksa. Mungkin ketika nanti dia mau dimasukkan ke pesantren, itu juga karena terpaksa.

"Iya, karena Khai Abi marah lagi." Khairin mencebikkan bibirnya, tangannya sibuk memilin ujung kerudungnya.

"Abi nyuruh kamu mondok juga karena pengin kamu menjadi lebih baik lagi, Khai."

"Kalo Khai gak mondok pun, Khai bisa berubah lebih baik, kok," sanggah Khairin.

"Yakin?"

"Ish! Abang selalu gak percayaan, deh." Khairin cemberut.

Sontak Dilfa tertawa terbahak. "Bukan gak percaya, sih. Abang tau kalo adik Abang ini emang lagi bandel-bandelnya Jadi, perlu dikirim ke pesantren biar banyak perubahan," ucap Dilfa seraya mencubit pipi Khairin. Gemas.

"Ih! Sakit, Abang." Khairin mengusap pipinya yang merah. "Pesantren juga gak menjamin kali, Bang."

"Sok tahu," sewot Dilfa. "Gini, di pesantren itu bisa hafalan Al-Qur'an juga, lho. Kamu pernah bilang ke Abang kalo pingin jadi penghafal. Inget, nggak?"

"Umh ... inget, kok." Khairin tidak akan mengelak kali ini. Itu menjadi salah satu hal yang ia inginkan dalam hidupnya.

"Nah! Justru ini kesempatan buat kamu, Khai. Penghafal Al-Qur'an itu, kan banyak keistimewaannya."

TERUNTUK KHAIRIN ✔Where stories live. Discover now