💌۱۳

123 38 8
                                    

Melihat Khairin yang lebih dekat dengan makanan yang Inara mau, gadis itu berseru, "Khai, tolong ambilin itu, ya!" Tangannya menunjuk ke arah makanannya.

Mata Khairin mengikuti arah telunjuk Inara. "Oke. Sebentar," balas Khairin. Ia mengambil makanan itu dengan sendok besar yang sudah tersedia di sana, lalu menuangkan ke piring Inara.

"Cukup, Khai."

Khairin mengembalikan sendoknya ke mangkok. "Tumben."

Terkekeh, Inara biasanya sering mengambil lauk yang banyak. Padahal, harus dibagi rata supaya adil. "Kata kamu ... gak boleh banyak-banyak. Mubazir."

"Alhamdulillah, sadar."

"Khai, Khai." Tiba-tiba Inara menepuk pundak Khairin agak brutal.

"Auwh. Apa, sih?" tanya Khairin, sebal.

"Itu Aqlan, kan?" Dagu Inara yang menunjuk ke sana.

Mata Khairin mencari sosok Aqlan sesuai arahan dagu Inara. Di pojok, tempat santri makanan, ia melihat Aqlan yang posisinya membelakanginya. Sedetik kemudian Aqlan menoleh, membuat pandangan mereka bertemu. Malu, senang, dan bahagia yang Khairin rasakan, tidak dapat terdefinisikan. Sebelumnya, ia tidak pernah sesering ini bertemu Aqlan. Seperti takdir yang membawa mereka bertemu.

Kembali fokus ke makanan, Khairin menundukkan pandangan. Tidak baik juga jika lama-lama memandang Aqlan. Maksudnya, tidak baik untuk kesehatan jantung. Begini saja, sudah membuat jantung Khairin berdetak lebih kencang dari biasanya. Ditambah senyuman Aqlan yang semanis bulan sabit. Eh, ini Khairin memang terlalu lebay. Lagi di masa cinta membuatnya lupa akan dunia sekitar.

"Khai," Inara menyenggol lengan Khairin. Tidak sadar banyak antrean yang menunggu di belakang, tetapi Khairin masih stuck di situ saja.

"Ha?" Khairin cengo.

"Geseran, ih!" perintah Inara, gemas sekali melihat tingkah sahabatnya.

Khairin menengok ke belakang. "Oh, iya," balasnya canggung.

Malu. Lebih malu lagi saat melihat ke arah Aqlan yang seperti tertawa dengan tingkah Khairin. Aduh, double-double malunya. Tidak seharusnya ia salah tingkah di depan Aqlan. Fiks. Khairin mulai tidak waras karena Aqlan.

Tangan Khairin ditarik oleh Inara untuk keluar dari kerumunan tempat pengambilan makan. Untung saja Khairin memegang piringnya dengan erat, jadi tidak sampai meletus, eh jatuh. Yang meletus itu balon hijau.

Setelah dipastikan aman dan menemukan tempat duduk yang nyaman, Khairin langsung diburu banyak pertanyaan dengan Inara, begitu pun Najma.

"Kamu teh jangan malu-maluin, ya, Khai."

Khairin memasang wajah bingung. "Malu-maluin gimana?"

"Kamu tadi salting karena diliat Aqlan, 'kan?"

Khairin menundukkan wajahnya, tetapi benar yang dibilang oleh Inara.

"Kamu, sih."

"Kok aku?"

"Coba kamu gak bilang ke aku kalo ada Aqlan, pasti gak akan begitu tadi,"

"Yeu, aku ngasih tau juga biar kamu seneng ... tapi, gak sampe gitu juga."

"Iya, iya." Khairin pasrah saja. "Tapi, aku malu waktu kamu negur aku tadi. Aqlan liat, terus kayak nertawain aku."

"Ciee!" Lagi-lagi Inara menggoda Khairin, "Kayaknya Aqlan emang bener-bener cinta sama kamu, Khai."

"Apa'an!" seloroh Khairin. "Ngomongin cinta-cintaan mulu kamu, Nar."

"Yeee ... sadar, Khai. Kamu aja udah jadian sama Aqlan." Bibir Inara bersungut-sungut.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Where stories live. Discover now