💌۲۸

139 34 6
                                    

Khairin mengikuti langkah ustazah Yasmin dari belakang, diikuti dengan Inara yang bakal setia menunggu dirinya mengobrol dengan orang tua. Ada perasaan senang dalam hatinya ketika dapat kabar dari ustazah Yasmin, tetapi juga ada perasaan cemas. Takut, jika nanti ia masih didiami atau hanya sekadar dimarahi.

Aduh, sepertinya Khairin terlalu berpikir negatif. Tidak, tidak. Harusnya ia berpikir yang positif-positif aja sekarang.

"Bentar, ya, Khairin."

Itu pesan dari ustazah Yasmin sebelum masuk ke ruangan. Mungkin masih mau mengambil ponsel atau menghubungi orang tua kembali. Khairin melihat sekeliling, sangat sepi. Tidak ada santri yang mengantre untuk menghubungi orang tua. Tumben sekali. Ah, iya. Khairin baru ingat, kalau ini bukan waktunya untuk itu, ini bukan hari kamis mau pun hari sabtu, melainkan hari selasa. Pantas saja tidak terlihat santri yang lain.

Khairin masih menunggu untuk dipanggil, tetapi tidak dapat dipungkiri kalau perasaannya campur aduk.

Ustazah Yasmin membuka ruangan, lalu menyuruh Khairin untuk masuk. Hanya Khairin, sementara Inara menunggu di luar.

"Khairin, sebenarnya ini bukan waktunya untuk mengobrol dengan orang tua, ya. Tetapi, karena Ustazah tau, kamu udah lama gak ngomong sama orang tua, jadi Ustazah izinkan," terang Yasmin. "Oh iya, jangan lama-lama, ya. Supaya gak ketauan santri yang lain." Setelahnya ia memberikan peringatan kepada Khairin di sana.

Khairin mengangguk, menurut saja. Masih diberi kesempatan untuk mengobrol saja sudah bahagia sekali rasanya.

"Yasudah. Ini!" Yasmin memberikan ponsel ke Khairin. "Teleponnya sudah nyambung. Saya tinggal sebentar."

"Baik, Ustazah."

Usai melihat ustazah Yasmin pergi dari ruangan, tangan Khairin menjadi tremor. Rasanya jantung Khairin seperti bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya. Namun, ia harus segera menyapa orang yang ada di seberang sana. Kalau kelamaan takut dimatikan.

"Assalamu'alaikum, Ha-hallo!" Menyapanya saja Khairin masih tergagap. Bagaimana ini?

Bukan jawaban yang Khairin dapat, justru ia mendengar seseorang seperti menghela napas berat. Khairin tidak kuat menahan untuk diam-diaman saja.

"Apa kabar, Khairin?" ucap Fathiyya akhirnya.

Kepala Khairin yang semula menunduk, kini menegak. "U–ummah."

"Iya, ini Ummah."

Khairin tidak bisa menyembunyikan rona kebahagiaan di pipinya. Matanya berkaca-kaca mendengar ummah menyebut namanya. Setelah sekian lama tidak pernah ada panggilan itu, kini ia telah bisa mendengarnya lagi. Kebahagiaan ini seperti tidak bisa dijelaskan dengan apa pun.

Sejenak menjadi hening, Khairin teringat akan sesuatu. Iya, ia belum sempat meminta maaf. Sekarang Khairin tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia harus bersegera meminta maaf, apa pun nanti responnya.

"Ummah," panggil Khairin pelan. "Khairin minta maaf. Ummah mau marahin Khairin kayak gimana pun gapapa. Mau omelin Khairin gapapa. Tapi, jangan diemin Khairin lagi, Ummah." Nada di kalimat akhir terdengar lebih pelan.

"Iya, Khairin. Walau Abi dan Ummah sempat kecewa, tapi bukan berarti benci sama kamu, Khairin. Kamu tetap anak Abi sama Ummah. Beberapa hari ini, Abi sama Ummah sering mendengar perkembangan baik di hidup kamu."

Sontak mata Khairin membelalak tak percaya. "Ummah tau dari siapa?"

"Siapa hayo?"

Ah, kenapa diajak main tebak-tebakan, tetapi Khairin benar-benar kepo dengan orang yang memberitahu perkembangannya ke ummah.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Where stories live. Discover now