💌Extra Part ۱

263 37 0
                                    

Perumahan Nirwana Bunga Surabaya.

Pagi hari, waktu yang tepat bagi Aqlan untuk membaca buku. Jika seseorang menilai ia membaca buku yang berkaitan dengan mata pelajaran, maka jawabannya tidak. Yang pertama, Aqlan baru lulus SMP. Kedua ... sekarang, ia sedang menantikan untuk masuk ke sekolah yang baru.

Namun, ia tidak mengharapkan itu cepat terjadi. Aqlan masih ingin berada di rumah, untuk pergi liburan bersama keluarga. Tentu saja, tidak ada yang tidak mau liburan setelah otak lelah dibuat berpikir ujian-ujian kelulusan SMP. Ah, tetapi semua itu terhalang karena sesuatu hal yang tidak bisa ditunda. Apakah Aqlan marah? Tidak bisa. Mau bagaimana pun sesuatu itu sudah diputuskan dari lama dan Aqlan hanya bisa mengikutinya.

Cowok itu membalik lembar dari buku selanjutnya. Kata demi kata ia baca, sampai membuatnya terpukau. Hobi membaca buku puisi ini jarang sekali diketahui oleh teman-temannya. Aqlan cukup malu dianggap cowok yang puitis, padahal walau suka membaca puisi, Aqlan tetap tidak bisa menciptakan puisi yang indah. Jika Aqlan yang menulis puisi, justru nampak lebay ketika dibaca. Bahkan, ia pernah ditertawakan oleh teman sebangkunya karena terlalu alay. Dari situ Aqlan cukup kapok untuk membuat puisi lagi yang diberitahukan ke temannya.

"Le,"

Aqlan tidak melamun, jadi ia bisa mendengar dengan jelas panggilan dari bundanya, yang sekarang sudah duduk di depannya.

"Dalem, Bunda," jawab Aqlan, matanya fokus menatap wanita berumur sekitar 40 tahun itu. Sedari tadi ia duduk di pinggiran teras yang menghadap langsung ke jalan.

"Ini, lho. Garam Bunda sudah abis. Minta tolong kamu beliin ke warung gang sebelah, ya!" pinta Wardah-bunda Aqlan.

"Loh! Aqlan gak tau tempatnya, Bun."

Wardah memukul pelan paha Aqlan. "Ya, makanya tho. Kamu itu sering ikut Bunda belanja, biar tau."

"Yaudah," balas Aqlan, pasrah. "Emang warungnya di blok berapa?"

"Blok F. Kalo dari sini, cuma satu belokan. Nanti kamu belok ke kanan, terus di gang yang ke dua, gak jauh dari itu ada warung." Wardah menjelaskan arah-arahnya dengan menunjuk ke jalanan.

Sementara Aqlan masih berusaha memahami semua perkataan bundanya, walau ia tidak tahu pasti di mana keberadaan warung tersebut. Oke, teknologi sekarang sudah canggih. Kalau pun ia nanti nyasar, masih ada ponsel untuk menghubungi keluarga di rumah.

"Gimana? Tau nggak?" tanya Wardah memastikan, karena melihat raut wajah Aqlan yang tidak meyakinkan sekali.

Aqlan menggeleng ragu.

"Kamu itu, lho. Udah hampir satu bulan pindah ke sini."

"Yee, Bun. Masih satu bulan doang mah wajar. Kalo udah setahun itu noh yang gak wajar," bela Aqlan tak terima.

"Jawab terus kalo dibilangin."

Baik, Aqlan menyerah. Daripada nanti dicap sebagai anak durhaka, malah tidak elite.

"Yaudah. Mana duitnya?" Aqlan mengulurkan tangan.

"Sebentar." Wardah merogoh dari sakunya, mengeluarkan uang sebesar dua puluh ribu.

Aqlan mengerutkan kening. "Banyak amat. Beli garam doang, Bun. Lima ribu juga cukup."

"Udah, jangan banyak protes," Wardah meraup wajah Aqlan, gemas. "Nih!" Bukan uang yang dikasihkan, tetapi lembaran kertas kecil.

"Apa, nih?"

"Katanya minta banyak belanjaan?"

Benar saja, bundanya langsung memberikan catatan yang berisi banyak list belanjaan yang harus Aqlan beli. Kalau dengan uang 20 ribu ini juga tidak akan cukup. Sebelum ia protes lagi, bundanya memberi tambahan uang 50 ribu.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Where stories live. Discover now