💌۷

219 51 14
                                    

Khairin bertemu Layla di persimpangan jalan menuju asrama. Gadis itu memberikan surat kepadanya. Sudah dipastikan jika itu balasan surat dari Aqlan. Senang, itu yang dirasakan Khairin saat ini. Berharap isi suratnya bisa membuat hatinya lebih senang lagi, bahkan bahagia mungkin.

"Kayaknya baru kemaren aku ngasih suratnya, Lay. Udah dibales aja," ujar Khairin. Ya, walau pun Khairin senang, tetapi ia juga masih heran dengan balasan yang secepat ini.

"Mungkin lebih cepat lebih baik," balas Layla yang bisa dibenarkan oleh Khairin.

"Ya, juga. Makasih, ya, Lay."

Mereka pun berpisah setelah urusan dengan surat. Khairin masih tidak menyangka jika Aqlan akan membalas secepat ini. Pikirnya, Aqlan akan ilfeel dengan surat yang diberinya kemarin. Mengingat jika yang ditulis Inara terkesan lebay untuk dibaca, atau justru terkesan romantis ketika dibaca oleh Aqlan. Ah, Khairin jadi penasaran dengan ekspresi Aqlan saat itu.

Khairin bersegera kembali ke kamar untuk membaca suratnya. Pas sekali lagi sepi, berarti tidak akan ada yang mengganggunya. Termasuk, Inara yang biasanya sering kepo terhadap surat yang dikirim oleh Aqlan.

Khairin merasa tremor duluan sebelum membaca. Ketika surat sudah dibuka, Khairin membacanya dengan seksama. Padahal, ini bukan pelajaran, mengapa harus dibaca dengan seksama, harusnya dengan hati. Aduh, Aqlan membuat pikiran Khairin menjadi berantakan. Apa-apa dikaitkan dengan hati.

Membaca awal-awalnya Khairin masih biasa saja. Namun, saat di surat Aqlan bercerita tentang kegiatan kerja bakti waktu lalu membuat Khairin mencak-mencak. Malu. Sungguh malu yang dirasakan saat ini. Bisa-bisanya Aqlan tahu semua gerak-geriknya. Dari sini Khairin bisa menangkap, bahwa Aqlan memang terlalu memperhatikan dirinya walau dari jauh. Entah ini Khairin mau merasa terharu atau ngeri, tetapi jujur saja, perasaan Khairin lebih ke terharu. Romantis gitu, pikir Khairin. Maklum, ini baru pertama kali Khairin merasakannya.

Langkah kaki seseorang bisa terdengar dari kamar Khairin, sesegera mungkin ia berusaha untuk menyembunyikan suratnya. Takut, jika itu ustazah yang sedang berkeliling. Namun, mengingat kalau siang begini jarang sekali ada ustazah keliling, kecuali mendekati waktu salat jemaah.

"Ih! Ternyata kamu teh di kamar."

Oh, ternyata Inara. Kalau begitu Khairin tidak perlu takut. Hanya Inara, tidak mungkin berbuat yang aneh-aneh.

"Ngapain ih kamu di kamar? Aku cari kamu dari tadi gak ketemu. Aku cari di masjid juga gak ada." keluh Inara, merebahkan tubuhnya di ranjang Khairin.

Khairin terkekeh melihat tingkah Inara. Saat bertemu Layla tadi, memang dia hanya sendirian tanpa kedua temannya. Sebenarnya Khairin juga tidak menyangka akan bertemu Layla, tujuannya saat itu hanya pergi ke masjid mengambil Al-Qur'annya yang tertinggal di sana.

"Nggak kemana-mana, kok," balas Khairin. "Tadi aku sempat ketemu Layla,"

"Eh!" Inara membangkitkan tubuhnya, lalu duduk di sebelah Khairin.

"Kenapa?" tanya Khairin, yang peka sekali dengan ekspresi kekepoan Inara.

"Kamu udah dapat balasan surat dari Aqlan, ya?"

Tuhkan. Tebakannya memang tidak pernah melenceng. Khairin jawab saja dengan anggukan.

"Wah! cepet banget." Wajah Inara terlihat sangat terkesima.

Namun, hal itu juga sepemikiran dengan Khairin. Biasanya suratnya datang hanya beberapa hari, ini belum ada 24 jam sudah dibalas dengan Aqlan. Berasa sesuatu sekali.

"Gimana? Aqlan suka sama puisinya, nggak?" tanya Inara.

Wajah Khairin yang tadinya ceria berubah menjadi masam.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Where stories live. Discover now