💌۱۶

113 33 2
                                    

Waktu luang begini, Khairin sedang membereskan kamarnya. Terkhusus, meja dan ranjangnya sendiri. Buku-buku di meja tidak terlalu berantakan, memudahkan Khairin untuk cepat menyelesaikan tugasnya ini. Saat ia mengangkat satu buku kosong yang jarang terpakai, tiba-tiba berjatuhan beberapa kertas warna biru dan merah muda. Jumlahnya tidak terlalu banyak, juga tidak sedikit. Khairin memungutnya di lantai, membuka kembali isi dari kertas itu.

Surat dari Aqlan.

Yap, ucapan itu hanya sampai pada batinnya. Terakhir kali yang Khairin ingat, ia mendapat surat dari Aqlan lima hari yang lalu. Surat itu pun belum dibalas dengannya.

"Khairin," panggil Inara dari balik pintu kamar.

Khairin menoleh ke arah pintu. "Iya?"

"Sini, dong!" seru Inara, seraya melambaikan tangannya. "Liat matahari terbenam bagus banget, tuh."

"Huum. bentar, Nara."

Matanya kembali fokus ke beberapa surat yang ia pungut dari bawah. Menyelipkan lagi surat itu ke buku. Sepertinya, Khairin sedang tidak ada mood untuk membalas surat dari Aqlan. Bahkan, kepikiran untuk membalasnya saja belum ada.

Entahlah, surat-surat dari Aqlan menjadi tidak sepenting itu lagi dalam hidupnya. Kali ini yang lebih ia pentingkan hanya hafalannya, bukan yang lain.

Usai beres merapikan kamarnya, Khairin menghampiri Inara dan Najma di depan. Kamar Khairin ini luarnya sangat terbuka. Sehingga, ketika keluar kamar ia bisa melihat beberapa pemandangan sawah dari atas. Terutama indahnya semburat senja yang akan terbenam pada sore hari ini.

"Udaranya seger, ya," celetuk Najma, memejamkan mata seraya menghirup udara segar.

Mungkin banyaknya pepohonan dan sawah yang bisa membuat udara di pesantren ini tidak tercemar. Pesantren yang disinggahi Khairin ini memang jauh dari pusat kota. Bisa tergolong masuk ke desa. Namun, justru ini yang sangat disyukuri Khairin, sekalian bisa memanjakan mata dengan melihat tanaman hijau.

"Pengen banget pergi ke sana. Kayaknya seru," ucap Khairin, tangannya menunjuk ke arah sawah di depan.

"Ngawur, ah ...,"  timpal Inara. "Yang ada kita dihukum nanti kalo keluar sembarangan."

Khairim terkekeh. "Ya, tapi seru nggak, sih?"

"Ya, emang." Inara menyetujui. "Tapi, kamu mau dihukum sama Ustazah Yasmin lagi?"

Khairin menggeleng dengan kuat. "Cukup," balasnya. "Kapok banget berurusan sama Ustazah Yasmin."

Sontak Inara terbahak. Melihat Khairin seperti alergi dengan ustazah Yasmin. Rasa-rasanya ustazah seperti makanan yang harus dihindari oleh Khairin.

Langit mulai gelap. Khairin, Inara, dan Najma kembali masuk ke dalam kamar. Konon katanya, ketika hari mau mendekat waktu Magrib tidak boleh berada di luar ruangan. Khairin sebenarnya tidak pernah percaya dengan hal begituan, tetapi demi menghindari teguran dari ustazah, lebih baik ia manut saja terhadap peraturan yang sudah dibuat ini.

💌💌💌

Khairin sempat lupa jika malam ini adalah malam minggu. Artinya, sekarang waktunya ia bisa menghubungi keluarga di rumah. Melihat ke arah Inara yang tengah sibuk mengobrol dengan teman lainnya, membuat Khairin mengurungkan diri untuk minta diantar ke ustazah Yasmin. Terpaksa, Khairin pergi sendirian untuk menemui ustazah Yasmin. Khairin berharap antrean untuk menelpon ini tidak panjang.

Berjalan sendirian menuruni satu per satu anak tangga. Lampu yang tidak terlalu terang mengharuskan Khairin lebih hati-hati lagi. Kalau kepleset dan jatuh 'kan nggak lucu. Mana di sini banyak santri.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Where stories live. Discover now