💌۱۴

116 33 4
                                    

Lembar demi lembar dalam Al-Qur'an telah dihafalkan oleh Khairin. Ada rasa bahagia, tetapi juga ada rasa sedih kala hafalan itu menghilang dari otaknya. Bagi Khairin, menghafal Al-Qur'an itu mudah, yang sulit itu saat muroja'ahnya.  Namun, ketika Khairin ingat bagaimana keistimewaan penghafal Al-Qur'an, membuatnya tidak boleh menyerah apa pun halangan dan rintangannya.

Malam ini, Khairin tengah mengulangi hafalannya yang kemarin, sekaligus menyiapkan setoran hafalan untuk hari kamis nanti. Di tengah menghafalnya justru Khairin tidak fokus. Seperti ada sesuatu yang terus membayanginya.

"Najma kemana, ya, Nar?"

"Emh ... tadi katanya dipanggil sama Ustazah. Disuruh bantu bawa buku."

Ketika sudah mendapat jawaban dari Inara, justru pikiran Khairin melayang ke hal lain. Pandangan matanya jatuh pada Al-Qur'an, yang itu membuat Inara mengerutkan kening. Jelas saja, di situ wajah Khairin nampak senyam-senyum tidak jelas, seperti ... baru mendapatkan hadiah besar. Rumah baru mungkin atau uang satu miliar. Tidak, tidak. Ini bukan undian.

"Senyum mulu, Khai. Gak bosen," tegur Inara, yang sadar kalau Khairin senyum pasti ada hubungannya dengan Aqlan.

Khairin gelagapan, mengulangi lagi pertanyaannya, "Eh! Tadi gimana? Najma kemana?" Sungguh seperti orang tidak punya salah apa-apa. Tidak tahu saja kalau Inara sedang mencak-mencak.

"Emang bener kata Najma, ya. Semenjak ada Aqlan, kamu jadi gak jelas gini. Temennya ngomong aja sampe gak fokus."

"Nggak, kok. Kan, tadi aku masih ngafalin ini." Khairin memamerkan mushaf yang ada di genggamannya.

"Ngafalin apa?" tangkas Inara. "Orang kamu teh dari tadi cuma senyum-senyum. Kalo emang ngafalin, coba sini liat Al-Qur'annya!" Inara menarik mushaf milik Khairin, tetapi ditahan pemiliknya.

"Sini atuh!"Namanya juga Inara, tidak mungkin menyerah sebelum kekepoannya terjawab.

"Bentar dulu, Nara!" kekeh Khairin untuk tetap menahannya.

Terjadilah adegan tarik menarik di sana. Teman-teman yang ada di kamar nampak bingung dengan kelakuan mereka. Sampai ada Najma yang memasuki kamar, lalu berhentilah adegan itu. Inara mengalah, karena tidak mau memaksakan kehendak Khairin.

Khairin melihat Najma duduk di ranjangnya sendiri. Pandangannya mengarah ke Khairin dan Inara.

"Kalian rebutin apa, sih?" Mulailah terjadi sesi wawancara ala Najma. Masih ingat, 'kan? Kalau Najma ini 11 12 dengan ustazah Yasmin.

"Nggak, kok. Nggak ada," balas Khairin santai.

Lebih baik memang Khairin tidak memberitahukan itu kepada kedua temannya. Kalau Inara saja tidak dikasih tahu, apalagi Najma. Khairin seperti orang yang pilih kasih, tetapi masalah Aqlan ini ... Najma tidak terlalu suka, bahkan mungkin tidak suka sama sekali. Oke, yang benar yang terakhir.

Tidak ada jawaban dari Inara. Khairin melanjutkan bacaan Al-Qur'annya. Ah, tidak. Sebenarnya Khairin memang tidak benar-benar sedang menghafal. Di balik mushafnya terdapat beberapa surat Aqlan yang ia simpan di sana. Kala jenuh dengan hafalan yang susah, Khairin membaca surat itu, sehingga pantas saja jika bibirnya sering menarik senyuman yang seindah bulan di langit malam.

"Besok harus kasih tahu!" Inara memaksan tetapi nadanya seperti mengancam.

"Kepo mulu ya kamu."

"Aku tau ... itu pasti ada hubungannya sama Aq—"

Khairin membekap mulut Inara. "Bisa diam, tidak?"

Memang dasarnya Inara tidak tahu tempat. Sedang di kamar dalam keadaan lumayan ramai begini, Inara masih saja mau menyebut nama santri putra. Itu membuat Khairin sangat was-was. Takut jika ada yang mengenal Aqlan dan menaruh curiga padanya.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora