💌Extra Part ۵

312 25 4
                                    

"Kembali ke kamar kamu, Khairin!" perintah ustazah Dina. "Kasus ini akan dilanjutkan esok, kalo orang tua kamu ke sini."

Seketika hidup Aqlan terasa berhenti mendengar perkataan guru BK yang telah mengetahui hubungannya dengan Khairin. Melihat Khairin dengan muka tertekuk seperti itu membuat Aqlan tidak tega. Semakin banyak ketakutan yang ia rasakan.

Beberapa menit setelah Khairin keluar dari ruang BK, ia juga disuruh kembali ke asrama oleh ustazah Dina. Namun, bukannya ke kamar, Aqlan justru pergi ke masjid. Ia butuh menenangkan diri setelah kejadian ini. Semuanya terasa tiba-tiba. Sesuatu yang memang sudah ia takutkan dari awal, kini terjadi.

Cowok itu tidak terlalu memikirkan bagaimana orang tuanya memarahi nanti, tetapi Khairin?

Raut wajah yang ditunjukkan gadis itu saat di ruang BK membuat Aqlan sangat bisa membaca pikiran kalau Khairin bakal dimarahi. Ah, rasanya ini juga sulit.

"Dor!"

"Allahu Akbar!"

Farrel terbahak telah berhasil mengejutkan Aqlan yang duduk di pinggiran teras masjid. Ya, benar. Aqlan ke masjid bukan semata-mata untuk salat, tetapi memang pure hanya ingin sendiri. Sebelum teman curutnya datang dan mengganggu.

"Tau aja kalo di sini, sih," sungut Aqlan, sebal. Mengusap wajahnya yang masih tersisa air wudu.

"Gimana?" tanya Farrel serius. Tadi cowok itu tidak sempat mengikuti Aqlan ke ruang BK, tetapi ia juga peduli dengan keadaan.

Yang ditanya tidak langsung jawab. Suasana menjadi hening dalam sekejap. Aqlan tidak siap mengeluarkan kata-kata apa pun sekarang.

"Masalah siapa yang bilang, aku juga gak tau," lanjut Farrel memberitahu.

Faktanya memang begitu. Sebelum bertemu Aqlan pun, cowok itu sempat bertemu Layla dahulu untuk menanyakan perihal kebocoran hubungan Aqlan dan Khairin. Layla menjawab tidak tahu menahu tentang pelaporan kepada guru BK dan Farrel yakin kalau Layla tidak bohong.

"Gapapa," jawab Aqlan kemudian. Ia menghela napas pelan. "Mungkin emang udah waktunya ketauan."

"Humm. Terus bakal dihukum nggak?"

Aqlan menggeleng pelan, lemas. Semangat hidupnya terasa hilang sebagian. "Nggak tau. Orang tua bakal dipanggil dulu. Mungkin akan diberi peringatan sama Ustazah."

"Waduh!" Farrel mencium bau-bau tidak enak. "Bahaya juga kalo hukumannya di luar nalar nanti."

"Ya, gimana?" pasrah Aqlan. "Udah terlanjur, Rel."

"Iya, sih. Tapi, bakal dikasih keringanan hukuman nggak, sih?"

"Nggak tau. Orang lagi pening, ditanya mulu, ah." Lama-lama Aqlan kesal juga dengan Farrel yang bawel.

"Setauku, ya ... dipanggil orang tua itu kalo dia pernah bikin kesalahan besar dua kali. Sebelumnya, kamu pernah gitu?"

Aqlan mengedikkan bahu, tidak tahu. Di situasi yang seperti ini, Aqlan mana memikirkan hal itu. Pikirannya sekarang malah tertuju pada satu orang ... Khairin. Entah mengapa dari masuk dan keluarnya Khairin ke ruang BK, tidak bisa dilupakan oleh Aqlan. Kesedihannya seakan nampak di sana.

"Khairin juga, Lan?" tanya Farrel memecah keheningan.

"Ya, iya," sahut Aqlan cepat. "Mana dia keliatan sedih banget tadi."

"Terus, kamu ikut sedih? Duh, aduh. Orang bucin mah gini, ya."

Pletak.

"Auh!"

Ya, itu bunyi kening Farrel yang disentil oleh Aqlan. Farrel ini memang tidak tahu situasi. Orang lagi bersedih, masih saja bercanda. Walau maksudnya mau menghibur, tetapi bukan sekarang juga.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Where stories live. Discover now