💌۲۴

107 32 9
                                    

Usai pertemuan pada malam lalu. Sampai saat ini, sudah berjalan beberapa hari. Khairin tidak pernah mendapat surat lagi dari Aqlan. Sepertinya, apa yang Khairin katakan bisa diterima baik dengan Aqlan. Sekarang, ia bisa bernapas dengan tenang, menjalani aktivitas dengan tenang. Tanpa ada gangguan orang sekitar.

Meskipun beberapa kali mereka tidak sengaja bertemu di beberapa tempat, tetapi sudah bisa mengatur hati dan perasaannya untuk tidak bertingkah aneh-aneh. Aqlan dan Khairin sama-sama memberikan ekspresi muka yang datar.

Khairin menyeruput kuah soto yang ia beli di di kantin, bersama Inara dan Najma. "Berkat agenda dari Najma waktu itu, aktivitas harianku jadi lebih teratur. Makasih, Naj," ucap Khairin, di sela-sela menelan makanannya.

"Iya, santai," jawab Najma. "Berarti ... aku sedikit berhasil memberi perubahan buat kamu."

Khairin mengangguk. "Huum. Bukan sedikit, kok. Berhasil banget. Lebih banyak manfaat yang bisa aku dapatkan, dari pada yang dulu-dulu."

"Cie!" ledek Inara.

"Kamu kenapa? Cie-cie mulu?" sungut Khairin. "Kayak gak ada kata-kata lain aja."

"Bener." Inara tertawa. "Aku emang lagi fokus makan, nih."

"Hish. Dasar!"

Kembali fokus dengan makanan masing-masing. Sebentar lagi waktu istirahat habis. Sesegera mungkin mereka memakan sotonya hingga mangkuknya kosong, tak tersisa sedikit pun.

"Berarti Aqlan udah gak kirim-kirim surat lagi, 'kan?" tanya Inara memastikan.

'"Iya. Udah enggak, kok."

"Bagus, lah. Berarti dia cukup sadar dengan apa yang dia lakukan. Sadar, kalo kelakuannya itu salah dan gak bisa dipaksain lagi," jelas Inara.

Najma mengangguk, menyetujui ucapan Inara. Tumben sekali gadis itu bisa berkata benar. "Tapi, cowok kebanyakan emang gitu gak, sih? Kayak dia itu lebih memilih berjuang dulu, dari pada langsung mengikhlaskan. Siapa tau yang diperjuangin masih mau." Ada kekehan di bibir Najma. "Sayangnya, khairin tetep nolak. Kalo mau entar makin bahaya, dong. Taruhannya keluar dari pesantren. Ngeri." Najma bergidik sendiri mengingat ucapan ustazah Dina pada waktu lalu.

"Bener juga. Cowok kayak gak ada kata lelahnya buat memperjuangkan satu cewek yang dia sukai. Keliatannya so sweet, sih. Tapi, ternyata malah menjerumuskan ke lubang dosa. Uwah, kalo kayak gini gak jadi so sweet, deh."

Spontan Khairin dan Najma terbahak. Ada-ada saja kelakuan Inara ini.

"Bukannya kata Khairin waktu itu Aqlan beneran sweet?" singgung Najma. Sekali-kali menggoda Khairin untuk memastikan perasaannya yang telah hilang tidak apa-apa, 'kan?

"Eh! Apa?" Khairin kelabakan. "Eee ... itu dulu, kok. Sekarang mah udah beda."

"Bhahahahaha. Najma, kamu bikin Khairin salting lagi." Sepertinya Inara puas dengan tertawanya yang tidak bisa dikontrol. Ah, lagipula ini kenapa Khairin harus bingung tadi ketika menjawab.

"Ngetes, doang," balas Najma santai. "Tapi, diakui juga sama Khairin. Wajar, sih. Dulu, kan lagi cinta-cintanya. Terus abis itu, langsung jatuh-jatuhnya."

"Jatuh cinta itu emang benar-benar sepaket. Abis cinta langsung dijatuhkan. Siapa suruh jatuh cinta terlalu dalam kepada ciptaan Allah, sampai melupakan Sang Pencipta," imbuh Najma, yang mampu menembus dada Khairin.

"Wih!" Inara bertepuk tangan. "Keren sekali kamu, Naj."

"Kalo mau jatuh cinta boleh saja, gak ada yang larang, kok. Tapi, harus tau waktu. Kapan cinta itu boleh diungkapkan. Kalo sekiranya sadar, diri ini masih anak piyik, ya jangan nekat buat ngungkapinlah. Yang ada malah terjerumus dan nyebabin masalah." Sepertinya kesempatan buat Najma untuk ngomong panjang lebar masalah cinta, padahal belum berpengalaman.

Khairin sendiri terkesima mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Najma, layaknya motivator cinta. Pikir Khairin, mengapa tidak dari dulu Najma bilang seperti itu? Ah, kalaupun dari dulu, apakah ia masih bisa mau mendengarkan? Sepertinya tidak.

"Ngomong-ngomong, kamu pernah jatuh cinta, Naj?" tanya Khairin yang sebenarnya penasaran sekali.

"Pernah. Manusia diciptakan mempunyai hati dan perasaan, 'kan?"

Khairin mengangguk. Aktivitas makannya berhenti sejenak, hanya untuk mendengar jawaban dari Najma.

"Nah! Maka dari itu, ya gak bisa dipungkiri kalo aku pun pasti bisa merasakan suka pada seseorang. Tapi Alhamdulillahnya aku bisa nahan diri aku untuk gak kegoda rayuan setan," terang Najma.

"Wuah! Daebak." Khairin mengacungkan jempol. "Pantes aja, kamu kayak keliatan kesel banget waktu aku deket sama Aqlan. Karena ini toh alasannya."

Najma terkekeh. "Khairin, gak ada temen yang mau temennya itu terjerumus ke hal yang salah, kecuali kalo temenmu gak sayang sama kamu. Mau kamu kayak gimana, ya bakal didiamin aja."

"Bener juga."

"Eh!" Inara tersentak. "maksudnya aku gak sayang Khairin? Gak gitu, dong!" Protes Inara, yang sadar sempat mendukung hubungan Khairin dengan Aqlan.

Najma memutar bola mata, malas. "Itu lain lagi, Nara,"

"Yaudahlah. Itu udah lewat kali, Nara. Lagipula aku percaya kalo kamu sayang sama aku," ucap Khairin.

"Sekarang bener-bener banyak kemajuan, ya," sela Inara. "Kemarin waktu mau ke masjid Khairin sempat papasan sama Aqlan, tapi aku lihat kalian udah biasa aja."

"Yah, emang mau ngapain, Nar?" tanggap Khairin cepat. "Mau salto di depan Aqlan? Atau mau kopral sambil bilang WOW?"

"Dih! Ya, gak gitu."

"Alhamdulillah, dong. Berarti Aqlan udah mau menerima kenyataan. Gak maksa buat melanjutkan hubungan yang salah. Rasanya capek banget kalo masalah yang itu belum kelar-kelar. Rasa bersalahnya juga gak cuma di diri sendiri tapi juga merasa bersalah sama Allah." Wajah Khairin menunduk kala mengucapkan itu. Sebenarnya walau masalah dengan Aqlan ini sudah selesai, tetapi masih ada satu masalah lagi yang belum ia selesaikan. Mau diselesaikan juga bagaimana, kalau sampai sekarang semuanya nampak tidak peduli.

"Mungkin kemarin Aqlan lagi kesurupan kali. Makanya, ngomongnya juga sembarangan gitu," tuduh Inara sok tahu saja.

"Yeu, bisa jadi, sih. Tapi, bodoamat, deh. Yang penting sekarang udah gak ganggu, 'kan?"

"Betul."

Dengan begini Khairin pun bisa lebih fokus ke hal lainnya. Agenda-agenda yang disusun bisa berjalan lebih baik lagi. Apalagi, sekarang yang harus diprioritaskan oleh Khairin adalah hafalan Al-Qur'annya. Hafalan yang sempat berantakan pada waktu lalu, harus segera diperbaiki agar bisa tuntas. Mungkin itu bisa menjadi salah satu syarat agar Khairin bisa kembali dimaafkan oleh orang tua.

Bersyukur, salah satu hal yang juga harus diperbanyak oleh Khairin. Tidak ada lagi hambatan untuk dirinya menghafal Al-Qur'an dan menuntut ilmu di pesantren. Sekilas Khairin melirik saat bertemu Aqlan waktu itu, ia nampak Aqlan sudah acuh dengan semuanya. Dari situ Khairin bisa menilai bahwa Aqlan pun juga tidak mau lagi terjerumus ke dalam hubungan yang salah.

"Buruan makannya habisin!" perintah Najma. "Bentar lagi istirahat selesai."

Makanan berat yang mereka pesan sudah habis sedari tadi, tinggal beberapa camilan yang menjadi makanan penutup. Mereka memilih untuk segera pergi dari kantin saja dan menghabiskan sisa camilannya nanti ketika sudah pulang sekolah.

💌💌💌

Enam part lagi menuju ending yaaw~

Jbr, 24 Juli 2021.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang