💌۱۹

113 34 11
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ah, tidak. Bahkan, Khairin tidak tahu ... apakah ia menunggu hari ini atau enggak. Hari di mana orang tuanya datang ke pesantren untuk menyelesaikan kasusnya dengan Aqlan.

Khairin bisa melihat kedatangan kedua orang tuanya dari lantai atas kamar asrama. Hanya ada ummah dan abi. Benar-benar dua orang. Raut wajah keduanya sama sekali tidak menunjukkan apa pun kecuali rasa kekecewaan yang tertangkap mata Khairin. Mereka pergi ke kantor terlebih dahulu.

"Khairin," Najma yang sedari tadi di sebelah Khairin langsung memeluk Khairin dari samping. Walau tidak ada air mata yang jatuh, tetapi gadis itu tahu apa yang sedang dirasakan oleh sahabatnya.

"Aku takut, Naj. Aku udah bikin Abi sama Ummah kecewa," ucap Khairin. Kali ini bulir air mata telah jatuh di pipinya. "Padahal, aku pengen bisa buat mereka bangga sama aku. Gimana ini, Naj?" ucap Khairin, sesenggukan.

Najma semakin tidak tega melihat keadaan Khairin. Memang, beberapa hari ini Khairin seringkali hanya diam ... memikirkan tentang bagaimana orang tuanya nanti ketika datang ke pesantren.

Mengelus bahu Khairin dengan lembut, "Iya. aku tau, Khai," sela Najma. Ucapannya terdengar begitu lembut. "Inget kemarin yang aku bilang gimana ... semua masalah pasti akan selesai. Masalah yang datang akan ada hikmahnya sendiri buat kamu," lanjutnya.

Khairin menunduk, air matanya tumpah lagi. Tidak ada kata-kata lagi yang bisa ia lontarkan. Melihat orang tuanya sudah cukup membuatnya sangat bersedih. Khairin ingin tahu apa saja yang dikatakan ustazah Dina ke abi dan ummah. Namun, ia disuruh untuk diam dulu di kamar.

"Udah, ya," kata Najma. "Bentar lagi mereka akan nemuin kamu."

Entah, rasanya Khairin juga tidak sanggup untuk menemui abi dan ummah. Malu. Begitu malu rasanya membayangkan kesalahannya sendiri. Khairin sudah sangat ceroboh dengan diri sendiri. Lebih baik ia kena masalah lain, daripada kasus seperti ini.

30 menit kemudian urusan orang tua Khairin di kantor telah selesai.

Khairin harus benar-benar menyiapkan mental untuk bertemu dengan mereka. Ia dipanggil ustazah Yasmin, yang katanya orang tuanya ingin bertemu di sana. Khairin merapikan gamisnya, menghapus air mata yang sempat menetes. Sebisa mungkin Khairin tidak menampilkan wajah yang buruk di depan orang tua. Namun, tidak dapat dibohongi bahwa jantungnya benar-benar berdetak sangat kencang, kala ia dekat dengan di mana orang tuanya berada.

Sampai di sana Khairin melihat abinya menunduk. Tidak ada ekspresi yang bisa dibaca oleh Khairin, tetepi ummahnya ... Khairin tahu, ummah menunduk sedih dengan kelakuannya. Semakin membuat Khairin merasa bersalah.

"Silakan, Khairin!" ucap ustazah Yasmin. "Ana permisi dulu," pamitnya.

Khairin mendekat ke orang tua, berniat untuk memberi salam, tetapi saat mencium kedua tangan, raut wajah abi dan ummah begitu menunjukkan kemarahan.

"Abi pernah bilang apa sama kamu, Khairin?"

Belum sempat Khairin duduk dengan nyaman, pertanyaan sudah ia dapatkan dari abi. Walau nadanya rendah, tetapi tidak dapat dibohongi bahwa itu nada kekecewaan. Khairin langsung bungkam, menjawab pun rasanya juga tidak benar.

"Apa, Khairin? Jawab Abi?!" pertanyaan diulang lagi. Kali ini nadanya agak tinggi, sampai membuat Khairin tersentak.

Khairin tidak sanggup untuk menampakkan wajahnya. Air mata pun telah mengalir sejak nada dari abinya mulai meninggi.

"Kamu sadar nggak sudah mengecewakan Abi sama Ummah?" bentak Zayyan, abi Khairin. "Kenapa kamu gak mau mikir dulu sebelum melakukan hal itu? kenapa?"

Hanya keheningan yang ada.

"Apa yang Abi bilang selama ini tidak cukup? Kamu tau Abimu ini apa, Khai?"

Khairin sadar dengan status abinya sebagai seorang ustaz. Pantas kalau merasa malu dengan kelakuannya.

"A-abi," Khairin sesenggukan. "Maafin Khairin."

"Kamu tau ... gara-gara masalah ini kamu hampir dikeluarin dari pesantren, Khairin. Kamu nggak malu dikeluarin karena kasus pacaran kayak gini?" Emosi Zayyan tidak bisa terkontrol.

Khairin terdiam membisu. Tidak pernah berpikir sejauh itu.

"Apa aja yang udah kamu lakukan di pesantren, Khairin?" sentak Zayyan.

Khairin datang ke Zayyan, duduk di bawah kakinya, lalu memeluk. Berulangkali meminta maaf, tetapi yang ia dapatkan adalah pengabaian dari beliau. Perkataan maaf dari Khairin seperti tidak penting dari apa pun. Rasa malu yang di dapat keluarganya lebih besar dari apa pun.

Fathiyya—ummah Khairin—yang biasanya sering membela Khairin ketika melakukan kesalahan, sekarang hanya bisa diam menyaksikan putri kesayangannya dimarahi dan diabaikan oleh abinya sendiri. Namun, tanpa sadar, Fathiyya juga tengah mengabaikan Khairin.

"Kamu bukan seperti anak Abi, kamu udah bohong sama Abi," ucap Zayyan. nadanya kembali rendah, tetapi sampai menusuk hati Khairin.

Tentu saja itu membuat Khairin terkejut. Abinya semarah itu sampai tidak mau menganggapnya anak lagi. Tangis Khairin rasanya ingin pecah. "Abi," panggil Khairin dengan air mata yang luruh di pipi. "Maafin. Khairin sudah salah, Bi. Tapi, Khairin masih anak Abi. Khairin janji, Bi. Khairin gak bakal ngulangin kesalahan ini lagi," lirih Khairin memeluk lutut Zayyan.

Zayyan menggeleng pelan, seperti tidak percaya lagi dengan semua apa yang dikatakan oleh Khairin.

Zayyan berdiri dari duduknya, "Terserah kamu mau bilang apa. Tapi, yang perlu kamu tau. Kelakuan kamu itu sangat memalukan."

Diikuti dengan Fathiyya berdiri dari duduknya. Melihat Zayyan keluar lebih dulu, ia pun juga ikut keluar, tanpa mengatakan satu dua patah kata pun. Meninggalkan Khairin yang menangis sendirian di ruang pertemuan.

Tangisan Khairin semakin histeris saat menghilangnya kedua orang tua dari pandangan Khairin. Tanpa ada kata perpisahan, mereka melenggang pergi begitu saja.

💌💌💌

Khairin kembali ke kamar, dituntun dengan Inara dan Najma. Bahkan, saat ia berpisah dengan orang tua tadi, tidak ada salam perpisahan sama sekali. Sudah terbayang dalam benak Khairin bagaimana kecewanya mereka sekarang. Itu yang membuat suasana hati Khairin menjadi berantakan. Memang tidak seharusnya Khairin menciptakan kekecewaan ini.

"Khai,"

Khairin menyergah Inara untuk tidak mengatakan apa pun saat ini. Ia sedang tidak bisa menerima ucapan apa pun. Hatinya benar-benar sangat kacau. Belum bisa berpikir positif. Harusnya, saat bertemu orang tua bisa membuat Khairin bahagia. Namun, kali ini justru membuat Khairin bersedih yang begitu dalam.

"Iya, Khai. Aku gak maksa kamu untuk berhenti nangis. Silakan, kalo itu buat kamu merasa lebih baik," ucap Najma. "Orang tua kamu kecewa sama kamu, wajar kok kalo itu buat kamu nangis. Tapi, di sisi lain kamu juga harus mikirin bagaimana kekecewaan orang tua kamu itu bisa mereda."

Ck, mungkin benar kata Najma. Namun, kesedihan ini tetap tidak bisa terbendung. Melihat orang tua kecewa untuk kesekian kalinya membuat Khairin begitu sedih. Dulu, pernah buat mereka kecewa, tetapi kesalahannya tidak lebih besar dari sekarang.

Khairin mennyeka air matanya sendiri. Namun, ketika terbayang lagi raut wajah orang tua yang jelas kekecewaannya, membuat air mata itu terjatuh kembali. Khairin paling tidak bisa untuk menahan. Sesak sendiri rasanya jika terlalu ditahan. Namun, kesedihan seperti tidak artinya jika tidak ada perubahan dalam hidup.

Ah, Khairin masih belum bisa berpikir jernih untuk saat ini. Tidak bisakah seseorang menolongnya untuk kembali?

💌💌💌

Pikiran saya lagi kacau buat nulis. :")

See you~

Jbr, 19 Juli 2021.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang