💌۲۵

127 35 5
                                    

Usai salat Asar, para santri kembali ke asrama untuk melakukan kegiatan yang lain. Khairin sendiri baru selesai mandi, kemudian ia hanya berdiam diri di kamar, melamun. Seperti masih ada rasa sedih yang ia rasakan dalam hatinya.

"Kenapa atuh masih sedih mulu?"

Khairin mengangkat wajahnya, menatap Inara yang baru saja bertanya. Helaan nafas keluar dari hidung. "Kangen, deh."

"Sama Aqlan?"

"Ngawur."

Inara terkekeh. "Terus kenapa?"

"Ya, kangen sama keluarga."

Khairin melipat kedua tangannya untuk ia jadikan tumpuan kepala di meja. Sejak awal kasus sampai sekarang, memang orang tuanya belum menghubungi lagi. Khairin juga tidak tahu bagaimana cara memulainya.

"Kamu gak mau hubungi duluan gitu?" saran Inara.

"Nggak mungkin, sih," balas Khairin lemas. "Gak yakin juga bakal diterima teleponnya."

"Gak mungkin kalo gak diterima, sih." Inara berpikir sejenak. "Orang tua kalo pun anaknya melakukan kesalahan sebesar apa, pasti akan dimaafin juga nantinya. Walau emang agak lama marahnya."

"Tapi, kayaknya sekarang belum waktunya, sih, Nar," sanggah Khairin.

"Nunggu kapan, Khai?"

"Nunggu semuanya kembali baik."

"Emang sekarang belum baik?"

Khairin mengedikkan bahu, tidak tahu jawabannya apa.

"Kalo nunggu semuanya yang menjadi baik, ya bakal lama banget, dong."

"Aku juga bingung." Khairin membangkitkan tubuhnya. berjalan keluar kamar, diikuti dengan Inara di belakang. "Aku malu aja sama Abi dan Ummah. Kesalahan yang pernah aku buat ini kayak buruk banget."

"Haduh, Khairin. Jangan mulai, deh. Kemarin juga udah sadar kalo manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Yang kayak gini jangan terlalu dipikirin lagi. Nanti malah jadi berantakan lagi pikiran kamu. Kan, kasian," celoteh Inara, mengingatkan.

"Enggak, kok. Aku cuma kepikiran sekilas. Gak usah khawatir gitu, Nara." Khairin terkekeh. "Iya. Aku udah paham, kok. Aku juga gak mau larut dalam kesedihan. Tapi, ya tetep aja sedih. Bingungin, 'kan?"

Khairin mengalihkan pandangannya ke arah lantai bawah. Sore hari begini banyak santri yang sedang beraktivitas semaunya sendiri. Ada yang membaca, mengulangi hafalan, atau sekadar mengobrol tidak jelas seperti yang sedang ia lakukan bersama Inara.

Namun, seketika pandangannya terfokus ke Najma yang sedang mengobrol bersama ustazah Yasmin. Ah, Najma memang sering sekali berurusan dengan ustazah. Biasanya disuruh untuk bantu-bantu membawa buku di perpustakaan begitu. Herannya, Najma tidak pernah menolak. Mungkin karena Najma yang suka baca buku, jadinya bisa sekalian pinjam buku juga.

Kali ini yang Khairin lihat, obrolan antara Najma dan ustazah Yasmin nampak serius. Khairin jadi penasaran mereka ngobrolin apa.

"Najma kemana, ya, Rin?"

Panjang umur. Inara bertanya, langsung saja Khairin menunjuk dengan dagunya.

"Tuh! Lagi ngobrol sama ustazah Yasmin di bawah tangga."

"Weh! Ngobrolin apaan?"

"Nggak mungkin aku denger sampe sini, kecuali mereka ngobrolnya sambil teriak-teriak."

"Iya juga." Inara tertawa.

Saat Inara dan Khairin kembali tenggelam dalam obrolan tidak jelas, tanpa sadar Najma telah naik ke lantai dua untuk bergabung bersama mereka.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin